Akses Terhadap Keadilan Bagi Tenaga Kerja
Akses
terhadap keadilan merupakan salah satu bentuk perealisasian dari prinsip negara
hukum dan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Dalam bidang Tenaga Kerja Indonesia khususnya, akses keadilan dalam
pengaplikasiannya masih kurang dan membutuhkan penanganan yang lebih serius. Untuk
itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkomitmen untuk menuntaskan
kasus-kasus pelanggaran HAM sebelum masa jabatannya berakhir[1].
Keinginan
Presiden tersebut tidak ada artinya jika tidak ada usaha lanjut dari aparat
penegak hukum. Keinginan Presiden tersebut didukung oleh pihak Komnas HAM yang
berujung dengan adanya wacana pembentukan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam.
Namun, hingga kini belum ada kejelasan sikap dari pemerintah dan Kejaksaan
Agung untuk melanjutkan kasus-kasus tersebut di pengadilan.
Adanya
problematika HAM dan RUU KKR yang tak kunjung terselesaikan berdampak pada
permasalahan kelompok Tenaga Kerja. Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah
untuk menindak lanjuti hal tersebut? Lalu bagaimana dengan keadaan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) yang berada diluar negeri? apa mereka memperoleh jaminan hak
dan perlindungan hukum? dan bagaimana dengan pekerja (buruh) anak?
Persoalan
tenaga kerja migran (TKI luar negeri) sangat penting menjadi sorotan pemerintah
dalam menegakkan keadilan. Meski terdapat berbagai upaya yang dilakukan
pemerintah untuk memenuhi hak-hak mereka namun, hal tersebut tidak berjalan
dengan baik. Alih-alih mendapatkan penghasilan untuk mencukupi keluarga di
Indonesia, malah nasib tragis menimpa diri mereka. Mengingat berbagai persoalan
yang muncul baik dari pihak tenaga kerja sendiri maupun pemerintah. Ditambah
lagi banyak dari tenaga kerja yang tidak mempunyai skill seperti kemampuan berbahasa
asing sehingga tak jarang adanya kesalahan atau diskomunikasi dengan
majikannya.
Persoalan dari
pihak tenaga kerja sendiri diantaranya, pemalsuan dokumen, pembekalan yang
tidak memadai, dan pemenuhan mark up biaya pelayanan seperti biaya
pembuatan paspor. Ditambah lagi dengan konflik yang terjadi saat mereka bekerja
baik dalam bentuk pelanggaran kontrak kerja, dokumen diambil oleh majikan,
tidak ada kamar sendiri yang akhirnya berdampak pada pelecehan seksual, tidak
dizinkan berkomunikasi dengan keluarga, kekerasan fisik, psikis, dan seksual.
Berbagai persoalan tersebut akhirnya menimbulkan reaksi dari pihak tenaga kerja
yang tidak tinggal diam menghadapi masalah yang menimpa dirinya. Yang kemudian
akan berdampak pada berbagai macam konflik yang berujung pada penanganan pemerintah
Indonesia.
Banyaknya
tenaga kerja disebabkan dengan kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Sehingga berdampak pada tingginya tingkat
tenaga kerja luar negeri. namun, mereka yang menjadi TKI dipersulit dengan
harus melewati prosedur yang ada. Oleh karena itu, tak jarang yang melakukannya
secara ilegal. Berdasarkan info dari Badan Pusat Statistik dari seluruh angkatan
kerja, 70% bekerja di lapangan informal dan 30% di lapangan formal[2].
Hal ini membuktikan lebih banyak tenaga kerja yang ilegal. Dengan banyaknya
tenaga kerja yang ilegal, maka semakin menyulitkan pemerintah dalam memberi
jaminan dan perlindungan hukum.
Upaya yang
dilakukan pemerintah dalam menindaklanjuti hal tersebut beragam baik di level
internasional, nasional, maupun lokal. Di tingkat internasional, pemerintah
membentuk kerjasama dengan melakukan penandatanganan diantaranya, ASEAN
Declaration on The Protection and Promotion of The Rights of Migran Workers,
Konvensi Internasional tentang perlindungan hak semua pekerja migran dan
anggota keluarganya pada 1990, dan pemerintah juga melakukan kesepakatan dengan
Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar mengenai pemberitahuan kepada Perwakila RI
jika ada WNI yang ditahan[3].
Walaupun demikian, deklarasi tersebut tidak mengikat sehingga bergantung dengan
komitmen masing-masing negara untuk mewujudkannya. Dan sebagian negara penerima
TKI luar negeri belum meratifikasi kerjasama tersebut. Bahkan Indonesia sendiri
baru menandatangani dan belum meningkatkannya ke taraf ratifikasi.
Di tingkat
nasional, terdapat UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja ke Luar Negeri dengan dibentuknya Badan Khusus Perlindungan dan
Pengiriman TKI ke luar negeri (BNP2TKI), Inpres No.6 Tahun 2006 tentang
Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI[4].
Namun, BNP2TKI sendiri baru dibentuk pada 8 September 2006 dan struktur
kepengurusan baru selesai pada awal 2007. Ini menunjukkan lambannya pemerintah
dalam menangani permasalahan tenaga kerja. Sedangkan di tingkat lokal, terdapat
beberapa Perda yang mengatur tentang TKI luar negeri[5].
Meski demikian,
berbagai persoalan masih terus terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya :
1.
UU
dan kebijakan pemerintah lebih mengedepankan penempatan daripada perlindungan
TKI Luar Negeri.
2.
Persoalan
yurisdiksi dan berbagai permasalahan prosedur yang menghambat pelaksanaan
peraturan dan lambannya penanganan pemerintah. Seperti, belum terealisasikannya
RUU KKR. Munculnya Inpres No.6 Tahun 2006 yang baru ada setelah pertemuan
Presiden dengan TKI luar negeri di Malaysia dan Qatar.
3.
Kurangnya
kesadaran hukum.
4.
Permasalahan
akses forum penanganan TKI. Terutama, kepemilikan status anak para TKI di luar
negeri. Mereka bisa saja terancam atau tidak mempunyai kewarganegaraan. Para
TKI pun tak banyak yang mengetahui keberadaan kantor perwakilan RI dikarenakan
kurangnya akses dan informasi. Forum-forum yang disediakan masih sedikit. Akses
sistem ketenagakerjaan Indonesia baru terlaksana di Hongkong, Malaysia, dan
Arab Saudi. Sehingga, penanganan dan pengawasan menjadi kurang efektif.
Sehingga
tak jarang, para TKI memilih melarikan diri dari rumah majikan, bunuh diri dsb.
Miris, namun begitulah kenyataannya. Bukan malah menyelesaikan masalah, namun
justru menimbulkan permasalah baru seperti status tidak terdokumentasi dan
kehilangan kontak oleh pihak keluarga di Indonesia. Untuk itu, pengusutan
permasalahn tenaga kerja merupakan masalah yang harus ditangani secara benar
dan tegas oleh pemerintah. Karena menyangkut permasalahan HAM yang sangat
serius mengingat banyaknya kuota tenaga kerja dari Indonesia dengan berbagai
kasus yang terjadi.
Para tenaga
kerja tersebut juga ada yang hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) bahkan ada yang
tidak lulus SD, mereka dikenal dengan pekerja anak. Keterbatasan kemampuan
tenaga kerja dan tingginya kebutuhan ekonomi mengharuskan pekerja anak untuk
menjadi tenaga kerja. Dengan serba keterbatasan, pekerja anak tidak mendapat
perhatian dari serikat kerja dan hanya berorientasi pada taraf orang dewasa. Di
sisi lain, serikat perusahaan justru cenderung memilih pekerja anak karena
murah dan penurut.
Terkait
dengan pekerja anak, Indonesia merupakan salah satu negara pertama di Asia
Tenggara yang menerapkan program penghapusan kerja anak, terkait pasal 74 UU
No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjan[6].
Namun kenyataannya, banyak ditemukan anak-anak yang dipekerjakan dengan
berbagai pekerjaan entah itu layak atau tidak bahkan ada yang diperdagangkan.
Menurut data survei Angkatan Kerja Nasional Tahun 2007, jumlah pekerja anak di
Indonesia usia 10-17 tahun mencapai 3,4 juta orang[7].
Sementara berdasarkan data Depdiknas tahun 2008 jumlah anak yang putus sekolah
pada tingkat pendidikan dasar adalah 11,7 juta orang. Hal tersebut
mengindikasikan kemungkinan adanya 10 juta anak yang dipekerjakan secara
terselubung.
Akses
lembaga hukum sendiri masih lemah dalam merespon masalah pekerja anak, perdagangan
obat-obatan, perdagangan anak, pekerja seks komersial, dan pekerjaan
terselubung lainnya yang membahayakan kondisi fisik dan psikis anak. Selain
itu, institusi penegak hukum belum efektif mengontrol dan mengawasi kelompok-kelompok
yang mempekerjakan anak dalam berbagai jenis pekerjaan terlarang dan berbahaya.
Hal ini dikarenakan kurang dan lemahnya penanganan pemerintah. Terbukti dengan
banyaknya pengamen dari kalangan anak-anak yang seharusnya belajar bukan
mencari nafkah. Mereka rela mengamen dari bis satu ke bis yang lain, bahkan
terkadang tanpa alas kaki. Seharusnya, pemerintah segera menangani persoalan
tersebut dengan memberi penanganan khusus. Karena jika hal ini tidak segera
dilakukan maka hal tersebut akan merusak citra anak bangsa Indonesia sendiri.
Kesimpulan dan Saran
Akses
dan penanganan terhadap keadilan bagi tenaga kerja baik lokal, nasional, maupun
internasional masih kurang dan belum efektif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu :
1.
UU
dan kebijakan pemerintah lebih mengedepankan penempatan daripada perlindungan
TKI Luar Negeri.
2.
Persoalan
yurisdiksi dan berbagai permasalahan prosedur yang menghambat pelaksanaan
peraturan dan lambannya penanganan pemerintah.
3.
Kurangnya
kesadaran hukum.
4.
Permasalahan
akses forum penanganan TKI. Terutama, kepemilikan status anak para TKI di luar
negeri.
Dalam
penanganan kasus pekerja anak, pemerintah juga memiliki pengawasan dan
pengontrolan yang lemah. Hal ini terbukti dengan maraknya para pengamen dari
kalangan anak-anak kota, khususnya Jakarta. Ditambah lagi dengan kurangnya
pendidikan dengan tingginya kuota anak yang putus sekolah. Sehingga,
mengindikasikan kemungkinan tingginya tingkat pekerja anak yang dipekerjakan
secara terselubung. Sehingga, yang harus dilakukan pemerintah adalah :
1.
Menyempurnakan
peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan pekerja anak dan tenaga
kerja luar negeri.
2.
Peningkatan
kualitas perlindungan, penanganan dan mekanisme pengaduan bagi pekerja.
3.
Melakukan
langkah-langkah percepatan pemulihan dalam penanganan pekerja yang menjadi
korban kekerasan dll.
4.
Melakukan
peningkatan akses pelayanan dan informasi ketenagakerjaan.
5.
Mengembangkan
strategi untuk meningkatkan kesadaran hukum dikalangan pekerja.
Daftar
Pustaka
Buku
:
(BPS), Badan Pusat Statistik. Profil
Anak Indonesia 2012. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2012.
Sadiawati, Diani; Santosa, Mas Achmad; dkk. Strategi
Nasional Akses Terhadap Keadilan. Jakarta: Badan Perencana Pembangunan
Nasional (BAPPENAS), 2009.
Vandenberg, Paul. Pengusaha dan Pekerja Anak, Panduan 1:
Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak/Organisasi Perburuhan .
Jakarta: ILO, 2009.
Internet :
http://www.voaindonesia.com/content/presiden-ingin-tuntaskan-semua-kasus-pelanggaran-ham-121776044/93183.html diakses pada 1 Juni 2013, pukul. 10.30 WIB.
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo
jakarta/documents/publication/wcms_123823.pdf
diakses pada 1 Juni 2013, pukul 16.15 WIB.
www.Kompas.com, 22 Agustus 2008, diakses 1 Juni 2013, pukul 14.34
WIB.
[1] http://www.voaindonesia.com/content/presiden-ingin-tuntaskan-semua-kasus-pelanggaran-ham-121776044/93183.html diakses pada 1
Juni 2013, pukul. 10.30 WIB.
[2] www.Kompas.com, 22 Agustus 2008,
diakses 1 Juni 2013, pukul 14.34 WIB.
[3] Diani
Sadiawati, Mas Achmad Santosa, dkk. Strategi Nasional Akses Terhadap
Keadilan (Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Direktorat Hukum
dan HAM: Jakarta, 2009), hal. 165-167.
[4] ibid
[5] ibid
[6] http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo
jakarta/documents/publication/wcms_123823.pdf diakses pada 1 Juni
2013, pukul 16.15 WIB.
[7] Badan Pusat
Statistik (BPS), Profil Anak Indonesia 2012 (Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak: Jakarta, 2012), hal. 76.
0 comments