Analisis relasi Turki dan Uni Eropa dapat dilihat
dari faktor geopolitik yang mempengaruhi keduanya. Faktor geopolitik ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi geografis baik berupa posisi strategis, kondisi iklim,
sumber daya alam, populasi, sejarah negara-bangsa, maupun identitas.[1]
Faktor geopolitik menjadi bagian penting dalam menjelaskan relasi Turki dan Uni
Eropa dikarenakan kedekatan posisi geografis antar keduanya. Berdasarkan letak
geografis, Turki berada di persimpangan tiga benua yaitu benua Asia, Eropa, dan
Afrika yang terbentang dari semenanjung Anatolia di Asia Barat Daya hingga
daerah Balkan di bagian Eropa Tenggara. Wilayah Asia dan Eropa dipisahkan oleh
laut Marmara yang menjadi bagian dari wilayah Turki. Di sebelah barat, Turki
berbatasan dengan Yunani dan Bulgaria, di sebelah timur dengan Rusia dan Iran,
dan di sebelah selatan dengan Irak, Suriah, dan Azerbaijan. Turki juga diapit
oleh wilayah Balkan, Kaukasus, dan Timur Tengah. Ditambah lagi, wilayah Turki
dilengkapi dengan kekayaan laut Marmara dengan iklim maritim yang sangat baik
yang berkontribusi sebagai jalur perdagangan dan pangkalan armada laut. Posisi
geografis Turki yang unik ini berimplikasi terhadap kebijakan geopolitik Turki
yang tak jarang dimanfaatkan untuk melakukan ekspansi pada masa kerajaan Turki
Ottoman.[2]
Tidak hanya posisi geografis, geopolitik Turki juga
dipengaruhi oleh faktor sejarah kekuasaan Turki Ottoman. Turki Ottoman
merupakan sebuah kerajaan Islam yang berpusat di Turki dengan wilayah kekuasaan
yang luas hingga ke sebagian daratan Eropa. Sejarah Turki Ottoman semakin
mewarnai kebijakan geopolitik Turki yang kemudian menghasilkan perdebatan
terutama mengenai relasi Turki dan Uni Eropa pada tahun 1990an.[3]
Perdebatan ini akhirnya berujung pada kebijakan pro-Barat atau westernisasi
yang diperkenalkan oleh pemerintahan Mustaffa Kemal Atatürk pada tahun 1923, di
mana Atatürk mendirikan negara Republik Turki setelah berakhirnya kekuasaan
Turki Ottoman yang kalah dalam Perang Dunia I.[4]
Kebijakan pro-Barat ini terus berlanjut hingga masa
Perang Dingin, di mana Turki ikut terlibat dalam proyek Marshall Plan. Proyek ini memberikan peluang terhadap integrasi
Turki dan Eropa, di mana Turki turut berkontribusi dalam the Committee for European
Economic Co-operation (CEEC), the European Recovery Programme (ERP), Organisation for European Economic
Co-operation (OEEC) dan The Council
of Europe.[5] Amerika Serikat (AS) mendorong Turki
untuk menjadi bagian dari projek Marshall
Plan dikarenakan alasan strategis guna mencegah ekspansi Uni Soviet.[6]
Selain itu, keikutsertaan Turki dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada tahun 1952 juga semakin
mendekatkan Turki dengan Eropa.
Kedekatan dari segi
geopolitik tersebut kemudian menghantarkan Turki pada keinginan untuk bergabung
ke dalam Uni Eropa. Turki akhirnya mengupayakan keanggotaannya yang secara
resmi diajukan sejak 14 April 1987. Keinginan Turki untuk bergabung ke dalam
Uni Eropa semakin besar seiring dengan meningkatnya kepentingan Turki terhadap
Uni Eropa. Kepentingan tersebut antara lain :
a.
Kepentingan Identitas
Kepentingan identitas yang dimaksud adalah
identitas pro-Barat yang ditanamkan oleh Atatürk dan telah mengakar sebagai
sebuah ideologi yang dikenal dengan Kemalism atau Reformasi Kemalis.[7]
Reformasi Kemalis secara substansi telah mengakar dan merubah tatanan politik,
budaya, dan sistem ekonomi Turki yang sebelumnya didasarkan pada nilai-nilai
Islam di masa pemerintahan Turki Ottoman.[8]
Hal ini semakin diperkuat melalui pernyataan mantan Menteri Luar Negeri Turki, Necmettin
Sadak yang menegaskan bahwa revolusi Atatürk menjadi alasan kuat Turki untuk bergabung
menjadi anggota Uni Eropa.[9]
Ditambah lagi, revolusi Atatürk yang berorientasi Barat didukung dengan adanya
pengaruh geopolitik yang semakin mendekatkan Turki dengan Eropa. Sehingga tidak
dipungkiri, jika di masa awal berdirinya, Turki berupaya untuk mengatur
kebijakan yang mengarah ke Eropa. Hal ini dapat dilihat dari penerapan gaya
sekularisme dalam sistem pemerintahan Turki.[10]
b.
Kepentingan Ekonomi
Faktor ekonomi juga menjadi kepentingan Turki untuk
menjadi bagian dari keanggotaan Uni Eropa. Kondisi perekonomian Turki yang
memburuk di awal Perang Dingin menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
kebijakan Turki pada masa awal terbentuknya Uni Eropa.[11]
Turki pernah mengalami krisis pada tahun 1980an.[12]
Krisis ini disebabkan karena tingginya tingkat inflasi yang dialami Turki sejak
tahun 1970an, di mana gross national
product (GNP) Turki hanya berkisar 0,5% pada tahun 1979 dan 2,8% pada tahun
1980.[13] Untuk menstabilkan kembali perekonomiannya, Turki
mendevaluasi lira sebesar 100% selama dua tahun.[14]
Kondisi perekonomian Turki yang mengalami
kemunduran pada masa Perang Dingin menjadikan Turki harus menata kembali sistem
perekonomian dan perdagangannya, di mana Turki menargetkan Eropa sebagai pangsa
pasar yang menguntungkan sekaligus sebagai penyalur foreign aid yang potensial.[15]
Pada tahun 1995, Turki akhirnya berhasil masuk dalam EU customs union. Masuknya Turki dalam EU
Customs Union menandai permulaan hubungan perdagangan dengan Uni Eropa.[16]
Berdasarkan data dari Worl Bank,
terdapat beberapa hasil evaluasi kerjasama customs
union antara Turki dan Uni Eropa, antara lain : 1) kerjasama customs union lebih menguntungkan
dibandingkan dengan kerjasama kesepakatan pasar bebas (free trade agreement) antar keduanya; 2) customs union memberikan kesempatan perluasan kesepakatan bidang
pertanian primer yang dapat menguntungkan Turki, di mana pertanian merupakan
sektor utama Turki yang menyumbangkan sekitar 10% GDP Turki; dan 3) terbukanya
peluang pengadaan instansi pemerintah Turki.[17]
Integrasi Turki dalam customs union memberikan keuntungan ekonomi yang cukup signifikan.
Meskipun demikian, Turki masih mengharapkan status keanggotaan penuh di Uni
Eropa. Karena dengan menjadi anggota penuh Uni Eropa, Turki dapat meningkatkan
perdagangannya dengan berbagai negara anggota Uni Eropa tanpa hambatan tarif
maupun non-tarif.[18]
Di samping itu, posisi keanggotaan penuh di Uni Eropa juga dapat memberikan
peluang transfer teknologi dan investasi bagi Turki. Turki dapat memanfaatkan
hal tersebut untuk menciptakan lapangan kerja baru, mengingat tingginya tingkat
populasi generasi muda di Turki yang mencapai 16,6% jika dibandingkan dengan
negara-negara di Uni Eropa pada tahun 2013.[19]
c.
Kepentingan Politik
Keinginan Turki untuk menjadi bagian dari Uni Eropa
juga didorong oleh kepentingan politik. Kepentingan ekonomi saja dinilai masih
belum cukup untuk menjelaskan relasi Turki dan Uni Eropa. Tahun 1980-an menjadi
tahun perkembangan perpolitikan Turki yang mulai digerakkan oleh Presiden
Republik Turki Turgut Özal (1989-1993) dengan meliberalisasi ekonomi Turki dan menjalin
kedekatan dengan Eropa.[20] Özal menyadari pentingnya membangun relasi dengan Eropa
selama periode Perang Dingin. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa geopolitik
selama Perang Dingin telah menguatkan kembali identitas pro-Barat dalam
kehidupan politik Turki, di mana hal ini dipicu oleh adanya ancaman okupasi
Komunis Soviet.[21]
Selama Perang Dingin, Turki turut berkontribusi dalam
program Marshall Plan yang merupakan
rancangan barat untuk mengantisipasi domino
effect[22]
dan menyebarluaskan demokrasi.[23]
Sejak saat itu, demokrasi turut menjadi prasyarat
keanggotaan Uni Eropa sekaligus menjadi kepentingan Turki untuk memperkuat
kedudukan sipil dan mencegah dominasi kekuatan militer.
Selama
Perang Dingin, Turki dipandang sebagai negara yang memiliki kekuatan regional
baru (emerging regional power) yang
cukup dipertimbangkan, negara ini bahkan turut berkontribusi dalam the Emerging European Security and Defense
Policy (ESDP) untuk meningkatkan keamanan dan pertahanan Eropa.[24] Sebagai kekuatan
regional baru, Turki berupaya untuk mempertahankan dan meningkatkan powernya,
untuk itu negara ini membutuhkan Uni Eropa. Dengan menjadi anggota Uni Eropa, Turki tidak hanya dapat meningkatkan
powernya tapi juga memperkuat posisi tawarnya baik di ranah regional maupun
multilateral.[25]
Dengan kata lain, status Turki akan semakin kuat dengan memiliki akses penuh,
jika Turki berhasil diterima sebagai anggota Uni Eropa.
Status keanggotaan resmi dalam Uni Eropa juga dapat
memberikan peluang bagi Turki untuk memasukkan kepentingannya dalam kebijakan
Uni Eropa.[26] Peluang yang cukup diperhitungkan oleh Turki untuk
mengatasi persoalan-persoalan penting seperti penanganan pengungsi,
permasalahan diaspora Turki di negara-negara Eropa, kasus visa, dan kerjasama
energi.[27] Ditambah
lagi, Turki dapat menjadi salah satu negara yang cukup berpengaruh dalam
pembuatan kebijakan Uni Eropa dikarenakan tingkat populasi Turki yang cukup
tinggi.[28]
Beragamnya kepentingan nasional Turki menjadi alasan kuat
bagi negara ini untuk berupaya menjadi anggota Uni Eropa. Turki akhirnya mengupayakan
keanggotaannya yang secara resmi diajukan sejak 14 April 1987. Meskipun telah
mengajukan proposal keanggotaan pada tahun 1987, namun aksesi resmi baru dibuka
untuk Turki pada tahun 2005. Perundingan aksesi keanggotaan Turki dilakukan
dengan serangkaian kesepakatan terkait dibuka atau tidaknya Acquis Communautaire bagi negara
kandidat. Acquis Communautaire merupakan
serangkaian aturan hukum Uni Eropa yang berisi ketentuan mengenai perjanjian,
hukum, peradilan, deklarasi dan resolusi, instrumen kebijakan luar negeri, dan
aturan keamanan yang wajib diadopsi oleh negara kandidat sebagai prasyarat
untuk menjadi anggota Uni Eropa.[29]
Turki merupakan
satu-satunya negara kandidat yang paling lama diterima sebagai anggota Uni
Eropa. Meski demikian, Turki masih tetap mempertahankan keanggotaannya. Bahkan
meski mengalami stagnasi dalam proses aksesi keanggotaan Turki selama 6 tahun
terakhir, Turki masih tetap mengupayakan aksesi dengan merancang EU Strategy.[30]
Upaya strategi yang
dilakukan oleh Turki tersebut memberikan gambaran bahwa Turki masih
menginginkan status keanggotaan di Uni Eropa. Meskipun negara ini terbilang
cukup lama diterima sebagai anggota Uni Eropa dibanding negara lainnya, namun
Turki tetap berupaya meyakinkan Dewan Eropa untuk mempercepat proses aksesi.
Akan tetapi, munculnya beberapa hambatan mengakibatkan proses aksesi Turki
berjalan lambat, hingga pada tahun 2014, hanya 14 bab dari 35 bab Acquis Communautaire yang baru dibuka
untuk Turki.[31]
[1] Martin Griffiths, Terry O'Callaghan, dan Steven C. Roach, International Relations
: The Key Concepts, (New York: Routledge, 2008), 122-123.
[3] Pinar Bilgin, “A Return to ‘Civilisational Geopolitics’ in the
Mediterranean? Changing Geopolitical Images of the European Union and Turkey in
the Post-Cold War Era”, Frank Cass,
Geopolitics, Vol.9, No.2., Summer (2004), 277.
[4] Carl
Dahlman. “Turkey’s Accession to the European Union: The Geopolitics of
Enlargement.” Journal of Economic Literature, (2007), 555.
[5] Şaban Çalış,“Turkey's Integration with Europe : Initial Phases
Reconsidered.” SAM (Centre for Strategic Research), (2000), 8.
[6] Senem Üstün,
“Turkey and The Marshall Plan: Strive for aid.” The Turkish Year Book ,
Vol. XXVII. (1997), 31.
[7] Utkan, Kocatürk. “Atatürk’s Revolutions And Modernization.” Atatürk Araştırma Merkezi Başkanlığı. 2013. Artikel [on-line] tersedia di atam.gov.tr/dergi/sayi-13/ataturks-revolutions-and-modernization ; Internet; diakses 24 Februari 2016.
[11] Geoffrey L, Lewis, Turkey (Nations
of the Modern World), (New
York: Frederick A Praeger, 1955), 175-177.
[12] Bernard Hoekman dan Sübidey
Togan. Turkey : Economic Reform and Accession to the European Union, (Washington: the World Bank and the Centre for Economic
Policy Research, 2005), 6.
[17] World
Bank team. “Evaluation of the EU-TURKEY Customs Union.” the
Programmatic Trust Fund for World Bank Report No. 85830-TR, (28 Maret, 2014), 57-58.
[18] Fatih Mehmet Sayın, Valeri Modebadze, “Why
Turkey Should Join The European Union: Arguments In Favor Of Turkish Membership”,
Journal of Liberty and International
Affairs, Vol. 1, No. 2, (2015), 2-4.
[22] Domino effect yang dimaksud merupakan sebuah konsep yang digunakan
terhadap penyebaran komunis selama Perang Dingin, di mana jika suatu negara
sudah jatuh ke tangan komunis maka negara lain dikhawatirkan juga akan jatuh ke
tangan komunis. Kekhawatiran tersebut mendorong Amerika Serikat (AS)
melancarkan sebuah kebijakan untuk menghalangi perkembangan dan penyebaran
komunis.
[24] Fırat Bayar, “Membership of Turkey to the European
Union: An Added Value, not a Burden.” Journal on European Perspectives of
the Western Balkans, Vol. 3, No. 2 (5), (Oktober, 2011), 41.
[25] Meltem Baç Müftüler, “Turkey as an Emerging Power: An analysis of its Role in
Global and Regional Security Governance Constellations”, EUI Working Paper RSCAS No. 52, (2014), 4.
[28] Yalcin Diker.
Turkey's Accession to the EU : the Perspectives of Turkish Political Elites.
(8 Januari 2016), 35.
[30]Republic of Turkey Ministry for EU
Affairs, “Turkey's European Union Strategy”, (September 2014), 3-4.
0 comments