Serangan Udara Amerika Serikat (AS) di Kapisa, Afghanistan pada 4 Maret 2007

By Meisarah Marsa, S.Sos - September 26, 2015

Kelompok      : Perang Afghanistan
Nama              : Kang Kyeong Min                    (108083000089)
Rendy Iskandar C.                   (1112113000017)
Khairiah Fajrin                          (1112113000038)
Indra Saputra                            (1112113000055)
Faruq Arjuna Hendroy             (1112113000057)
Meisarah Marsa                        (1112113000101)
Oktaviani Nur Asruni               (1112113000105)
Matkul           : Hukum Humaniter Internasional
Kelas              : HI/ 6B


Makalah ini akan membahas mengenai serangan udara Amerika Serikat (AS) yang terjadi saat perang Afghanistan berikut juga disampaikan pendapat hukum tentang kasus ini. Seperti  laporan yang dirilis oleh Afghanistan Indipendent Human Rights Commision (AIHRC) bahwa pada 4 Maret 2007 telah terjadi serangan udara yang dilakukan oleh Angkatan Udara AS di Provinsi Kapisa. Berikut fakta dan peristiwa yang dirangkum :
A.      Fakta dan Peristiwa
1.      Pada 4 Maret 2007, sembilan orang  sipil yang terdiri dari lima orang wanita, tiga orang anak-anak, dan seorang kakek-kakek tewas terbunuh di rumah mereka di Propinsi Kapisa Utara Kabul akibat dijatuhkannya dua bom dengan berat 2000 pound oleh pesawat militer AS[1].
2.      Menurut kesaksian Mujib, seorang anak berumur tujuh tahun yang selamat dari serangan memberi kesaksian kepada jurnalis, bahwa ibunya, kakaknya, dan kakeknya tewas dan rumahnya hancur[2].
3.      Berdasarkan pernyataan dari militer AS bahwa pada 4 Maret 2007 sekitar pukul 21.00 waktu setempat, seorang pemimpin Taliban dan kelompoknya meluncurkan sebuah roket ke markas militer AS dekat Nijrab, akan tetapi tidak tepat sasaran dan tidak memakan korban.[3]
4.      Militer AS melaporkan bahwa pilot mereka menyaksikan ada dua orang pria dengan senjata AK-47 meninggalkan lokasi penyerangan markas AS dan memasuki sebuah camp di Kapisa.[4]
5.      Hal ini diperkuat dengan pengakuan juru bicara militer AS, Mayor William Mitchell, mengatakan bahwa setelah teroris menyerang markas militer AS, lalu mereka mundur ke tempat di mana terdapat warga sipil. Tidak ada kontak antara tentara AS dengan pejuang Taliban. Tapi pasukan AS mengakui tentara mereka berada di desa itu sehari sebelumnya.[5]
6.      Berdasarkan kesaksian dari salah seorang keluarga korban mengatakan bahwa tentara AS  telah datang sehari sebelum kejadian dan menggeledah rumah dan mereka melihat wanita dan anak-anak di dalam rumah.[6]
7.      Berdasarkan fakta di atas, maka dapat diasumsikan bahwa pihak Amerika telah melakukan verifikasi dan mengetahui keberadaan sipil di lokasi tersebut.
8.      Juru bicara Letnan Kolonel David Accetta membenarkan serangan terhadap rumah atas dasar bahwa dua orang yang telah melakukan penyerangan terhadap markas militer AS telah memasuki rumah sipil[7]. Sehingga, serangan yang diluncurkan oleh pihak AS melalui udara tersebut diasumsikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pasukan militer AS yang bertindak atas perintah komandan mereka.
9.      Dikarenakan kemajuan teknologi yang dimiliki oleh AS, serangan tersebut diasumsikan sebagai serangan dengan akses informasi yang sangat memadai sehingga pasukan militer AS yang menjatuhkan serangan dapat mendeteksi apa saja yang ada dalam rumah bidikan mereka tersebut.
10.  Militer AS menegaskan bahwa mereka sebenarnya menargetkan dua orang pemberontak yang terlihat memasuki rumah setelah mereka meluncurkan roket ke markas militer AS.[8]
11.  Alasan pasukan AS meluncurkan serangan udara dengan menjatuhkan bom GBU-31 adalah karena baku tembak yang terjadi antara pihak AS dan Taliban tidak dapat melumpuhkan Taliban. Serangan tersebut kemudian menghancurkan lima rumah termasuk rumah salah seorang pemimpin Taliban[9].
12.  Pihak AS mengumumkan bahwa serangan tersebut telah menewaskan dua target yang diduga oleh AS sebagai oknum Taliban yang terlibat penyerangan ke markas AS. Namun, pejabat resmi setempat berpendapat bahwa dua pria tersebut terluka dan berhasil melarikan diri. Jurnalis pada lokasi kejadian melaporkan tidak ada bukti dua pria tersebut ada dalam 9 korban yang tewas.[10]
B.       Permasalahan
Berdasarkan fakta dan peristiwa yang dipaparkan di atas, lantas muncul pertanyaan mengenai serangan udara yang dilakukan Amerika Serikat di Afghanistan ini. Pertanyaan yang dirumuskan adalah
1.      Apakah serangan udara Amerika Serikat di Kapisa  telah melanggar hukum humaniter internasional?

C.            Sumber  Hukum Yang Diperiksa
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut dilakukan inventarisasi hukum berdasarkan aturan-aturan yang membahas mengenai peperangan. Adapun sumber hukum yang  digunakan adalah :

1.      Additional Protocol I
2.      Protocol II and III CCW (Convention on Certain Conventional Weapons) pada Ottawa Convention
3.      US Military Manual Book (Law of War Deskbook 2011)
4.      The Hague Conventions 1970
5.      Geneva Convention 1949
Sumber hukum di atas digunakan untuk menjawab beberapa pelanggaran yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip International Humanitarian Laws yang berkaitan dengan :
-          The Principle of Distinction Between Civilian and Combatant
-          Distinction Between Civilian and Military Object
-          Indiscriminate Attack
-          Proportionality in Attack
-          Precautions in Attack dan Precautions Against the Effect of Attack

D.      Analisa

1.        Analisa Terhadap Sumber Hukum yang Diperiksa
Dalam menganalisa prinsip-prinsip IHL di sini disajikan beberapa sumber hukum yang mana AS terikat dengan sumber hukum tersebut. Adapun sumber hukum yang telah diperiksa antara lain :

a.    Customary International Law
Customary Law digunakan sebagai pembenaran kasus yang diangkat dalam legal opinion ini karena hukum ini telah dipakai oleh banyak negara yang kemudian dipertegas dalam hukum tertulis seperti Konvensi Genewa 1949 yang digunakan oleh Hague 1970, serta Additional Protocol I  Konvensi Genewa 1977.

b.   Putusan Hakim Internasional
Dalam beberapa putusan hakim juga turut menggunakan customary sebagai sumber hukum yang diperiksa dalam setiap pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum customary yang diangkat telah mendapat pengakuan luas sehingga negara seperti AS juga terikat dengan hukum ini.[11]

c.    Hukum Nasional AS
AS juga terikat pada hukum perangnya sendiri yang terdapat dalam US Military Manual Book (Law of War Deskbook 2011). Di mana dalam hukum tersebut juga diatur masalah Civilians on the Battlefield,[12] Means and Methods of Warfare,[13] dan War Crimes and Command Responsibility.[14]

d.   Beberapa hukum yang diratifikasi oleh AS
-          Hague Convention 1907 diratifikasi tahun 1909
-          Geneva Convention 1949 diratifikasi tahun 1955
-          Protocol II CCW (Convention on Certain Conventional Weapons) pada Ottawa Convention diratifikasi tahun 1995
-          Protocol III CCW (Convention on Certain Conventional Weapons) pada Ottawa Convention diratifikasi tahun 2009

2.             Analisa Terhadap Pelanggaran Hukum Sesuai Dengan Sumber Hukum
Lima prinsip hukum humaniter internasional berikut yang dianalisis merupakan bagian dari customary law karena prinsip-prinsip tersebut juga diterapkan di banyak negara serta terdapat dalam US Military Manual Book. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai kelima prinsip hukum humaniter internasional:

a.      The Principle of Distinction Between Civilian And Combatant
Hal pertama yang perlu dikemukakan adalah berdasarkan Additional protocol I tentang The principle of distinction between civilian and combatant article 48 dan 51 ayat 2, serta Protocol II CCW (Convention on Certain Conventional Weapons) article 3 (7) pada Ottawa Convention dimana serangan AS yang menyebabkan terbunuhnya 5 wanita, 3 anak-anak, dan seorang kakek-kakek telah melanggar prinsip tersebut. Artikel ini menyebutkan bahwa:
Additional Protocol I Article 48: Ketentuan Dasar
Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, pihak-pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.
Additional Protocol I Article 51(2) : Perlindungan Bagi Penduduk Sipil
Dengan demikian penduduk sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan. Tindakan-tindakan atau ancaman-ancaman kekerasan yang tujuan utamanya adalah menyebarkan teror di kalangan penduduk sipil adalah dilarang.
 AS tidak terikat dengan Additional Protocol I karena AS hanya menanda-tangani namun belum meratifikasi. Akan tetapi, hukum ini tetap mengikat AS karena prinsip ini sudah menjadi customary law sebelum dikodifikasi ke dalam Additional Protocol I. Prinsip ini, dalam sejarah dan tradisinya, telah menjadi hukum kebiasaan. Hal itu dijustifikasi dari; 1) Sudah ditetapkannya prinsip ini sebagai salah satu prinsip humaniter dalam deklarasi St. Petersburg tahun 1868 (jauh sebelum prinsip ini dikodifikasi ke dalam Additional Protocol I. 2) Persetujuan Majelis Umum Liga Bangsa – Bangsa di tahun 1938. 3) Pernyataan dari Meksiko dan Inggris dalam konferensi yang mengarah pada adopsi Additional Protocol I bahwa prinsip ini sangat penting dan sudah menjadi hukum kebiasaan yang sudah lumrah. 4) Hukum panduan Swedia yang menjadikan prinsip ini sebagai hukum kebiasaan. 5) tindakan yang diambil Israel dalam kasus Kassem di tahun 1969. Israel mengakui perlindungan terhadap kaum sipil dan menjauhkan mereka dari serangan langsung. 6) Legislasi sejumlah negara yang menjadikan prinsip ini sebagai panduan, seperti negara Indonesia, Azerbaijan, dan Italia.[15] Maka sudah sewajarnya prinsip ini masuk dalam hukum kebiasaan.

Protocol II CCW Artikel 3 ayat 7
Dilarang dalam segala situasi apapun untuk menggunakan senjata langsung, baik secara ofensif, defensif atau dengan cara pembalasan, terhadap penduduk sipil, warga sipil individu atau objek sipil.
Dengan melihat sumber hukum tersebut, pihak AS tidak dapat dibenarkan untuk menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik karena wilayah tersebut jelas merupakan wilayah yang dihuni oleh banyak penduduk sipil. Ditambah lagi berdasarkan fakta hukum yang telah dipaparkan bahwa tentara AS  telah datang sehari sebelum kejadian dan menggeledah rumah yang diduga tempat pelarian Taliban setelah mereka meluncurkan roket ke markas militer AS. Sewaktu digeledah, militer AS telah mengetahui bahwa terdapat wanita dan anak-anak di dalam rumah.[16] Pihak yang terlibat konflik harus membedakan antara sipil dan kombatan di segala situasi. Serangan Amerika ini jelas telah menyalahi prinsip distinction between civilian and combatant.

b.      Distinction Between Civilian Object And Military Objectives
Berikutnya dapat dilihat tentang konsep Distinction Between Civilian Object and Military Objectives pada Additional Protocol I article 48 and 52 (2).  Serangan militer hanya diperbolehkan untuk objek militer. Serangan udara militer AS telah menghancurkan rumah penduduk sipil dimana rumah penduduk tersebut bukanlah objek militer. Additional Protocol I artikel 48 dan 52 ayat 2 lebih jauh mengatur tentang hal ini.

Article 48: Ketentuan Dasar
Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, Pihak-pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.

Article 52(2): Perlindungan Umum Bagi Obyek-Obyek Sipil.
Serangan-serangan harus dengan tegas dibatasi hanya pada sasaran-sasaran militer. Sebegitu jauh mengenai obyek-obyek, sasaran-sasaran militer dibatasi pada obyek-obyek yang olehsifatnya, letak tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, didalam keadaan yang berlaku pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti.
AS tidak terikat dengan Additional Protocol I karena AS hanya menanda-tangani namun belum meratifikasi. Akan tetapi, hukum ini tetap mengikat AS karena prinsip ini sudah menjadi customary law sebelum dikodifikasi ke dalam Additional Protocol I. Prinsip ini, dalam sejarah dan tradisinya, telah menjadi hukum kebiasaan. Hal itu dijustifikasi dari; 1) Pernyataan dari Meksiko dan Inggris dalam konferensi yang mengarah pada adopsi Additional Protocol I bahwa prinsip ini sangat penting dan sudah menjadi hukum kebiasaan yang sudah lumrah. 2) Statuta International Criminal Court (Statuta ICC) yang menyatakan bahwa “secara sengaja mengarahkan serangan terhadap objek sipil, yang mana objek tersebut bukanlah objek militer”, merupakan sebuah kejahatan perang dalam konflik bersenjata internasional. 3) Manual (paduan) militer (military manual) negara-negara, seperti dalam Panduan Hukum Humaniter Internasionalnya Swedia, Argentina, Australia, Belgia, Benin, Kamerun, Kanada, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Nigeria, dan Indonesia.[17] Maka sudah sewajarnya prinsip ini masuk ke dalam hukum kebiasaan internasional.

Dari article di atas, secara jelas dikatakan bahwa objek militer merupakan obyek-obyek yang oleh  sifatnya, letak tempatnya, tujuannya atau kegunaannya memberikan sumbangan yang efektif  bagi aksi militer yang jika dihancurkan secara menyeluruh atau sebagian, direbut atau dinetralisasi, didalam keadaan yang berlaku pada waktu itu, memberikan suatu keuntungan militer yang pasti. Meskipun rumah yang diduga dimasuki oleh dua orang anggota Taliban yang melakukan serangan terhadap pangkalan militer AS dihancurkan, tindakan tersebut tidak membuat dua orang target militer dilumpuhkan. Karena berdasarkan fakta yang ada bahwa tidak ada bukti dua pria tersebut ada dalam 9 korban yang tewas.[18] Meskipun berdasarkan sumber lain sebagaimana ungkapan pejabat resmi setempat bahwa dua pria tersebut terluka dan berhasil melarikan diri[19]. Sehingga tidak ada keuntungan militer yang didapatkan dengan serangan udara terhadap rumah tersebut. 
c.       Indiscriminate Attack
Prinsip Indiscriminate Attack juga dianalisis dalam serangan ini. Prinsip ini terdapat dalam Additional Protocol I Article 51(4)(5a). Serangan udara yang dilakukan oleh AS, merupakan tindakan yang dinilai tidak dapat membedakan antara objek militer dan non militer. Sumber hukum terkait mengatakan bahwa :
Additional Protocol I Article 51(4) : Perlindungan Bagi Penduduk Sipil
Serangan yang tidak membedakan sasaran adalah dilarang. Serangan-serangan yang tidak membedakan sasaran itu di antaranya :
a)      Serangan-serangan yang tidak ditujukan terhadap sasaran khusus militer;
b)      Serangan-serangan yang mempergunakan suatu cara atau alat-alat tempur yang tidak dapat ditujukan terhadap sasaran khusus militer;
c)      Serangan-serangan yang mempergunakan suatu cara atau alat-alat tempur yang akibat-akibatnya tidak dibatasi sebagaimana ditentukan oleh protokol ini; dan karena itu, dalam tiap hal tersebut, serangan-serangan seperti itu pada hakekatnya adalah menyerang tanpa membeda-bedakan sasaran-sasaran militer dengan orang-orang sipil dan obyek-obyek sipil.

Additional Protocol I Article 51(5a) :
Jenis-jenis serangan berikut ini adalah antara lain yang harus dianggap sebagai yang tindakan indiscriminate:
a.    Suatu serangan dengan pemboman dilarang digunakan terhadap kota besar, desa atau daerah lain yang berisikan pemusatan orang-orang sipil dan obyek-obyek sipil sebagai suatu sasaran militer tunggal.
AS tidak terikat dengan Additional Protocol I karena AS hanya menanda-tangani namun belum meratifikasi. Akan tetapi, hukum ini tetap mengikat AS karena prinsip ini sudah menjadi customary law sebelum dikodifikasi ke dalam Additional Protocol I. Prinsip ini, dalam sejarah dan tradisinya, telah menjadi hukum kebiasaan. Hal itu dijustifikasi dari; 1) beberapa negara telah mengadopsi prinsip ini ke dalam legislasinya, seperti negara Armenia, Austria, Belarus, Belgia, Bosnia, Kanada, China, Cook Island, Estonia, Irlandia, Siprus, Belanda, Selandia Baru, Niger, Indonesia, Tajikistan, Yugoslavia, Zimbabwe, dan Kroasia. 2) Beberapa negara memasukkan prinsip ini ke dalam panduan militernya, seperti negara Argentina, Australia, Belgia, Benin, Kamerun, Kanada, Ekuador, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Kenya, Belanda, Selandia Baru, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Togo, dan Inggris. 3) Prinsip ini didukung oleh official statement dari beberapa negara seperti Bosnia, Bostwana, Finlandia, Perancis, Israel, Libanon, Suriah, AS, Iran, Iraq, Jerman, Malaysia, Polandia, Slovenia, Afrika Selatan, Swedia, Yugoslavia, dan Malaysia. 4) Prinsip ini dalam prakteknya diterapkan oleh negara yang saat itu belum atau sampai saat ini tidak menjadi anggota Additional Protocol I, seperti negara China, Perancis, India, Indonesia, Iran, Israel, Kenya, Malaysia, Afrika Selatan, Inggris, dan AS.[20] Maka sudah sewajarnya prinsip ini masuk ke dalam hukum kebiasaan internasional.
Dari sumber hukum diatas, serangan udara  yang dilakukan oleh AS telah melanggar prinsip Indiscriminate Attack. AS melakukan tindakan indiscriminate karena AS melancarkan serangan yang sifatnya menyerang target  tanpa pandang bulu. Serangan AS yang sebenarnya hanya ditujukan pada 2 orang anggota Taliban, namun pada faktanya telah membunuh sebanyak sembilan orang  sipil yang terdiri dari 5 wanita, 3 anak-anak, dan seorang kakek-kakek. Ditambah lagi, serangan tersebut dilakukan pasukan AS melalui serangan udara dengan menjatuhkan bom GBU-31. Dimana serangan via udara dengan menjatuhkan bom GBU-31 merupakan serangan yang menggunakan suatu cara atau alat tempur yang akibat-akibatnya tidak dapat dibatasi sebagaimana ketentuan protokol di atas.
d.      Propotionality in Attack dan Use of Weapon
Selanjutnya, akan dilihat tentang Propotionality in Attack dan Use of weapon yang tercantum dalam Additional Protocol I article 51(5b). Serangan udara militer AS dengan menggunakan bom tipe GBU-31 seberat 2000 pound yang digunakan  untuk melumpuhkan hanya  2 orang anggota Taliban dinilai tidak proposional. Menurut sumber hukum yang telah diperiksa :
Additional protocol I article 51 (5)(b)
Suatu serangan yang dapat diduga akan menimbulkan kerugian yang tidak perlu berupa kematian dan luka-luka yang diderita warga sipil, kerusakan obyek-obyek sipil, atau gabungan dari semuanya itu yang akan merupakan hal yang melampaui batas dibandingkan dengan keuntungan militer yang konkrit yang diharapkan sebelumnya adalah hal yang dilarang.
AS tidak terikat dengan Additional Protocol I karena AS hanya menanda-tangani namun belum meratifikasi. Akan tetapi, hukum ini tetap mengikat AS karena prinsip ini sudah menjadi customary law sebelum dikodifikasi ke dalam Additional Protocol I. Prinsip ini, dalam sejarah dan tradisinya, telah menjadi hukum kebiasaan. Hal itu dijustifikasi dari; 1) Pernyataan Inggris  bahwa prinsip proporsional in attack harus dikodifikasi secara masif oleh semua negara karena merupakan prinsip penting dalam hukum internasional yang berkaitan dengan konflik senjata. 2) Beberapa negara telah mengadopsi prinsip ini dalam legislasinya yaitu negara Armenia, Australia, Belarus, Belgia, Kanada, Kolombia, Kongo, Cook Islands, Cyprus, Georgia, Jerman, Irlandia, Mali, Belanda, New Zealand, Niger, Norwegia, Spanyol, Swedia, Inggis, Zimbabwe, Argentina, Burundi, El-Savador, Lebanon, Nikaragua, Trinidad dan Tobago.[21] Maka sudah sewajarnya prinsip ini masuk ke dalam hukum kebiasaan internasional.
Bom jenis GBU-31 seberat 2000 pound yang dijatuhkan di rumah penduduk  guna untuk melumpuhkan hanya 2 orang target militer menyebabkan kematian yang tidak perlu  yaitu kematian warga sipil yang ada di sekitarnya. Selain itu, serangan ini juga tidak proporsional, karena dampak pemboman tersebut juga merusak objek sipil. Serangan tersebut tidak mampu melumpuhkan sasaran. Tindakan tersebut jelas tidak proposional karena kerugian yang ditimbulkan lebih besar dari keuntungan militer yang didapat. Bahkan seorang  Jurnalis pada lokasi kejadian melaporkan tidak ada bukti dua pria target militer AS ada dalam 9 korban yang tewas.
e.       Precaution in Attack
Prinsip Precaution in Attack pada Additional Protocol I article 57 (1),57 (2)(a),57 (2)(a)(ii), 57 (2)(b), 57(3) turut diperiksa dalam kejadian ini. Sumber hukum ini mengatur tentang principle of precaution in attack,  target verification, choice of means and methods of warfare, control during the execution of attacks, control during the execution of attacks, serta target selection. Serangan udara yang dilakukan oleh AS di Kapisa tersebut seharusnya telah mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dan seharusnya militer AS telah mengkalkulasi sebelum serangan diluncurkan. Sumber Hukum yang diperiksa menyatakan bahwa :
Additional Protocol I Article 57(1) :  - Pencegahan dalam serangan
1.      Di dalam cara melakukan operasi-operasi militer, perhatian yang terus menerus harus diberikan untuk menyelamatkan penduduk sipildan obyek-obyek sipil.
Additional protocol I Article 57 (2)(a) – Target Verification
Article 57(2)(a) Berkenaan dengan serangan-serangan, tindakan-tindakan pencegahan seperti berikut ini harus diambil :
a)    Mereka yang merencanakan atau memutuskan dilancarkannya suatuserangan harus :
                         i.     Melakukan segala sesuatu yang mungkin dikerjakan untuk mengobservasi bahwa sasaran-sasaran yang akan diserang bukanlah orang-orangsipil maupun obyek-obyek sipil dan tidak berada dibawah perlindungan khusus, melainkan sasaran militer di dalam pengertian ayat 2 dan Pasal 52 dan bahwa ketentuan-ketentuan dari Protokol ini tidak melarang untuk menyerang,
                       ii.     Mengambil segala tindakan pencegahan yang dapat dikerjakan dalam memilih alat-alat dan cara-cara serangan, dengan mengingat untuk menghindarkan, dan dalam keadaan apapun mengurangi kerugian yang tidak perlu berupa tewasnya orang-orang sipil, luka bagi warga sipil dan rusaknya obyek-obyek sipil;
                     iii.     Berusaha untuk mengambil keputusan untuk melancarkan suatu serangan dapat diduga akan mengakibatkan kerugian yang tidak perlu berupa tewasnya orang-orang sipil, terlukanya orang-orang sipil, rusaknya obyek-obyek sipil. Atau gabungan dan semuanya itu. Yang merupakan hal-hal berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang nyata dan langsung yang semula diharapkan.

Additional protocol I article 57 (2)(a)(ii) - Choice of Means and Methods of Warfare
Article 57 (2)(a)(ii) : Mengambil segala tindakan pencegahan yang dapat dikerjakan dalam memilih alat-alat dan cara cara serangan, dengan mengingat untuk menghindarkan, dan dalam keadaan apapun mengurangi, kerugian yang tidak perlu berupa tewasnya warga sipil, luka yang diderita bagi warga sipil dan rusaknya obyek-obyek sipil;
Additional protocol I article 57 (2)(b) - Control during the Execution of Attacks
Article 57 (2)(b) : suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda apabila menjadi jelas bahwa sasarannya adalah bukan sasaran militer atau berada di bawah perlindungan khusus atau bahwa serangan itu akan mengakibatkan kerugian yang tidak perlu berupa tewasnya orang-orang sipil, terlukanya orang-orang sipil, rusaknya obyek-obyek sipil, atau gabungan dan semuanya itu, yang merupakan hal berlebih-lebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang nyala danlangsung yang semula diharapkan
Additional protocol I article 57 (3) - Target Selection
Article 57 (3): Apabila pilihan dimungkinkan antara beberapa sasaran militer untuk memperoleh keuntungan militer yang sama, maka sasaran yang akan dipilih adalah sasaran yang apabila diserang dapat diharapkan mengakibatkan bahaya yang paling kecil bagi nyawa orang-orang sipil dan obyek-obyek sipil.
AS tidak terikat dengan Additional Protocol I karena AS hanya menanda-tangani namun belum meratifikasi. Akan tetapi, hukum ini tetap mengikat AS karena prinsip ini sudah menjadi customary law sebelum dikodifikasi ke dalam Additional Protocol I. Prinsip ini, dalam sejarah dan tradisinya, telah menjadi hukum kebiasaan. Hal itu dijustifikasi dari; 1) Sudah tercantumnya prinsip ini dalam Konvensi Den Hague pasal 2 (3) tahun 1907, sebelum dikodifikasi ke dalam Additional Protocol I. 2) Adanya pengajuan banding oleh ICRC dalam konflik di Timur Tengah tahun 1973 dalam mewajibkan mengambil tindakan pencegahan dalam serangan baik oleh negara Mesir, Israel, Irak, dan Suriah. 3) Beberapa negara juga telah mengadopsi prinsip ini dalam legislasinya yaitu negara Australia, Belgia, Cameroon, Kanada, Kroasia, Ekuador, Perancis, Jerman, Hungaria, Israel, Itali, Kenya, Madagaskar, Selandia Baru, Nigeria, Philipina, Romania, Spanyol, Switzerland, Togo, Inggris, dan AS.[22]  Maka, sudah sewajarnya hal ini menjadi hukum kebiasaan internasional.
Jika melihat sumber hukum diatas, serangan udara yang dilakukan oleh AS, melanggar prinsip kehati-hatian dalam menyerang. Sesuai dengan fakta hukum yang telah diasumsikan, serangan udara AS ini dilengkapi dengan teknologi yang cukup memadai untuk melakukan target verification dan serangan tersebut diasumsikan sebagai serangan dengan akses informasi yang sangat memungkinkan pihak AS untuk melakukan deteksi sebelum menjatuhkan serangan terhadap rumah bidikan. Ditambah lagi dengan fakta yang mengatakan bahwa berdasarkan tentara AS  telah datang sehari sebelum kejadian, melakukan penggeledahan dan melihat wanita dan anak-anak di dalam rumah[23]. Sehingga tidak ada alasan bagi AS untuk tidak hati-hati dalam menyerang.  Kerugian pihak sipil seharusnya dapat diminimalisir, namun pada faktanya pihak AS tetap menyerang kawasan yang telah diketahui terdapat warga sipil di sana.
Dari sumber hukum terkait prinsip kehati-hatian dalam menyerang, dapat diasumsikan bahwa dalam setiap pelaksanaan penyerangan terdapat sebuah perencanaan yang terkoordinasi. Koordinasi tersebut melibatkan komandan sebagai pemberi perintah dan prajurit sebagai pelaksana penyerangan.
E.    Kesimpulan

AS telah melakukan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional dalam serangan yang dilancarkannya terhadap sebuah lokasi yang diduga menjadi tempat persembunyian Taliban di wilayah Kapisa. Namun, setelah diverifikasi, ternyata tidak ditemukan korban dari Taliban, akan tetapi korban yang berjatuhan adalah dari kaum sipil yang tidak ada hubungan sama sekali dengan peperangan. Ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh AS dalam serangannya tersebut, yang mencakup; 1) pelanggaran terhadap prinsip pembedaan sipil dan kombatan. 2) pelanggaran terhadap prinsip pembedaan objek sipil dan militer. 3) pelanggaran terhadap prinsip serangan yang tidak dapat membedakan antara sipil dan militer (indiscriminate attack). 4) pelanggaran terhadap prinisip penggunaan senjata dan proporsionalitas dalam serangan. 5) pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam menyerang. Kelima prinsip ini tetap memiliki status hukum untuk menjerat AS sekalipun AS tidak meratifikasi Additional Protocol I. AS menjadi pihak yang bersalah karena kelima prinsip tersebut telah menjadi hukum kebiasaan internasional.





       [1] U.S. Strike Kills 9 Family Members Near Kabul, Afghans Say. Tersediadi http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?res=9D04E0D81431F935A35750C0A9619C8B63,  diakses pada 24 April 2015, Pkl. 20.07 WIB
       [2] Bombing Afghanistan Afghan President Tells 60 Minutes That Too Many Civilians Are Being Killed Tersedia di http://www.cbsnews.com/news/bombing-afghanistan/, diakses pada 24 April 2015, pada 22.25 WIB  
       [3] Ibid
       [4] Ibid.
       [5]  Ibid.
       [6]  http://www.afghanistannewscenter.com/news/2007/march/mar52007.html, diakses pada 14 Mei 2015.
       [9] http://www.hrw.org/reports/2008/afghanistan0908/3.htm, diakses pada 24 April 2015.
      [10] Ibid
       [11] Dijelaskan lebih lanjut dalam setiap prinsip dalam bagian B. Analisa Terhadap Pelanggaran Hukum Sesuai Dengan Sumber Hukum dalam Legal Opinion ini.
       [12] INTERNATIONAL AND OPERATIONAL LAW DEPARTMENT. Law of War Deskbook. (Charlottesville: The United States Army Judge Advocate General’s Legal Center and School, 2011). Hal. 101 – 112.
[13] Ibid. Hal. 139 – 178.
[14] Ibid. Hal. 179 – 204.
[15] Jean Marie Henckaerts dan Luois Doswald Beck, 2005, Customary International Law Volume I; Rules, UK: Cambridge.
       [16] http://www.afghanistannewscenter.com/news/2007/march/mar52007.html, diakses pada 14 Mei 2015.
[17] Jean Marie Henckaerts dan Luois Doswald Beck, 2005, Customary International Law Volume I; Rules, UK: Cambridge.
       [18] http://www.hrw.org/reports/2008/afghanistan0908/3.htm, diakses pada 24 April 2015.
       [19] Ibid.
[20] Jean Marie Henckaerts dan Luois Doswald Beck, 2005, Customary International Law Volume I; Rules, UK: Cambridge.
[21] Jean Marie Henckaerts dan Luois Doswald Beck, 2005, Customary International Law Volume I; Rules, UK: Cambridge.
[22] Jean Marie Henckaerts dan Luois Doswald Beck, 2005, Customary International Law Volume I; Rules, UK: Cambridge.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments