Diplomasi RI untuk Memperoleh Pengakuan Internasional
By Meisarah Marsa, S.Sos - September 26, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Memperoleh
pengakuan negara merdeka oleh dunia internasional menjadi hal yang paling
utama. Pengertian dari pengakuan sebagai negara baru ditandai bahwa negara
tersebut bagian dari masyarakat internasional. Pengakuan kepada suatu negara
baru dibedakan antara pengakuan de facto dan pengakuan de jure.
Pengertian dari pengakuan de facto adalah pengakuan yang diberikan oleh
pemerintah negara lain kepada pemerintah baru berdasarkan pada fakta bahwa
dinegara tersebut telah terbentuk suatu pemerintah baru tanpa memandang
asal-usul bagaimana pemerintahan baru itu terbentuk atau berkuasa.[1]
Sedangkan
pengakuan secara de jure merupakan kelanjutan dari pemberian pengakuan
secara de facto. Pengakuan de jure adalah pengakuan yang
diberikan oleh pemerintah negara lain kepada pemerintah baru yang berkuasa
secara konstitusional apabila tidak ada keragu-raguan lagi bahwa pemerintah
tersebut dapat menjalankan pemerintahannya dan mampu melaksanakan
kewajiban-kewajiban internasional.[2]
Sebagai tindak lanjut dari pengakuan de facto dan de jure dari
sejumlah negara sahabat, maka dibukalah hubungan diplomatik antara Indonesia
dengan negara-negara lain.
Meskipun Indonesia
sudah mendapat pengakuan secara de facto oleh Lebanon (29 Juni 1947);
Suriah (2 Juli 1947); Irak (16 Juli 1947); Arab Saudi (24 September 1947);
Afganistan (23 November 1947); Birma (23 November 1947); Inggris (31 Maret
1947); Amerika Serikat (23 April 1947); Yaman (4 Mei 1948); dan Uni Soviet (5
Mei 1948) namun seakan-akan sama sekali tidak ada pengaruhnya.[3]
Indonesia sudah mendeklarasikan kemerdekaan namun Belanda masih mendarat di
Indonesia dengan maksud untuk kembali menjajah Indonesia.
1.2 Pertanyaan Masalah
Dari penjabaran latar belakang
diatas terdapat pertanyaan mendasar yang
kemudian akan dijadikan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu:
·
Bagaimana
upaya diplomasi Indonesia untuk memperoleh pengakuan internasional
1.3 Kerangka
Teori
Dalam melihat upaya diplomasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan di
dunia internasional, maka diperlukan seperangkat konsep dan teori yang tepat
sehingga dapat mempermudah dan menjadi bahan acuan dalam melihat peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Makalah ini menggunakan
beberapa konsep dan teori yang berhubungan dengan objek kajian, antara lain:
Pertama : Konsep Diplomasi. Menurut
Prof. Brownlie dalam bukunya “Principles
of Public International Law”, diplomasi merupakan setiap cara yang diambil
untuk mengadakan dan membina hubungan serta berkomunikasi satu sama lain, atau
melaksanakan tindakan politik/hukum melalui wakil-wakil yang ditunjuk dan
mendapat otorisasi[4].
Penting untuk menjadikan konsep diplomasi sebagai kerangka teori dalam makalah
ini, pasalnya makalah ini akan membahas upaya-upaya diplomasi yang dilakukan
Indonesia, sehingga harus berdasarkan pada bagaimana konsep diplomasi
dijelaskan dalam hubungan internasional.
Kedua : Konsep Kepentingan Nasional. Dalam menjalankan praktek diplomasi, sebuah negara tentunya memiliki
maksud dan tujuan tertentu, sehingga penting untuk menjadikan konsep
kepentingan nasional sebagai landasan teori dalam makalah ini. Kepentingan
nasional itu sendiri dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor
penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam
merumuskan kebijakan luar negerinya[5].
Ketiga : Konsep Kebijakan Luar Negeri.
Kebijakan luar negeri adalah kebijakan yang ditempuh oleh suatu negara dalam
urusannya dengan negara lain, yang dirancang untuk mencapai tujuan nasional[6].
BAB II
Diplomasi RI untuk Memperoleh Pengakuan Internasional
A.
Diplomasi dan Perang
Pasca proklamasi kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno Hatta, Indonesia mulai diakui sebagai defacto. Namun sebagai negara merdeka,
Indonesia juga membutuhkan pengakuan secara dejure.
Sehingga, diperlukan upaya diplomasi yang lebih luas untuk menyuarakan
kemerdekaan Indonesia. Ditinjau dari segi kegiatan diplomasi Republik
Indonesia, periode 1945 – 1950 merupakan periode yang sangat menentukan[7].
Dalam memperjuangkan dan menyuarakan kemerdekaannya, Indonesia membutuhkan dua
aspek perjuangan yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya yaitu aspek
diplomasi dan aspek perang. Karena selama awal kemerdekaan, diplomasi Indonesia
mendapat ujian dan tantangan yang berat. Sehingga, para founding father Indonesia berupaya menemukan solusi strategis yang
kemudian mengarah pada dua aspek, di mana diplomasi sebagai syarat utamanya
yang ditopang dengan kekuatan perjuangan rakyat[8].
Aspek diplomasi sangat erat
hubungannya dengan aspek perang. Karena apabila diplomasi mencapai jalan buntu,
maka perjuangan senjata dapat menjadi alteranatif terakhir. Perjalanan
diplomasi di Indonesia tidaklah mudah. Di masa awal kemerdekaan Indonesia,
terdapat beberapa kelompok yang menentang upaya diplomasi yang dilakukan dengan
Belanda. Upaya diplomasi dianggap merugikan pihak Indonesia setiap kali
berhadapan dengan Belanda. Kelompok yang menentang inipun tergabung dalam
Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka. Dengan demikian, masalah
diplomasi dan perjuangan bersenjata secara bersamaaan menjadi problematika pada
saat itu.
Pada hakikatnya, aspek
diplomasi dan aspek perang diumpamakan seperti dua sisi mata uang. Yang mana
diplomasi saja tanpa ada perjuangan bersenjata tidak berarti apa – apa.
Sebaliknya, perjuangan bersenjata tanpa diplomasi tidak akan menggambarkan
perjuangan Indonesia. Hal ini kemudian dipertegas dengan pidato yang
disampaikan oleh Muhammad Hatta kepada Badan Pekerja KNIP 19 Juli 1949 bahwa : Pertama, politik luar negeri yang
berpedoman pada politik damai untuk memberikan kepada Republik Indonesia
kedudukan yang kuat dalam politik Internasional. Kedua, kekuatan yang berdasarkan tenaga rakyat dan kesanggupan
tentara Indonesia untuk membela negara apabila diserang oleh musuh.
M. Natsir juga menyetujuinya
dengan berargumen bahwa negosiasi tanpa dukungan perjuangan bersenjata akan
menyebabkan posisi dalam tawar menawar menjadi lemah, sebaliknya perjuangan
bersenjata saja akan memudahkan Belanda berdalih, bahwa masalah Indonesia
merupakan permasalahan dalam negeri. Diplomasi pun juga mendapat dukungan penuh
dari Tentara Keamanan Rakyat pada waktu itu.
B.
Aparat Politik Luar
Negeri
Sesudah proklamasi kemerdekaan,
Presiden Soekarno segera meminta salah satu KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat) yang diketuai oleh Ahmad Soebardjo untuk menyusun suatu daftar yang
memuat Kementrian termasuk Kementerian Luar Negeri. Namun, pada sejarah
awalnya, Kementerian Luar Negeri menghadapi berbagai kendala dan masalah besar.
Ahmad Subardjo harus mulai meletakkan landasan kegiatan Kementrian Luar Negeri
mulai dari awal. Ahmad Subardjo yang juga merupakan Menteri Luar Negeri pertama
memulai tugasnya dengan membuka kantor di rumahnya, Jl. Cikini Raya No. 80 –
82. Ia dibantu oleh beberapa staf kecil yang terdiri atas Ny. Herawati Diah,
Nn. Paramita Abdurachman, Mr. Sudjono, Suyoso Hadiasmoro, dan Hadi Thayeb[9].
Selama masa kabinet Sjahrir,
Sutan Sjahrir merangkap jabatan sebagai Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar
Negeri. Pada waktu itu, sarana dan prasarana serta kelengkapan lain masih
terbatas. Namun demikian, Kantor Kementrian Luar Negeri kemudian mulai
ditempatkan secara resmi di Jl. Cilacap No. 4. Pada akhir Oktober 1945, Kantor
Kemenlu kemudian pindah lagi ke Jl. Pegangsaan Timur no.36. Pada awalnya,
Kementerian Luar Negeri hanya membentuk satu sekretariat yang dipimpin oleh Mr.
Sudjono. Aparat politik luar negeri RI kemudian semakin berkembang dengan
dibentuknya Bagian Hubungan Masyarakat, Bagian Terjemahan dengan juru
bahasanya, Bagian Penerangan merangkap Penghubung yang memelihara hubungan
dengan Kementerian lainnya, konsulat – konsulat asing dan Markas Besar Tentara
Sekutu di Jakarta. Kemudian disusul dengan staf bagian politik dan bagian yang
mengurus kepegawaian, keuangan dan arsip. Di tambah dengan tenaga – tenaga ahli
dinas luar negeri. Dalam kedudukannya sebagai Perdana Menteri, Sutan Sjahrir
mulai mencari tenaga untuk membangun unsur inti foreign service Indonesia.
Dalam beberapa waktu
selanjutnya mulai dibuka perwakialn diplomatik di luar negeri. Beberapa di
antara pembukaan hubungan diplomatik yaitu[10]
:
1. Hubungan diplomatik di
Singapura di bawah pimpinan Mr. Utoyo Ramelan
2. Hubungan diplomatik di New
Delhi oleh Dr. Soedarsono
3. Hubungan diplomatik di Karachi
dipimpin oleh Idham
4. Hubungan diplomatik di Rangoon
oleh Maryunani
5. Hubungan diplomatik di Canberra
oleh Mr. Usman Sastroamidjojo
6. Hubungan diplomatik di Bangkok
oleh Izak Mahdi
7. Hubungan diplomatik di Kairo
oleh Rasyidi
8. Hubungan diplomatik di Baghdad
oleh Imron Rosyadi
9. Hubungan diplomatik di London
oleh Dr. Subandrio
10. Hubungan diplomatik di Kabul
oleh Mayjen Abdul Kadir
11. Hubungan diplomatik di New York
yang dipimpin oleh L.N. Palar
Peranan dan kegiatan Kementrian
Luar Negeri meningkat setelah Presiden dan Wakil Presidn pada bulan Maret 1946
pindah ke Ibu kota perjuangan, Yogyakarta. Pada saat yang sama, bagian
diplomatik konsuler mulai dibentuk dan dipimpin oleh Pandu Suradhiningrat. Kantor
Kemenlu pernah ditutup selama agresi militer Belanda I pada 21 Juli 1947.
Setelah dikeluarkannnya perjanjian Roem Royen dan dipulihkannya kembali pemerintah
ke Yogyakarta dengan dibebaskannya pemimpin pemerintah Republik Indonesia oleh
Belanda, maka Kantor Kementerian Luar Negeri mulai diaktifkan kembali untuk
mengantisipasi perundingan dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar. Setelah
KMB usai, Kementerian Luar Negeri kemudian mulai diberikan kantor khusus di
Taman Pejambon No. 6 yang masih bertahan hingga sekarang.
C.
Dasar – Dasar Politik
Luar Negeri
Sumber resmi politik luar
negeri Indonesia berawal dari pernyataan Mohammad Hatta di depan BP KNIP, 2
September 1948. Menurut sumber lain juga disebutkan bahwa prinsip dasar politik
luar negeri Indonesia juga pernag dikemukakan oleh Sutan Sjahrir pada
kesempatan pidatonya dalam Inter Asian
Relations Conference di New Delhi[11].
Namun, Hatta kemudian mempertegas keterangan tersebut sebagai politik luar
negeri yang bebas dan aktif.
Ciri – ciri kebijakan politik
luar negeri bebas dan aktif adalah :
-
Bebas, yaitu berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan
pendapat sendiri terhadap tiap – tipa persoalan internasional sesuai dengan
nilainya masing – maisng tanpa a priori
atau memihak kepada suatu blok. Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan bahwa bebas menggambarkan bahwa Indonesia tidak memihak pada
kekuatan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangasa sebagaimana yang
tervermin dalam Pancasila.
-
Aktif, menurut Hatta dalam tulisannya Politik
Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa politik luar negeri Indonesia
bukanlah politik netral, karena tidak ditemp dalam hubungan negara – negara
yang sedang berperang melainkan dengan tujuan memperkokon dan memperjuangkan
perdamian.
Dalam hal ini, Pancasila
menjadi pedoman politik bebas aktif. Di mana Pncasila tidak membenarkan konsep
liberal yang mengutamakan kepentingan perorangan daripada kolektif dan juga
tidak menerima konsep komunis yang hanya mementingkan nilai kolektif dalam
masyarakat. Namun perlu diakui bahwa dalam pelaksanannya, Indonesia tidak dapat
aktif menjalankan politik luar negerinya di ranah Internasional. Politik luar
negeri bebas aktif juga memiliki bebepa sifat antara lain anti kolonialisme,
anti imperialisme, tidak memihak dan tidak mengikat, dan mengabdi kepada
kepentingan nasional. Namun dalam realisasinya, politik luar negeri Indonesia
kadang memihak Barat dan kadang memihak Timur. Hal ini tercermin dalam
pemberian surat PBB yang pada tahun 1951 dan 1957, Indonesia 89 kali menyokong
AS dan 91 kali menyokong Uni Soviet, 80 kali abstain dan 68 kali bersama – sama
dengan kedua negara adidaya tersebut[12].
D.
Pengakuan Negara oleh
Dunia Internasional
Dalam ketentuan hukum internasional terdapat syarat-syarat yang
harus dipenuhi sebelum mendapat pengakuan internasional. Negara adalah suatu
daerah terioterial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang
berhasil menurut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan
perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan
yang sah.[13]
Negara terdiri dari beberapa unsur yaitu adanya wilayah, penduduk, pemerintahan yang
berdaulat, dan pengakuan dari negara lain.[14]
Namun menurut Philip C. Jessup
syarat selanjutnya yang diperlukan Indonesia saat itu yaitu penyelesaian
politik antara negara penjajah dan negara bekas jajahan.[15] Ketika
terjadi kondisi vacuum of power yang memberikan kesempatan yang sangat
baik untuk Indonesia untuk memperkuat
posisinya. Dengan penyerahan tentara Jepang oleh Kaisar Hirohito, maka tentara
Jepang di Indonesia mengalami tekanan. Ketika menjelang pendaratan sekutu,
balatentara Jepang diangkat sebagai penguasa sekutu di Indonesia untuk menjaga
keamanan dan ketentraman, tetapi karena mereka telah kehilangan semangat,
mereka tidak menanggapi gerakan kemerdekaan Indonesia.[16]
Banyak diantara tentara Jepang,
khususnya dari Angkatan Laut yang membantu memberikan senjata kepada penguasa
Indonesia, seperti yang terjadi di Surabaya. Mengenai hal tersebut Belanda
memprotes keras pihak Jepang. Pihak
Angkatan Darat lebih kaku dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan
Indonesia dan oleh karena itu terjadi usaha-usaha perebutan senjata yang
mengakibatkan timbulnya pertempuran dengan pihak Jepang. Pertempuran tersebut
membuktikan kepada dunia internasional bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah
hasil dari pemberian atau hadiah dari pihak Jepang.[17]
Pendaratan sekutu terjadi pada 15 September 1945 di Tanjung Priok dibawah
pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Selain Inggris terdapat juga kapal
perang Belanda dan personil NICA. Tujuannya pendaratan sekutu, yaitu:[18]
·
Melucuti
tentara Jepang dan mengembalikan mereka.
·
Melepaskan
tawanan perang Sekutu dan iterniran (APWI)
·
Menjaga
keamanan dan ketenteraman.
Bagi bangsa Indonesia pada point ke-3 bahwa tentara sekutu akan
mempertahankan keamanan dan ketentraman, dapat diartikan mempertahankan status
quo ante bellum yang berarti kedaulatan atas Indonesia sebagai bekas jajahan
Belanda berada di tangan Belanda. Sedangkan bangsa Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 berpendirian bahwa negara
Indonesia telah berdiri menggantikan jajahan Belanda. Indonesia sudah
mempersiapkan diri untuk menghadapi pendaratan sekutu.
Indonesia telah mencurigai niat Komando sekutu sejak diketahui
bahwa perwira NICA, telah diizinkan memasuki Jakarta sebagai anggota misi Laksamana Patterson. Pemimpin Indonesia
mengkhawatirkan bahwa pendaratan tambahan dari tentara Belanda yang
“diselundupkan” tentara sekutu dapat mengakibatkan bentrokan bersenjata dengan
rakyat Indonesia.[19]
Inggris yang memaksa Belanda untuk
bersedia menyelesaikan sengketa dengan Indonesia secara damai yaitu dengan
perundingan, dan Inggris berperan sebagai perantara. Satu segi dari sikap
sekutu yang positif adalah pendiriannya yang senantiasa menekan Belanda agar
bersedia menyediakan sengketanya dengan Indonesia secara damai. Hal tersebut
telah tercantum dalam keterangan Jenderal
Christison ketika sekutu mendarat.[20]
Dalam perjalanan diplomasi Indonesia
untuk memperoleh pengakuan dunia, kiranya Singapura menjadi negara istimewa.
Meskipun Singapura belum menjadi negara
merdeka namun peranannya sebagai koloni Inggris yang juga memiliki jarak yang
berdekatan dengan Indonesia sangat menentukan perjuangan Indonesia.
Menurut Menteri Luar Negeri Ali
Alatas perwakilan Indonesia di Singapura adalah perwailan diplomatik yang
pertama dibuka dan cepat berkembang menjadi pusat kegiatan perjuangan luar
negeri Indonesia, bukan hanya dibidang diplomatik tetapi juga pusat pengumpulan
dan penyaluran dana serta alat perlengkapan bagi kepentingan perjuangan kemerdekaan didalam
negari, pusat komunikasi yang memberikan bahan-bahan informasi tentang
perkembangan tentang perkembangan di tanah air kepada perwakian-perwakilan
Indonesia lainnya dan kepada dunia umumya, dan juga sebagai kota transit bagi
pejabat-pejabat Indonesia.[21]
E.
Kontak dengan India
Dalam rangka mendapatkan pengakuan Internasional
atas kemerdekaan Republik Indonesia, salah satu negara yang menjadi penghantar
pengakuan Internasional tersebut adalah India. India merupakan negara kedua
setelah negara sekutu dan Singapura yang berkontak langsung dengan Indonesia. Tidak
dapat dipungkiri, India menjadi salah satu negara yang menjadi pelopor
pengakuan Internasional atas kemerdekaan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
usaha Nehru yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri sekaligus Menteri
Luar Negeri India yang menyampaikan hasil Resolusi New Delhi kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang membahas tentang agresi Belanda atas Republik Indonesia
untuk segera dihentikan.
Keberhasilan diplomasi Republik Indonesia terhadap
India tersebut tidak lepas dari tiga faktor pendukung berikut; pertama,
Indonesia dan India seperti yang kita ketahui sudah menjalin hubungan yang
cukup erat sejak lama, terutama ketika agama Budha dan Hindhu mempengaruhi
kehidupan kebudayaan Indonesia. Bahkan peninggalan sejarah tersebut masih dapat
disaksikan hingga sekarang terutama di Pulau Jawa dalam kesusasteraan kuno dari
Mahabharata dan Ramayana ditambah lagi di Bali agama Hindhu masih dianut oleh
mayoritas penduduk.[22]
Kedua, kesamaan identitas dalam memperjuangkan
kemerdekaan kedua bangsa yaitu India atas Inggris dan Indonesia atas Belanda,
menjadi faktor lain yang membuat India terutama Nehru beserta rakyat India
memberikan dukungannya atas perjuangan Indonesia. Ketiga, hubungan dekat antar
dua pimpinan negara yaitu Nehru dengan Mohammad Hatta yang terjalin sejak
Februari 1927. Keduanya diketahui sama-sama menghadiri salah satu konferensi Language of Oppressed Nationalities di
Brussel.[23]
Selain ketiga faktor diatas, adapun faktor
keberhasilan lainya datang dari upaya diplomasi Republik Indonesia itu sendiri.
Pertama, datang dari semangat para pelajar Indonesia di India. Para pelajar ini
tentunya berperan cukup kuat dalam mendorong dukungan India terhadap Indonesia.
Kemudian pada akhirnya para pelajar ini membentuk suatu wadah perjuangan
bernama Persatuan Putera Indonesia di India atau yang biasa disingkat dengan
PPII. Tujuan pokoknya adalah untuk membela negara proklamasi dengan mendesak
pimpinan-pimpinan India dan dunia agar mengakui berdiri sahnya Republik
Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat.[24]
Untuk selanjutnya, PPII membentuk Balai Penerangan (Indonesia Information Service) yang
mulai berfungsi pada 9 Juni 1946. Dari sinilah PPII menajalankan tugas
perwakilan dengan menyiarkan, membuat buletin serta brosur-brosur dalam bahasa
Inggris, bahasa Urdu serta Indonesia, yang tujuannya menyiarkan segala yang
terjadi di Indonesia dan perjuangannya kepada pers dan media massa secara luas
kemudian diteruskan ke Perwakilan Republik di London dan New York. Sedangkan
siaran berbahasa Indonesia disebarkan di India dan Timur Tengah untuk dibaca
oleh masyarakat Indonesia di sana.[25]
Selain itu, PPII juga bekerja sama dengan Persatuan
Pemuda Indonesia (PPI) yang anggotanya terdiri dari 700 orang pelaut Indonesia
yang bekerja di kapal-kapal niaga Belanda. Kerja sama tersebut membuahkan aksi
mogok dari para pekerja di Bombay, kemudian pemulangan para pekerja ke
Indonesia serta pemindahan tangan kekayaan para pekerja kepada PPII.[26]
Kedua, diplomasi Soetan Sjahrir dalam pidatonya pada
konferensi Inter Asian Relation yang
diselenggarakan di New Delhi oleh Indian
Council of World Affaris pada 23 Maret sampai 2 April 1947. Soetan Sjahrir
dalam pidatonya juga menyatakan politik luar negeri Indonesia pertama di depan
para pendengar Internasional. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa Soetan
Sjahrir menyerukan kepada bangsa-bangsa Asia agar bersatu berdasarkan
kepentingan bersama, mencari persahabatan dengan bangsa-bangsa lain, sehingga
visi Satu Dunia (One World) dapat
diwujudkan. Hal itu akan dapat dicapai hanya dengan menjalankan cara hidup
berdampingan secara damai oleh semua bangsa-bangsa untuk menjamin perdamaian
dengan memperkokoh hubungan-hubungan yang ada antara suku-suku dan bangsa di
dunia.[27]
Selain pidato tersebut, ada lagi diplomasi Soetan Sjahrir yang cukup
berpengaruh yaitu bantuan beras kepada India sebesar 500.000 ton beras.[28]
Ketiga, diplomasi Moehammad Hatta. Moehammad Hatta
seperti yang telah disebutkan sebelumnya memiliki hubungan yang dekat dengan
pimpinan India, Nehru. Kedekatan mereka dimulai ketika Nehru bermukin di Eropa
yang saat itu memimpin Indian League bertemu dengan Mohammad Hatta yang sedang
melanjutkan pelajarannya di Negeri Belanda. Pada saat itu, Mohammad Hatta
menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia. Kemudian, keduanya bersama-sama
menghadiri salah satu konferensi Language
of Oppressed Nationalities di Brussel.[29]
Kemudian, Mohammad Hatta diperintahkan oleh Presiden
Soekarno dan Soetan Sjahrir untuk diam-diam terbang ke New Delhi mencari
dukungan pemerintah India. Perintah tersebut tentu diterima oleh Mohammad Hatta
yang kemudian berangkat ke India sebagai kopilot dengan nama samaran Abdullah.[30]
Sesampainya di India dan saat bertemu secara rahasia dengan Nehru, Mohammad
Hatta langsung meminta bantuan berupa senjata, namun Nehru langsung menjawab
bahwa senjata yang dimiliki India berada di tangan Inggris.[31]
Meskipun bantuan senjata tak didapat Indonesia, namun, secara moril Nehru
sangat mendukung perjuangan Indonesia.
Tak lama dari kunjungan tersebut, ternyata
membuahkan hasil. India muncul memberikan dukungan hebat kepada Republik
Indonesia. Nehru atas saran Perdana Menteri U Nu dari Birma (Myanmar)
mengadakan Konferensi Asia untuk Indonesia (Asian
Conference on Indonesia) yang dihadiri oleh wakil-wakil negara :
Afghanistan, Australia, Burma (Myanmar), Ceylon (Sri Lanka), Mesir, Ethiopia,
India, Iran, Iraq, Lebanon, Indonesia, Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah
dan Yaman. Dengan peninjau dari Cina, Nepal, Selandia Baru dan Thailand. Turki
menolak hadir.[32]
Dalam pidato pembukanya Perdana Menteri Nehru
menguraikan maksud dan tujuan konferensi, yang secara khusus diadakan untuk
membicarakan persoalan Indonesia dan untuk memberikan saran-saran kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa supaya perang di Indonesia dapat segera diakhiri
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa.[33]
Pada hari kedua konferensi tersebut menghasilkan
sebuah resolusi, yaitu Resolusi New Delhi untuk Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Resolusi ini semakin memperkuat kerjasama antar negara Asia.
Salah satu bukti nyata dari Resolusi tersebut langsung diiuti oleh India,
Pakistan, Sri Lanka, Mesir dan Arab Saudi yang menutup lapangan udaranya untuk
KLM (Maskapai Penerbangan Belanda), sehingga untuk penerbangan ke Indonesia,
KLM harus melalui Mauritius (jajahan Perancis).[34]
Resolusi itu kemudian disampaikan Nehru kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta supaya Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa segera bersidang membicarakan agresi Belanda terhadap Republik
Indonesia. Belanda bukan saja gagal melenyapkan Republik dari bumi Indonesia,
bahkan sebaliknya Belanda justru mendapatkan citra buruk atau kecaman di mata
dunia. Semua tuntutan Konferensi New Delhi itu akhirnya termuat dalam
resolusi-resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bansa pada 28 Januari
1949.[35]
F.
Kontak dengan Negara –
Negara Timur Tengah
Diplomasi Republik Indonesia dalam rangka mencapai
kedaulatannya atas pengakuan Internasional terhadap negara-negara di Timur
Tengah tidak lain dan tidak bukan mendapat bantuan dari pengakuan Liga Arab.
Adapun pengakuan tersebut didapat Indonesia oleh beberapa faktor berikut;
pertama, faktor paling mendasar adalah Agama yang dianut mayoritas penduduk
baik di Indonesia maupun timur tengah sama-sama menganut agama Islam. Kedua,
banyaknya masyarakat Indonesia yang menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di
Mesir, pusat Perguruan Tinggi Al Azhar, melaksanakan ibadah Haji di Arab Saudi
maupun menetap dan bekerja di Timur Tengah. Untuk itu, kita dapat
melihat upaya-upaya diplomasi Republik Indonesia untuk mendapat pengakuan dari
Timur Tengah sendiri tidak lepas dari peran mahasiswa Indonesia yang menetap di
Timur Tengah. Berbagai tulisan para pemuda Indonesia yang menanamkan bibit
kemerdekaan disebar melalui berbagai media massa negara-negara Arab.[36]
Pengakuan dari Liga Arab ini juga tidak lepas dari
diplomasi yang dijalankan oleh H. Agus Salim. H. Agus Salim dikenal gencar
dalam memperkenalkan Republik Indonesia di luar negeri. Dari Kairo, H. Agus
Salim meneruskan misinya ke Suriah, Transyordania, Irak, Lebanon dengan hasil
gemilang. Dia tidak mengikuti misinya ke Arab Saudi dan Yaman, misi tersebut
dilanjutkan oleh Haji Rasyidi cs.[37] Beberapa delegasi juga
turut mengunjungi Kairo seperti Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta dalam rangka
untuk menyatakan penghargaan dan terima kasih Indonesia terhadap besarnya
dukungan negara-negara Arab yang dipelopori oleh Mesir kepada perjuangan rakyat
Indonesia.
Sebelum kunjungan H. Agus Salim, Soetan Sjahrir dan
Mohammad Hatta, ada peran penting lainnya yang mendorong dukungan tersebut,
yaitu utusan Republik Indonesia pertama yang mengunjungi Mesir, Suwandi yang
singgah di Kairo pada 7 April 1946. Dalam kesempatan tersebut, Suwandi
menyampaikan terimakasih Indonesia atas keputusan Liga Arab yang mendukung
kemerdekaan Indonesia dengan harapan agar Liga meningkatkan dukungannya sampai
tercapai kemerdekaan Indonesia sepenuhnya.[38]
Keberhasilan misi Suwandi maupun misi H. Agus Salim
dan kunjungan Soetan Sjahrir serta Mohammad Hatta tersebut adalah berkat kerja
keras dan usaha dari pejuang-pejuang Indonesai yang telah terlebih dahulu
dirintis oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Kairo,
Baghdad dan negara-negara Arab lainnya seperti Zein Hassan di Mesir dan Imron
Rosyadi di Irak.[39]
G.
Kontak dengan Australia
Usaha Indonesia untuk mendapatkan pengakuan di
dunia Internasional juga dilakukan terhadap tetangga dekat Indonesia, yaitu
Australia. Walaupun Australia bukan negara Asia, namun lokasi geografisnya yang
dekat dengan Indonesia, yaitu hanya dipisah oleh Laut Timor, membuat Australia tidak
dapat menutup mata terhadap perkembangan politik di Indonesia. Setidaknya,
terdapat dua peristiwa penting yang menunjukkan intervensi dari pihak
pemerintah Australia untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mencegah
kembalinya penjajahan Belanda[40]. Pertama, yaitu adanya pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda yang
memuat senjata untuk dibawa ke Indonesia. Pemboikotan ini diprakarsai oleh
cabang Brisbane dari Waterside Workers
Federation (WWF). Kedua, yaitu
partisipasi aktif Australia untuk menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda dan
bersungguh-sungguh mendukung Indonesia menentang Belanda. Hal ini dapat dilihat
dari sikap anggota Australia dalam Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Intervensi Australia untuk mendukung pemerintah
Indonesia dalam menentang Belanda yang pertama, yaitu dengan adanya pemboikotan
kapal-kapal Belanda. Dengan inisiatif Partai Komunis Australia (ACP) dan
pimpinan Komunis dari Serikat Buruh Perairan Australia, para buruh pelabuhan
Australia pada 20 September 1945 di seluruh pelabuhan Australia melarang
pemuatan ke atas semua kapal Belanda yang berlayar ke Hindia Belanda[41]. Pemboikotan diprakarsai
oleh pelaut-pelaut Indonesia yang meninggalkan enam kapal Belanda di pelabuhan
Brisbane pada 24 September 1945. Aksi ini segera diikuti dengan sebuah
keputusan WWF cabang Brisbane untuk memboikot keenam kapal tersebut.
Pemboikotan kemudian diambil alih oleh cabang-cabang WWF di Sydney dan
Melbourne.
Selain itu, masyarakat Indonesia di Australia
juga mengambil peran penting dalam pemboikotan ini. Melalui kontaknya yang
terdahulu dengan WWF di beberapa kota Australia, para veteran Tanah Merah
melalui organisasi mereka, Indonesian
Political Exile’s Association tampil efektif mengimbau serikat-serikat buruh
untuk melancarkan pemboikotan terhadap semua kapal-kapal Belanda yang
mengangkur piranti keras militer yang mungkin digunakan untuk menindas Republik
Indonesia. Dan Pada 26 September 1945, Dewan Federal memutuskan pemogokan
menyeluruh terhadap semua kapal Belanda di pelabuhan-pelabuhan Australia[42]. Meskipun dalam masalah pemboikotan
kapal-kapal Belanda itu, pemerintah Australia berusaha memberikan kesan
seakan-akan tidak memihak, namun pemboikotan yang berkepanjangan atas pemuatan
kapal-kapal Belanda ditafsirkan di luar negeri sebagai tanda bahwa pemerintah
Australia mendukung kemerdekaan Indonesia.
Intervensi kedua yang dilakukan Australia dalam
mendukung Indonesia melawan Belanda adalah posisi Australia yang dengan jelas
mendukung Indonesia, dan peran aktifnya dalam Komisi Jasa-Jasa Baik (Good Offices Committee). Komisi
Jasa-Jasa Baik dibentuk untuk membantu menyelesaikan pertikaian
Indonesia-Belanda melalui satu komisi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada 25 Agustus 1947[43]. Komisi ini terdiri dari
tiga anggota, yang masing-masing pihak menunjuk satu anggota dan anggota ketiga
ditunjuk oleh kedua anggota lainnya. Australia ditunjuk Indonesia untuk menjadi
anggota Komisi Jasa-Jasa Baik, dan dengan demikian maka Australia menjadi
pendukung Republik Indonesia selama tahun 1947-1949.
Di dalam Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (DK PBB), Australia terus memperjuangkan kepentingan-kepentingan
Republik Indonesia. Salah satunya pada 12 Agustus 1947, Australia berhasil
meyakinkan DK PBB bahwa Republik Indonesia merupakan salah satu pihak yang
berselisih dan memiliki kedudukan yang sederajat dalam persengketaan
Indonesia-Belanda, walaupun DK PBB tidak mengakui Indonesia sebagai sebuah
negara dalam hukum internasional[44]. Ketika Belanda
melancarkan Aksi Militernya pada bulan Desember 1948, Australia menentang upaya
militer Belanda untuk menghancurkan Indonesia dan secara umum membantu menarik
perhatian internasional terhadap sengketa tersebut.
H.
Kontak dengan AS
Awal mula keterlibatan Amerika Serikat dalam
perselisihan antara Indonesia dan Belanda adalah ketika pemerintah Belanda
melancarkan aksi militer pertamanya terhadap Indonesia yang juga melanggar
perjanjian Linggarjati, kemudian masalah ini diletakkan dibawah jurisdiksi DK
PBB, dan Amerika Serikat mulai memainkan perannya sebagai anggota Komisi
Jasa-Jasa Baik PBB. Pendirian pemerintah Amerika Serikat dalam sengketa
Indonesia-Belanda pada mulanya tidak menentu dan mengambang. Disatu sisi,
gerakan nasional Indonesia secara luas didukung oleh pendapat umum Amerika
Serikat, namun dilain sisi, Belanda merupakan sekutu Amerika Serikat dalam State Departement untuk menahan pengaruh
Komunis di Eropa Barat. Sehingga secara resmi pemerintah Truman tidak mengambil
sikap yang terlalu pro-Indonesia dan akan memojokkan pemerintah Belanda. Namun,
sikap itu secara berangsur-angsur berubah dan Amerika Serikat mulai mendukung
Indonesia ketika terbukti bahwa Belanda melanggar resolusi DK PBB dengan
menggunakan kekerasan untuk menindas aspirasi perjuangan bangsa Indonesia
melalui agresi militer kedua.
Dukungan terhadap Indonesia ini dapat dilihat
ketika pada 7 februari 1949, satu resolusi diajukan di depan senate yang menuntut agar semua bantuan
ECA (Economic Cooperation Administration)
dan bantuan keuangan lain kepada Belanda dihentikan, sampai dia mengakhiri
permusuhan dengan Indonesia, menarik pasukan bersenjatanya ke belakang garis
gencatan senjata Renville, membebaskan pejabat-pejabat Indonesia yang ditawan
dan membuka perundingan baru dengan Indonesia[45]. Pemerintah Amerika
Serikat juga memaksa Belanda agar menepati janjinya untuk mengadakan Konferensi
Meja Bundar di Den Haag pada waktu sesingkat mungkin untuk membicarakan
penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Selain itu, pemerintah
Amerika Serikat berjanji akan memberikan bantuan keuangan dan ekonomi kepada
Republik Indonesia Serikat sesudah penyerahan kedaulatan[46].
I.
Kontak dengan Uni Soviet
Hubungan Indonesia dengan Uni Soviet pada
mulanya cukup baik. Pemerintah Uni Soviet senantiasa mendukung posisi Indonesia
sebagai pernyataan solidaritas terhadap perjuangan kemerdekaan negara terjajah
dalam menentang penjajahan. Namun, hubungan ini berubah ketika Hatta menolak
usul Uni Soviet untuk menerima perjanjian Konsuler, dengan persetujuan PM Amir
Syarifuddin yang beraliran kiri. Perubahan itu makin bertambah setelah kabinet
Hatta menumpas pemberontakan PKI di Madiun, yang dinilai Uni Soviet sebagai
kaki tangan kekuatan imperealis Amerika Serikat[47]. Akibatnya, Uni Soviet
mem-veto resolusi DK PBB untuk memberikan selamat atas berakhirnya Konferensi
Meja Bundar dan mencapai perjanjian menyeluruh mengenai penyerahan kedaulatan[48].
Uni Soviet tidak secara cepat mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia Serikat. Pemerintah Uni Soviet memerlukan waktu
sebulan lamanya sebelum kemudian memberikan pengakuannya, yang bersama itu
pemerintah Uni Soviet menyatakan pembukaan hubungan diplomatik baru dengan
Indonesia. Diplomasi Republik Indonesia Serikat terhadap Uni Soviet juga terus
dilakukan, dimana Hatta mengirimkan misi diplomatik ke Moskow bulan mei 1950.
Hasilnya, Uni Soviet tidak mem-veto pengajuan diri Indonesia menjadi anggota
PBB pada 28 September 1950, sehingga sejak hari itu Indonesia menjadi anggota
ke-60 PBB.
J.
Kontak dengan PBB
Untuk meningkatkan eksistensi Indonesia
di mata dunia internasional, maka Indonesia terus berupaya untuk menjadikan
sengketa Indonesia-Belanda menjadi salah satu agenda DK PBB. Upaya ini
selanjutnya didukung dengan upaya dari India dan Australia untuk mengajukan
sengketa tersebut ke DK PBB pada 28 Juli 1947, paska pelancaran aksi militer
Belanda terhadap Indonesia pada 21 Juli 1947.
Pencapaian ini tentu sangat
menguntungkan pihak Indonesia, karena telah berhasil meyakinkan dunia bahwa
masalah ini adalah masalah dunia Internasional. Hal ini selanjutnya menjadikan
citra Indonesia di dunia internasional. Indonesia pun sedikit demi sedikit
mampu mengatasi tekanan politik dan militer Belanda. Belanda pun semakin
tersudut karena pendapat dunia yang mulai mencela tindakan Belanda.
Dukungan Australia terus berlanjut
dengan pembuatan resolusi Australia yang diajukan ke DK PBB terkait masalah
ini. Resolusi tersebut menyatakan bahwa, “diakhirinya permusuhan, sehingga
arbitrasi bebas dapat menentukan baik-buruknya kasus itu dan ... pemusnahan
selanjutnya dari jiwa dan harta dapat dihindari”. Resolusi ini pun didukung
India dengan usulan tambahan redaksi resolusi, “agar kedua pihak menarik
pasukannya ke garis demarkasi yang disetujui sebelumnya”. Resolusi pun
diterima.
Pihak DK PBB pun langsung memberitahukan
resolusi ini kepada pihak Belanda yaitu wakil pemerintah Belanda di PBB, Van
Kleffens serta pihak Indonesia yang dikirimkan langsung dengan surat kawat ke
Perdana Menteri Indonesia saat itu Sjariffuddin. PM Sjarifuddin pun menerima
surat kawat tersebut dan menyambut baik adanya resoulusi ini dan segera
mengirimkan surat balasan ke DK PBB. Maka, tanggal 7 Agustus 1947 DK PBB pun
mulai membahas masalah ini dalam agendanya.
Proses selanjutnya adalah perdebatan
bahwa dalam pembahasan masalah ini kedua pihak yang bersengketa perlu di
undang. Pada awalnya baru poihak Belanda yang hadir dan langsung menyatakan
ketidaksetujuannya untuk turut mengundang pihak Indonesia dengan alasan
Indonesia bukanlah negara berdaulat. Perdebatan pun terus berlangsung sampai
pada proses voting yang menyetujui
dibolehkannya pihak Indonesia diundang dalam pembahasan. Sutan Syahrir ditunjuk
sebagai wakil RI bersama ketiga orang lainnya. Namun upaya selanjutnya untuk mengikutsertakan
pula Indonesia Timur dan Borneo dalam pembahasan tidak disetujui.
Kesempatan ini tentu sangat
dimaksimalkan oleh Sutan Syahrir meskipun dipahami bahwa hal ini tidak mudah.
Sutan Syahrir pun memaparkan hal-hal yang memperkuat posisi Indonesia terutama
pengajuan usul agar Belanda menarik pasukannya. Menurut Syahrir bagaimana bisa
perundingan dilakukan ketika salah satu pihak masih menghadapakan pistolnya ke
pihak kedua.
Selanjutnya muncul jasa-jasa baik,
seperti dari AS untuk menjadi penengah. Indonesia menerima hal tersebut, namun
pada proses selanjutnya Indonesia menilai bahwa DK PBB perlu turun tangan pula
dalam hal ini. Solusi yang akhirnya muncul adalah membentuk komisi tiga negara
yang dapat terus mengawal kondisi konflik antara Indonesia dan Belanda. Komisi
tersebut pun diisi oleh dua negara yang ditunjuk oleh Indonesia dan Belanda.
Indonesia memilih Australia dan Belanda memilih Belgia. Satu negara lagi adalah
pilihan dari dua negara yang dipilih tersebut (Australia dan Belgia). Mereka
pun memilih AS sebagai pihak ketiga tersebut.
BAB III
Penutup
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya diplomasi, perang kemerdekaan melawan Belanda dapat
berakhir dengan cepat. Tidak seperti Vietnam yang mengutamakan perang daripada
diplomasi yang berakibat pada lamanya pengorbanan rakyat Vietnam dalam upaya mencapai
kemerdekaan. Diplomasi bukan berarti kemunduran melainkan kemajuan. Hal ini
dibuktikan oleh Hatta bahwa dengan adanya diplomasi, RI diakui secara kemudain dejure oleh PBB dan Belanda dianggap
sebagai pihak yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang ditanda
tangani bersama.
Negara terdiri dari beberapa unsur yaitu adanya wilayah, penduduk, pemerintahan yang
berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Namun, menurut Philip C. Jessup syarat selanjutnya yang diperlukan
Indonesia saat itu yaitu penyelesaian politik antara negara penjajah dan negara
bekas jajahan. Dalam
rangka mendapatkan pengakuan Internasional atas kemerdekaan Republik Indonesia,
terdapat beberapa
negara yang kemudian memiliki kontak dengan
hubungan luar negeri Indonesia yaitu India, negara – negara di Timur Tengah, Australia, AS, Uni Soviet,
dll. Negara – negara ini membantu Indonesia dalam menyelesaikan hubungan dengan
Belanda dan memberikan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Ide Anak Agung Gde. Twenty Years Indonesian Foreign
Policy 1945-1965. 1973.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Hatta, Mohammad. Memoir. Jakarta: Tintamas, 1982.
Loebis, Aboe Bakar. Kilas Balik Revolusi. UI Press,
1992.
Mohsin, Aiyub. Diplomasi. Jakarta, 2010.
Nasution, Nazaruddin. Politik Luar Negeri Republik
Indonesia. Ciputat: UIN Press, 2014.
Tayeb, T.M. Hadi. Sejarah Diplomasi Republik Indonesia
Dari Masa ke Masa Periode 1945-1950. 1996: Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia.
Yani, Muchamad Yanyan, dan Anak Agung Banyu Perwita. Pengantar
Ilmu Hubungan Internasional . Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
[1] Nazaruddin Nasution, Politik
Luar Negeri Republik Indonesia, (Ciputat: UIN Press, 2015), hal. 35
[3] Deplu, hal 129
[5] Anak Agung
Banyu Perwita dan Yanyan Muchamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 35.
[7] T.M. Hadi Tayeb, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari
Masa ke Masa Periode 1945-1950, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
1996, h. 97-108.
[8] Pidato
Soekarno pada awal September 1945 : “The
Policy now adopted by the Indonesian Republic must be to the International
world. For this, the prime condition is diplomacy. Yet no nation can enter the
international arena by diplomacy alone. Behind that diplomacy, indeed the very
basis of that diplomacy, must be a power force.” Ibid.
[13] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 40
[14] Ibid,.
[15] Deplu hal 126
[16] Ibid,. hal 133
[17] Ibid,. hal 133
[18] Ibid,. hal 134
[19] Ibid,. hal 140
[20] Ibid,. hal 141
[21] Ibid,. hal 147
[28] Aboe Bakar Loebis, Kilas
Balik Revolusi, UI-Press, 1992. h.244
[41] Ibid, h. 185.
[42] Ibid, h. 186.
[44] Ibid, h. 192.
[46] Ibid, h. 202.
[47] Ibid, h. 206
0 comments