Strategic Depth sebagai Turkish Grand Strategy

By Meisarah Marsa, S.Sos - Agustus 01, 2016



Grand Strategy merupakan suatu konsep yang dirancang dengan  menghubungkan seluruh sumber kekuatan negara untuk mencapai tujuan politik.[1] Dalam hal ini, rancangan grand strategy Turki sangat dipengaruhi oleh aspek geografi dan sejarah. Dari segi geografi, Turki berada di persimpangan tiga benua yaitu benua Asia, Eropa, dan Afrika yang terbentang dari semenanjung Anatolia di Asia Barat Daya hingga daerah Balkan di bagian Eropa Tenggara. Wilayah Asia dan Eropa dipisahkan oleh laut Marmara yang menjadi bagian dari wilayah Turki. Di sebelah barat, Turki berbatasan dengan Yunani dan Bulgaria, di sebelah timur dengan Rusia dan Iran, dan di sebelah selatan dengan Irak, Suriah, dan Azerbaijan. Turki juga diapit oleh wilayah Balkan, Kaukasus, dan Timur Tengah. Ditambah lagi, wilayah Turki dilengkapi dengan kekayaan laut Marmara dengan iklim maritim yang sangat baik yang berkontribusi sebagai jalur perdagangan dan pangkalan armada laut. Posisi geografis Turki yang unik ini berimplikasi terhadap kebijakan geopolitik Turki yang tak jarang dimanfaatkan untuk melakukan ekspansi pada masa kerajaan Turki Ottoman.[2]
Berdasarkan aspek sejarah, Republik Turki mewarisi sejumlah permasalahan dengan negara tetangganya akibat ekspansi yang pernah dilakukan oleh kerajaan besar yang pernah mendiami wilayah Turki seperti kerajaan Byzantium dan Ottoman.[3] Akibatnya, pada tahun 1923, Republik Turki berdiri di tengah lingkungan yang kurang bersahabat. Oleh karena itu, Turki memerlukan rancangan grand strategy untuk menjaga keberlangsungannya dalam dunia internasional.
Sejak berdirinya Republik Turki hingga akhir Perang Dingin pada tahun 1991, grand strategy yang dianut oleh Turki adalah Kemalism atau Reformasi Kemalis yang diperkenalkan oleh Mustaffa Kemal Atatürk.[4] Reformasi Kemalis secara substansi telah mengakar dan merubah tatanan politik, budaya, dan sistem ekonomi Turki yang sebelumnya didasarkan pada nilai-nilai Islam di masa pemerintahan Turki Ottoman berganti menjadi nilai-nilai Barat atau yang disebut juga dengan Europeanization.[5]
Selama masa Perang Dingin, identitas pro-Barat yang diperkenalkan oleh Atatürk kembali menguat salah satunya dengan keterlibatan Turki dalam proyek Marshall Plan yang digagas oleh Amerika Serikat (AS). Proyek ini memberikan peluang terhadap integrasi Turki dan Eropa, di mana Turki turut berkontribusi dalam the Committee for European Economic Co-operation (CEEC), the European Recovery Programme (ERP), Organisation for European Economic Co-operation (OEEC).[6] Selain terlibat dalam proyek  Marshall Plan, Turki ikut bergabung ke dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang merupakan pakta pertahanan sekutu pada tahun 1952.[7] Keikutsertaan Turki dalam NATO mulai menunjukkan keterbukaan relasi antara Turki dan Uni Eropa dalam bidang keamanan, di mana Turki turut berkontribusi dalam melawan ekspansi Uni Soviet ke wilayah Eropa dan Mediterania.[8]
Nilai-nilai Barat (Europeanization) yang menguat pada masa Perang Dingin juga mengarahkan Turki pada keinginan untuk bergabung ke dalam European Economic Community (EEC). Turki akhirnya mengajukan proposal keanggotaannya secara resmi pada 14 April 1987.[9] Komisi Eropa kemudian merespon permintaan Turki pada tahun 1989 dengan penangguhan pembahasan keanggotaan.[10] Penangguhan tersebut kemudian dibahas kembali pada pada tahun 1990an ketika pasar tunggal di Eropa (Uni Eropa) telah beroperasi.[11] Pada tahun 1995, negosiasi tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan masuknya Turki dalam EU customs union pada tahun 1995, tepat tiga tahun setelah beroperasinya Uni Eropa.[12]
Masuknya Turki dalam EU customs union menjadikan negara ini semakin dekat dengan Uni Eropa terutama dari segi ekonomi dan perdagangan. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, Turki mengalami pengikisan grand strategy Kemalism.[13] Hal ini diakibatkan oleh faktor internal dan eksternal. Dari faktor internal, Turki mengalami krisis pemerintahan. Pemerintahan Turki yang pada waktu itu didominasi oleh kekuatan militer telah gagal mendapatkan dukungan dari masyarakat sipil.[14] Sedangkan dari faktor eksternal, Turki dihadapkan pada perubahan sistem sejak runtuhnya Komunis Soviet, di mana sekutu terkuat Turki yaitu Eropa dan Amerika Serikat (AS) merubah fokus kebijakan luar negeri mereka dari bidang keamanan menjadi kerjasama ekonomi global.[15] Perubahan ini membawa cultural shock terhadap konsep grand strategy Kemalism yang masih berfokus pada keamanan. Sehingga pada tahun 1990-an, kebijakan luar negeri Turki dihadapkan pada sebuah tantangan global yang mengharuskan Turki untuk melakukan pertimbangan kembali terhadap orientasi grand strategy Kemalism.[16]
Sejak kemenangan Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) dalam pemilu 2002, telah terjadi perubahan orientasi grand strategy Turki. Perubahan tersebut terjadi setelah munculnya sebuah doktrin yang dikenal dengan strategic depth. Doktrin tersebut merupakan manifestasi dari gagasan Ahmet Davutoğlu pada tahun 2001.[17] Davutoğlu berargumen bahwa dengan memiliki strategic depth, Turki dapat menerapkan kebijakan multidimensi dan mengklaim peran sentral dalam politik gobal.[18] Selain itu, doktrin ini juga menekankan pada perubahan dari kebijakan luar negeri Turki yang militeristik menjadi penekanan pada kekuatan soft power dengan mempromosikan kebijakan ekonomi, demokratisasi, dan resolusi konflik.[19]  Hal ini semakin diperkuat dengan argumen dari Davutoğlu bahwa,[20]
“Turkey enjoys multiple regional identities and thus has the capability as well as the responsibility to follow an integrated and multidimensional foreign policy. The unique combination of our history and geography brings with it a sense of responsibility to contribute actively towards conflict resolution and international peace and security in all these areas is a call of duty arising from the depths of a multidimensional history for Turkey.”
[Turki menikmati beragam identitas regional dan Turki memiliki kemampuan serta tanggung jawab untuk mengikuti sebuah kebijakan luar negeri yang terintegrasi dan multidimensional. Adanya kombinasi sejarah dan geografi kami yang unik menghadirkan rasa tanggungjawab untuk berkontribusi secara aktif terhadap resolusi konflik, perdamaian internasional, dan keamanan di semua bidang, hal ini merupakan sebuah panggilan bagi Turki yang muncul dari kedalaman sejarah multidimensi.]

Pernyataan Davutoğlu tersebut menjelaskan bahwa doktrin strategic depth turut dipengaruhi oleh faktor sejarah dan geografi. Dalam hal ini, Davutoğlu menyuarakan kembali Ottomanisme baru dengan memperpanjang pengaruh kebijakan luar negeri Turki hingga melampui batas kekuasaan Ottoman serta memperkenalkan kembali nilai-nilai Islam.[21] Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Turki kali ini tidak hanya berkiblat pada satu sisi yaitu Barat, namun juga telah melebarkan sayapnya hingga wilayah Balkan, Kaukasus, Asia, dan Timur Tengah.[22] Davutoğlu menggagas strategic depth dalam 4 prinsip utama. Keempat prinsip tersebut antara lain:[23]
1.    Security Freedom Balance
 Prinsip kebijakan luar negeri ini mengemukakan bahwa konsep keamanan Turki berupaya menjadi penyeimbang konsep keamanan global. Pasca tragedi WTC, Amerika berupaya memperketat keamanannya dalam kebijakan anti teror yang secara tidak langsung telah memberlakukan pembatasan terhadap hak-hak kebebasan.[24] Berbeda dengan Amerika yang membatasi kebebasan, Turki justru semakin gencar menyuarakan kebebasan pasca tragedi tersebut.[25] Selain itu, Turki juga semakin gencar menyuarakan demokrasi terutama setelah terjadinya reformasi dalam legislasi hukum Turki sebagai pengaruh dari proses aksesi keanggotaan Turki di Uni Eropa.
2.    Zero Problem with Neighbors
Prinsip ini mendorong Turki untuk memperbaiki hubungan dengan semua negara tetangganya. Perbaikan hubungan tersebut ditujukan untuk menciptakan stabilitas keamanan bagi Turki. Perbaikan hubungan tersebut mengacu pada 6 aspek yaitu, 1) keamanan bersama, 2) integrasi ekonomi, 3) menjaga koeksistensi, 4) intensitas kerjasama politik yang tinggi, 5) kesadaran regional yang tinggi, 6) memahami hubungan antara keamanan dan stabilitas.[26] Dengan kata lain, Turki berupaya untuk mengembangkan hubungan politik dan ekonomi yang kuat serta mempromosikan perdamaian dan harmonisasi dengan negara tetangganya.
3.    Multi-dimensional Policy
Prinsip ini menekankan Turki sebagai center state, di mana kebijakan luar negeri Turki tidak lagi dikonsepkan hanya sebatas pada suatu negara atau wilayah regional tertentu serta tidak lagi berfokus hanya pada satu isu. Dalam hal ini, kebijakan luar negeri Turki terlihat tidak lagi hanya berkiblat pada negara-negara Barat, namun juga telah menjamah ke berbagai negara dan wilayah regional lainnya.[27] Di samping itu, kebijakan luar negeri Turki juga tidak lagi hanya berfokus pada isu keamanan saja, namun juga ikut terlibat dalam berbagai isu lainnya seperti isu ekonomi, diplomasi, dan lain sebagainya.[28]
4.    Proactive Diplomacy dan Rhythmic Diplomacy
Prinsip ini mendorong Turki untuk mempelopori setiap upaya penyelesaian konflik dalam rangka untuk mengembangkan hubungan baik dengan negara lain. Dalam hal ini, Turki turut berkontribusi secara aktif terhadap dialog politik, resolusi konflik, perdamaian internasional, dan keamanan. Melalui rhythmic diplomacy, Turki turut berperan aktif dalam semua lembaga internasional dan isu global. Rhythmic diplomacy juga dirancang untuk menyesuaikan kebijakan luar negeri Turki terhadap perkembangan diplomatik yang dinamis.[29]    
Secara umum, doktrin strategic depth telah membawa perubahan terhadap kebijakan luar negeri Turki. Perubahan tersebut dapat dilihat dari transformasi kebijakan luar negeri Turki selama Perang Dingin yang berperan sebagai sekutu Barat dalam melawan ekspansi Uni Soviet kini telah telah berubah menjadi lebih dinamis.[30] Perubahan dinamis tersebut dapat dilihat dari upaya Turki menjalin hubungan baik dan kedekatan dengan negara tetangganya salah satunya yaitu Rusia.[31] Meskipun demikian, dalam gagasannya mengenai strategic depth, Davutoğlu menyatakan bahwa,[32]
“We cannot leave our destiny in the hands of others…The critical term here is inclusiveness; we have to be inclusive because we are everyone-we are the Caucasus, we are the Balkans, we are the Middle East, and we are Europe.”
[Kita tidak bisa meninggalkan takdir di tangan yang lain... Istilah yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah inklusivitas; kita harus inklusif karena kita adalah untuk semua - kita adalah Kaukasus, kita adalah Balkan, kita adalah Timur Tengah, dan kita adalah Eropa.]


Pernyataan Davutoğlu tersebut menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri Turki bersifat inklusif sehingga turut menjadi bagian dari wilayah lainnya. Meskipun demikian, Davutoğlu masih menyatakan bahwa Turki adalah Eropa. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai keinginan Turki yang masih belum pudar untuk menginginkan status keanggotaan penuh di Uni Eropa. Turki masih mengupayakan proses aksesinya. Hingga pada tahun 2014, baru 14 bab dari 35 bab Acquis Communautaire[33] yang baru dibuka untuk Turki.[34] 




[1] Joshua Alvarez, The Grand Strategy of The Republic Turkey, Center for International Security and Cooperation, Stanford University, (2012). 19.
[2] Austin, “The Geopolitics Of Turkey : Searching for More.” Stratfor, (2010), 2-11.
[3] Joshua Alvarez, The Grand Strategy of The Republic Turkey, Center for International Security and Cooperation, Stanford University, (2012). 19.
[4] Utkan, Kocatürk. Atatürk’s Revolutions And Modernization.Atatürk Araştırma Merkezi Başkanlığı. 2013. Artikel [on-line] tersedia di  atam.gov.tr/dergi/sayi-13/ataturks-revolutions-and-modernization ; Internet; diakses 24 Februari 2016.
[5] Ibid.
[6] Şaban Çalış,“Turkey's Integration with Europe : Initial Phases Reconsidered.” SAM (Centre for Strategic Research), (2000), 8.
[7] Gülnur Aybet. “The Evolution of NATO’s Three Phases and Turkey’s Transatlantic Relationship.” the Turkish Ministry of Foreign Affairs’ Center for Strategic Research, Perceptions, vol. XVII, no. 1, (2012).
[8] Hüseyin Bağcı. “Changing Geopolitics and Turkish Foreign Policy.” Internationales Institut für Liberale Politik Wien, (Mei 2009), 5.
[9] Şaban Çalış,“Turkey's Integration with Europe : Initial Phases Reconsidered.” SAM (Centre for Strategic Research), (2000), 84-85.
 [10] Barry Rubin dan Ali Çarkoğ lu, Turkey and the European Union: Domestic Politics, Economic Integration and International Dynamics, (London: Frank Cass, 2003), 4.
[11] Ibid.
[12] Nicholas Rogers, A Practitioner's Guide to the Ec-Turkey Association Agreement. (London: Kluwer Law International, 2000), 212.
[13] Joshua Alvarez, The Grand Strategy of The Republic Turkey, Center for International Security and Cooperation, Stanford University, (2012). 28,38,48.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Loannis N. Grigoriadis, “The Davutoğlu Doctrine and Turkish Foreign Policy”, Middle Eastern Studies Programme, Hellenic Foundation For European And Foreign Policy (ELIAMEP), (April, 2010), 4-5.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Valerij Špak, “The Model of Turkish Foreign Policy: Opening New Horizons,” Lithuanian Annual Strategic Review,Vol. 12,  (2013-2014), 93-94.
[24] Murat Yeşiltaş dan Ali Balcı, “A Dictionary of Turkish Foreign Policy in the AK Party Era: A Conceptual Map,” Center for Strategic Research, Republic of Turkey Ministry pf Foreign Affairs, SAM Paper No.7, Mei (2013),  11-15.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Joshua W. Walker, “Learning Strategic Depth: Implications of Turkey’s New Foreign Policy Doctrine”, Insight Turkey, Vol. 9. No. 3. (2007), 32.
[31] Ibid.
[32] Rebecca Adams Brubaker, Ayşe Kadıoğlu, Kerem Öktem, dkk, “Turkey's Foreign Policy in A Changing World: Old Alignments and New Neighbourhoods,” International Conference Reposrt, St Antony’s College, University of Oxford, (2010), 51.
[33] Merupakan serangkaian aturan hukum Uni Eropa yang berisi ketentuan mengenai perjanjian, hukum, peradilan, deklarasi dan resolusi, instrumen kebijakan luar negeri, dan aturan keamanan yang wajib diadopsi oleh negara kandidat sebagai prasyarat untuk menjadi anggota Uni Eropa
[34] Nathalie Tocci. Turkey and the European Union, A Journey in the Unknown. (Washington, D.C: Brookings, 2014), 2-4.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments