Tasawuf
Istilah “sufi” atau “tasawuf” merupakan istilah yang dianggap sebagai
hal yang suci dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian
jiwa. Anggapan ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir berupa pakaian
lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu
bergerak melafazkan zikir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku
sebagai ahli tasawuf (sufi). Hal tersebut semakin menambah keyakinan
orang-orang awam bahwasannya merekalah orang-orang yang suci dan alim yang
dekat dengan Allah ta’ala
dan menguasai ilmu kebathinan.
Para ahli
tasawuf berpandangan bahwa berakhirnya kekuasaan islam dulunya disebabkan oleh
harta benda, kemegahan, pangkat, dan kebesaran. Sehingga menimbulkan fitnah dan
perkelahian dalam islam sendiri. Untuk mencegah hal itu terulang kembali, maka
kehidupan kerohanian (tasawuf) perlu dikembangkan. Karena kehidupan
kerohanianlah yang dapat memperbaiki hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan tuhan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani dengan mengamalkan akhlak mulia dan
meninggalkan setiap perilaku tercela. Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari
mendefinisikan bahwa ilmu tasawuf merupakan ilmu untuk membersihkan jiwa dan
menghaluskan budi pekerti[1].
Berbagai
pandangan yang muncul, baik maupun buruk tidak lepas dari bagaimana pengetahuan
seseorang tentang tasawuf. Agar seseorang tidak terpuruk pada pandangan negatif,
maka ia perlu untuk mengenal tasawuf. Karena penilaian
benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan
atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai
tidaknya pemahaman tersebut dengan Al-Quran dan sunnah menurut apa yang
dipahami dalam tasawuf. Oleh karena itu, tulisan
ini hadir untuk menyampaikan sekaligus meluruskan pandangan orang awam terhadap
tasawuf.
1.2 Rumusan
Masalah
Untuk lebih memperjelas tentang tasawuf, penulis uraikan
beberapa rumusan masalah sebagai landasan dalam penulisan makalah ini.
1. Apa yang dimaksud dengan tasawuf?
2.
Bagaimana asal-usul tasawuf?
3.
Apa yang dimaksud dengan maqamat dan ahwal?
4.
Apa perbedaan anatara maqamat dan ahwal?
BAB II
TASAWUF
a. Definisi Tasawuf
Istilah "tasawuf" (sufism),
yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad. Menurut etimologi,
tasawuf berasal dari tiga huruf arab yaitu, ص و ف
dengan berbagai istilah, diantaranya[2] :
·
Shafa’ (suci bersih),
yaitu sekelompok orang yang berusaha menyucikan hati dan jiwanya karena Allah.
Sufi berarti orang - orang yang hati dan jiwanya suci bersih dan disinari
cahaya hikmah, tauhid, dan hatinya terus bersatu dengan Allah SWT.
·
Shaf (baris). Yang dimaksud saf di sini
ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh
orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an
dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang
berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan. Atau shaf yang berarti baris atau deret,
yang menunjukkan kaum muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat
atau dalam perang suci.
·
Ahl al-Suffah (pelana), yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke
Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka
hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku
batu dengan memakai suffah (pelana) sebagai bantal.
·
Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam
filsafat Islam) yang berarti hikmat. Namun, banyak yang menolak pendapat ini. Karena
dalam transliterisasi huruf s yang terdapat di dalam kata sophos ke dalam bahasa
arab menjadi س (sin) dan
bukan ص (shod) seperti
yang terdapat dalam kata tasawuf.
·
Shuf (pakaian dari bulu domba atau wol). Mereka di
sebut sufi karena memakai kain yang terbuat dari bulu domba. Pakaian yang
menjadi ciri khas kaum sufi, bulu domba atau wol saat itu bukanlah wol lembut
seperti sekarang melainkan wol yang sangat kasar sebagai lambang kesederhanaan.
Kareana pada waktu itu, orang-orang kaya kebanyakan memakai kain sutra.
·
Shuffah, yaitu sebutan bagi orang – orang yang hidup
di sebuah gubuk yang dibangun oleh Rasulullah SAW di sekitar Masjid Madinah. Mereka
ikut nabi saat hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka hijrah dengan meninggalkan
harta benda, mereka hidup miskin, mereka bertawakal (berserah diri) dan
mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Tasawuf
menurut Junaid al-Bagdadi (W.297 H/910 M) adalah membersihkan hati dari
sifat-sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah, menjauhi hawa
nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran,
mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, menepati janji
kepada Allah dan mengikuti syari’at[3]. Selain itu, Syekh Abul Hasan
asy-Syadzili yang
merupakan syekh sufi besar dari Arika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai
praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
mengembalikan diri kepada jalan Tuhan[4]. Jadi, dapat disimpulkan tasawuf merupakan
suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan menyatu
dengan Allah melalui jalan dan cara, yaitu maqamat dan ahwal.
b. Asal-Usul Tasawuf
Kemunculan
tasawuf dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
·
Faktor eksternal :
Tasawuf dipengaruhi oleh bangsa India dan Persi. Pengaruh
ini berlangsung pada abad ke-2 H oleh segolongan bangsa Persi untuk membalaskan
dendam. Dikarenakan Islam telah menghancurkan kerajaan Kisro. Karena tak
sanggup memerangi islam dengan senjata, mereka menyebarluaskan bid’ah dan
kurafat yang bersumber dari kepercayaan Majusi, Buddha dan Brahma[5].
Dalam perkembangannya tasawuf banyak dipengaruhi oleh
filsafat.
Selain India dan Persi, terdapat juga persentuhan pemikiran Islam dengan agama-agama non Islam.
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya kesamaan antara tasawuf dengan mistik
dalam agama lain, seperti pengaruh Hindu berupa mantra dengan adanya keyakinan
wirid dan reinkarnasi, pengaruh Buddha berupa ajaran nirwana yaitu kebahagiaan
tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Ia dapat
direalisasi dengan cara melenyapkan keserakahan, kebencian dan kebodohan bathin,
dan pengaruh Nasrani berupa kehidupan biara wati/pendeta dan
pakaian shufi (pakaian kesederhanaan).
Selain itu, adanya campuran antara pemikiran
Islam dengan filsafat Yunani, seperti paham neoplatonisne yaitu adanya pengaruh
dari pemikiran Plato mengenai emanasi Plotinus. Pemikiran tersebut merupakan
teori pancaran tentang urutan-urutan wujud atau teori tentang keluarnya sesuatu
wujud yang mumkin (alam dan makhluk) dari zat
yang wajibul wujud (tuhan). Dengan kata lain, dia berpendapat bahwa roh yang
masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke tuhan. Selama
masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui
reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan tuhan sampai
ke tingkat bersatu denganNya di bumi ini. Dan pemahaman mengenai roh berasal
dari tuhan dan akan kembali ke tuhan, berdasarkan pemikiran mistik Pythagoras.
·
Faktor intern :
Adanya
penafsiran yang berbeda terhadap Alqur’an dan Hadits, seperti dalil yang
menjadi sumber pemahaman tasawuf berikut[6]
:
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ وَاسِعُ عَلِيمُُ{115}
Artinya : ”Dan
kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap maka
disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmatNya) lagi Maha
Mengetahui”. (QS.al-Baqarah:
115).
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ ۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat
demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Anfal :17).
Selain itu, kehidupan nabi
yang sangat sederhana dan banyak hal juga memberi contoh tauladan dalam
peningkatan kehidupan tasawuf seperti berkhalwatnya nabi di Gua Hira dan sifat
kesederhanaan nabi. Ditambah lagi dengan keadaan social umat Islam setelah nabi
wafat. Yang mana kedaulatan islam yang lebih mengutamakan kemajuan duniawi,
sementara kehidupan rohani menurun dan muncul sekelompok orang yang mengisolasi
diri sebagai protes terhadap kesadaran sosial politik yang ada.
Kaum sufi pada masa abad pertama dan abad
kedua terkenal dengan sebutan Nasik atau Nasak, Zahid tau Zuhad, Abid atau
Ubbad dsb[7].
Awal mulanya mereka merupakan kaum muslimin yang hanya semata-mata menyucikan
jiwa dalam menempuh hidup mencari keridhaan Allah supaya tidak terpengaruh oleh
materi. Seiring dengan perkembangan, hal tersebut berkembang untuk mencapai
hakekat tuhan dengan mengenal Allah melalui riadhah (latihan), mujahadah
(perjuangan), musyahadah (menyaksikan), dan mukasyafah (terbuka hijab).
Usaha mereka berkembang setingkat demi
setingkat yaitu, “takhalli” yaitu mengosongkan diri dari segala sifat-sifat
yang tercela kemudian mengisinya kembali dengan sifat-sifat yang terpuji
“tahalli” dan kemudian dilanjutkan dengan “tajalli”. Sejak itulah tumbuh
bentuk-bentuk kehidupan sufi melalui tata cara tang dapat membawa manusia
mendekatkan diri kepada tuhan. Dengan jalan ini maka tatacara tersebut berkembang menjadi suatu ilmu yang
dinamakan ilmu tasawuf yang diperkirakan tumbuh pada abad ketiga atau
kesembilan masehi.
c. Hukum Tasawuf
Lalu,
bagaimana hukum tasawuf dalam islam? terdapat dua pandangan berbeda tentang
hukum tasawuf. Salah satu sumber menyebutkan bahwa tiap-tiap ilmu yang
dinisbatkan orang kepada agama dengan tidak adanya perintah dari agama maka
hukumnya bid’ah. Maka dapat disimpulakan bahwa tasawuf adalah bid’ah karena
merupakan saduran dari paham non islam yang dipaksakan ke dalam islam[8].
Sedangkan di sisi lain,
Syeikh Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa tasawuf merupakan bagian tak
terpisahkan dari ajaran Islam[9]. Karena misi tasawuf
memperbaiki akhlak. Dan akhlak jelas sekali bagian dari Islam. selain itu,
tasawuf juga bertujuan untuk membersihkan hati, mengamalkan hal-hal yang baik,
dan meninggalkan hal-hal yang buruk. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ajaran
tasawuf adalah bagian dari kekayaan khazanah Islam. Namun, jika terdapat
penyimpangan, hal itu dikarenakan oleh kaum sufi sendiri bukan tasawuf. Beberapa penyimpangan kaum sufi yaitu,
menyepelekan kehidupan duniawi, terjebak pada pola pandang jabariah,
mengaku-ngaku bahwa Allah SWT telah membebaskannya dari hukum taklif, seperti
shalat, puasa, dll. Dan semua hal bagi dirinya halal.
Dapat disimpulkan bahwa
adanya penyimpangan yang dilakukan oleh para sufi, bukan berarti tasawuf secara
keseluruhan bid’ah dan sesat. Kita jangan sekali-kali terjebak pada generalisir
masalah. Karena sejatinya, tokoh-tokoh sufi berpendapat ajaran tasawuf harus
bersendikan al-qur'an dan hadis. Jika keluar dari al-qur’an dan hadis maka
tidak dijadikan landasan hukum.
BAB III
MAQAMAT DAN AHWAL
a. Maqamat
Secara etimologis maqamat merupakan jamak
dari maqam yang berarti kedudukan ,
posisi, tingkatan. Sedangkan menurut istilah, maqamat yaitu suatu tahap yang
harus ditempuh oleh seroang sufi untuk sampai pada Allah. Ada beberapa tokoh yang
mendefinisikan maqamat, diantaranya adalah[10] :
- Menurut Abu Nasr As-Sarraj (salah seorang
sufi) : Maqamat berarti kedudukan manusia dihadapan Allah yang disebabkan
karena ibadahnya, mujahadahnya, riyadhahnya, dan pencurahan hatinya kepada
Allah.
- Menurut Imam Al Qusyairi : Maqamat berarti
tahapan adab (etika) seorang hamba kepada-Nya dengan berbagai macam upaya.
Diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dengan melewati tahapan-tahapan
maqamat.
Diantara tahap-tahap maqamat adalah sebagai
berikut :
1) Zuhud, yaitu tidak ingin sesuatu kepada sesuatu yang
bersifat keduniawian.
2) Al taubah (kembali), yaitu memohon ampun atas segala dosa
dan kesalahan, disertai janji yang sungguh-sungguh, tidak mengulangi lagi
perbuatan tersebut, yang disertai melakukan amal kebajikan.
3) Al Wara’ (shalehm menjauhkan diri dari perbuatan dosa),
yaitu meninggalkan segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara yang
halal dan haram..
4) Al Faqir (orang yang berhajat, butuh), yaitu tidak
meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
5) Al Shabr (tabah hati), sabar dalam menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya.
6) Tawakkal
(menyerahkan diri), yaitu menyerahkan diri kepada takdir dan keputusan Allah.
7) Ridha (rela, suka,
senang), yaitu tidak berusaha menentang qadha dan qadar Allah.
b. Ahwal
Secara etimologis, ahwal merupakan jamak dari
hal yang berarti keadaan, yaitu keadaan
hati yang dialami oleh para sufi dalam menempuh dalan untuk dekat kepada tuhan.
Diantara keadaan-keadaan tersebut adalah :
1) Qurb, yaitu dekat dengan Allah.
2) Mahabbah, yaitu cinta kepada Allah.
3) Al Murawabah, yaitu kesadaran diri bahwa ia selalu
berhadapan dengan Allah dalam keadaan di awasinya.
4) Al Khauf, yaitu
sikap mental merasa takut keapda Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya.
5) Raja’, yaitu sikap
mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat illahi yang disediakan bagi
hambanya yang shaleh.
6) Al Syauq (rindu),
yaitu kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah.
7) Al Tuhma’ninah,
yaitu tidak ada was-was atau khawatir dan tidak ada yang dapat mengganggu
perasaan dan pikiran.
8) Musyahadah, yaitu
menyaksikan dengan mata kepala.
9) Al Yakin yakni
keyakinan.
10) Uns, yaitu merasa
gembira dalam mengingat Allah.
c. Perbedaan Maqamat dan Ahwal :
Adapun
perbedaan antara ahwal dan maqamat antara lain[11]
:
No.
|
Maqamat
|
Ahwal
|
1.
|
Sifatnya tetap, sebab untuk mencapai
tingkatan maqam yang lebih tinggi, seseorang masih menguasai tingkat maqam
sebelumnya
|
Sifatnya sementara, sebab datangnya hanya
sekejap saja
|
2.
|
Diusahakan melalui perjuangan spiritual
yang panjang dan melelahkan
|
Tidak diusahakan, sebab merupakan anugerah
dari Allah
|
3.
|
Suatu pencapaian seseorang
|
Karunia yang datang begitu saja
|
Meskipun hal
dan maqamat memiliki perbedaan, namun ahwal dan maqamat bagaikan dua sisi mata
uang yang berbeda yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling berkaitan,
antara satu dengan yang lain. Karena kenaikan maqam dari satu jenjang ke
jenjang berikutnya tidak terlepas dengan ahwal yang telah sempurna. Oleh karena
itu haal, dapat menaikkan maqam yang diperoleh melalui usaha ke jenjang yang
lebih tinggi[12].
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tasawuf merupakan suatu
ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan kalau bisa
menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara, yaitu maqâmât dan ahwâl. Kemunculan
tasawuf dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
·
Faktor ekstern :
v adanya persentuhan pemikiran Islam dengan agama-agama non Islam.
v Campuran antara pemikiran Islam dengan filsafat Yunani
seperti, neoplatonisne, emanasi plotinus , pemikiran Pythagoras, dan
filsafat.
v pengaruh dari
India dan Persi pada abad ke-2 H.
·
Faktor intern :
v Adanya penafsiran yang berbeda terhadap Alqur’an dan
Hadits
v Kepribadian
nabi
v Keadaan sosial
Terdapat dua pandangan berbeda tentang hukum tasawuf.
Salah satu sumber menyebutkan bahwa tiap-tiap ilmu yang dinisbatkan kepada
agama dengan tidak adanya perintah dari agama maka hukumnya bid’ah. Hal ini
dikarenakan pandangan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh ajaran non islam. Namun di
sisi lain dikatakan
bahwa adanya penyimpangan yang dilakukan oleh para sufi, bukan berarti tasawuf
secara keseluruhan bid’ah dan sesat. Karena sejatinya, tokoh-tokoh sufi
berpendapat ajaran tasawuf harus bersendikan al-qur'an dan hadis. Jika keluar
dari al-qur’an dan hadis maka tidak dijadikan landasan hukum.
Maqamat yaitu
suatu tahap yang harus ditempuh oleh seroang sufi untuk sampai pada Allah.
Sedangkan ahwal yaitu keadaan hati yang dialami oleh para sufi dalam menempuh
dalan untuk dekat kepada tlklouhan. Adapun perbedaan antara ahwal dan maqamat
antara lain :
No.
|
Maqamat
|
Ahwal
|
1.
|
Sifatnya tetap, sebab untuk mencapai
tingkatan maqam yang lebih tinggi, seseorang masih menguasai tingkat maqam
sebelumnya
|
Sifatnya sementara, sebab datangnya hanya
sekejap saja
|
2.
|
Diusahakan melalui perjuangan spiritual
yang panjang dan melelahkan
|
Tidak diusahakan, sebab merupakan anugerah
dari Allah
|
3.
|
Suatu pencapaian seseorang
|
Karunia yang datang begitu saja
|
2. Saran
Apakah ajaran tasawuf
merupakan bid’ah atau tidak tergantung dari perspektif pandangan masing-masing.
Namun, alangkah baiknya jika tasawuf memang digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan bertaubat kepadaNya. Mengerjakan perintahNya dan menjauhi
laranganNya sesuai dengan ajaran al-qur’an dan sunnah. Bukan untuk hal lainnya
yang mengarah pada bid’ah dll. Karena, jika mengarah pada bid’ah maka tasawuf
menjadi ajang penyesatan dan membawa pada kemusyrikan apalagi mengklaim bahwa
dirinya adalah tuhan.
[1] http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/telaah/allsub/250/hakikat-dan-sejarah-tasawuf.html diakses pada 4 Juni 2013, pukul 8:05.
[2]
http://hadithemax.blogspot.com/2011/11/pengantar-tasawuf.html diakses pada 4 Juni 2013, pukul 20.40 WIB.
[3] Taufik
Abdullah (ed), selanjutnya disebut Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam;
Pemikiran dan Peradapan, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, tth,
h.139.
[4] http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/tasawuf/allsub/235/definisi-tasawuf.html diakses pada 4 Juni 2013, pukul 21.00 WIB.
[5] Al-Hamdany, Sanggahan
Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi, (al-Ma’arif: Bandung, 1972). Hal. 8.
[6]
http://badilag.net/data/ARTIKEL/Tasawuf%20(Asal-usul%20Tasawuf,%20Maqamat%20dan%20Ahwal).pdf diakses pada 4 Juni 2013, pukul 21.26 WIB.
[7]
Mustafa, Zahri,
Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Bina Ilmu: Surabaya, 1976), hal. 26.
[8] Al-Hamdany, Sanggahan
Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi, (Al-Ma’arif: Bandung, 1972), hal. 24.
[9]
ibid
[10] Nasirudin, Historitas
dan Normativitas, (Aktif Media: Jakarta, 2008), hlm.65.
[11]
http://amrikhan.wordpress.com/2012/10/29/ahwal-dan-maqamat/ diakses pada 4 Juni 2013, pukul 21.05 WIB.
[12] In’amuzzahidin Masyhudi, Wali Gila, (Semarang: Syifa Press, 2007),
hlm.34