Akses Terhadap Keadilan Bagi Tenaga Kerja

By Meisarah Marsa, S.Sos - Juli 23, 2013


Akses Terhadap Keadilan Bagi Tenaga Kerja


            Akses terhadap keadilan merupakan salah satu bentuk perealisasian dari prinsip negara hukum dan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Dalam bidang Tenaga Kerja Indonesia khususnya, akses keadilan dalam pengaplikasiannya masih kurang dan membutuhkan penanganan yang lebih serius. Untuk itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkomitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM sebelum masa jabatannya berakhir[1].
Keinginan Presiden tersebut tidak ada artinya jika tidak ada usaha lanjut dari aparat penegak hukum. Keinginan Presiden tersebut didukung oleh pihak Komnas HAM yang berujung dengan adanya wacana pembentukan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam. Namun, hingga kini belum ada kejelasan sikap dari pemerintah dan Kejaksaan Agung untuk melanjutkan kasus-kasus tersebut di pengadilan.
            Adanya problematika HAM dan RUU KKR yang tak kunjung terselesaikan berdampak pada permasalahan kelompok Tenaga Kerja. Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk menindak lanjuti hal tersebut? Lalu bagaimana dengan keadaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada diluar negeri? apa mereka memperoleh jaminan hak dan perlindungan hukum? dan bagaimana dengan pekerja (buruh) anak?
            Persoalan tenaga kerja migran (TKI luar negeri) sangat penting menjadi sorotan pemerintah dalam menegakkan keadilan. Meski terdapat berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak-hak mereka namun, hal tersebut tidak berjalan dengan baik. Alih-alih mendapatkan penghasilan untuk mencukupi keluarga di Indonesia, malah nasib tragis menimpa diri mereka. Mengingat berbagai persoalan yang muncul baik dari pihak tenaga kerja sendiri maupun pemerintah. Ditambah lagi banyak dari tenaga kerja yang tidak mempunyai skill seperti kemampuan berbahasa asing sehingga tak jarang adanya kesalahan atau diskomunikasi dengan majikannya.
Persoalan dari pihak tenaga kerja sendiri diantaranya, pemalsuan dokumen, pembekalan yang tidak memadai, dan pemenuhan mark up biaya pelayanan seperti biaya pembuatan paspor. Ditambah lagi dengan konflik yang terjadi saat mereka bekerja baik dalam bentuk pelanggaran kontrak kerja, dokumen diambil oleh majikan, tidak ada kamar sendiri yang akhirnya berdampak pada pelecehan seksual, tidak dizinkan berkomunikasi dengan keluarga, kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Berbagai persoalan tersebut akhirnya menimbulkan reaksi dari pihak tenaga kerja yang tidak tinggal diam menghadapi masalah yang menimpa dirinya. Yang kemudian akan berdampak pada berbagai macam konflik yang berujung pada penanganan pemerintah Indonesia.
Banyaknya tenaga kerja disebabkan dengan kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia.  Sehingga berdampak pada tingginya tingkat tenaga kerja luar negeri. namun, mereka yang menjadi TKI dipersulit dengan harus melewati prosedur yang ada. Oleh karena itu, tak jarang yang melakukannya secara ilegal. Berdasarkan info dari Badan Pusat Statistik dari seluruh angkatan kerja, 70% bekerja di lapangan informal dan 30% di lapangan formal[2]. Hal ini membuktikan lebih banyak tenaga kerja yang ilegal. Dengan banyaknya tenaga kerja yang ilegal, maka semakin menyulitkan pemerintah dalam memberi jaminan dan perlindungan hukum.
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menindaklanjuti hal tersebut beragam baik di level internasional, nasional, maupun lokal. Di tingkat internasional, pemerintah membentuk kerjasama dengan melakukan penandatanganan diantaranya, ASEAN Declaration on The Protection and Promotion of The Rights of Migran Workers, Konvensi Internasional tentang perlindungan hak semua pekerja migran dan anggota keluarganya pada 1990, dan pemerintah juga melakukan kesepakatan dengan Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar mengenai pemberitahuan kepada Perwakila RI jika ada WNI yang ditahan[3]. Walaupun demikian, deklarasi tersebut tidak mengikat sehingga bergantung dengan komitmen masing-masing negara untuk mewujudkannya. Dan sebagian negara penerima TKI luar negeri belum meratifikasi kerjasama tersebut. Bahkan Indonesia sendiri baru menandatangani dan belum meningkatkannya ke taraf ratifikasi. 
Di tingkat nasional, terdapat UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri dengan dibentuknya Badan Khusus Perlindungan dan Pengiriman TKI ke luar negeri (BNP2TKI), Inpres No.6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKI[4]. Namun, BNP2TKI sendiri baru dibentuk pada 8 September 2006 dan struktur kepengurusan baru selesai pada awal 2007. Ini menunjukkan lambannya pemerintah dalam menangani permasalahan tenaga kerja. Sedangkan di tingkat lokal, terdapat beberapa Perda yang mengatur tentang TKI luar negeri[5].
Meski demikian, berbagai persoalan masih terus terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya :
1.      UU dan kebijakan pemerintah lebih mengedepankan penempatan daripada perlindungan TKI Luar Negeri.
2.      Persoalan yurisdiksi dan berbagai permasalahan prosedur yang menghambat pelaksanaan peraturan dan lambannya penanganan pemerintah. Seperti, belum terealisasikannya RUU KKR. Munculnya Inpres No.6 Tahun 2006 yang baru ada setelah pertemuan Presiden dengan TKI luar negeri di Malaysia dan Qatar.
3.      Kurangnya kesadaran hukum.
4.      Permasalahan akses forum penanganan TKI. Terutama, kepemilikan status anak para TKI di luar negeri. Mereka bisa saja terancam atau tidak mempunyai kewarganegaraan. Para TKI pun tak banyak yang mengetahui keberadaan kantor perwakilan RI dikarenakan kurangnya akses dan informasi. Forum-forum yang disediakan masih sedikit. Akses sistem ketenagakerjaan Indonesia baru terlaksana di Hongkong, Malaysia, dan Arab Saudi. Sehingga, penanganan dan pengawasan menjadi kurang efektif.
Sehingga tak jarang, para TKI memilih melarikan diri dari rumah majikan, bunuh diri dsb. Miris, namun begitulah kenyataannya. Bukan malah menyelesaikan masalah, namun justru menimbulkan permasalah baru seperti status tidak terdokumentasi dan kehilangan kontak oleh pihak keluarga di Indonesia. Untuk itu, pengusutan permasalahn tenaga kerja merupakan masalah yang harus ditangani secara benar dan tegas oleh pemerintah. Karena menyangkut permasalahan HAM yang sangat serius mengingat banyaknya kuota tenaga kerja dari Indonesia dengan berbagai kasus yang terjadi.
Para tenaga kerja tersebut juga ada yang hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) bahkan ada yang tidak lulus SD, mereka dikenal dengan pekerja anak. Keterbatasan kemampuan tenaga kerja dan tingginya kebutuhan ekonomi mengharuskan pekerja anak untuk menjadi tenaga kerja. Dengan serba keterbatasan, pekerja anak tidak mendapat perhatian dari serikat kerja dan hanya berorientasi pada taraf orang dewasa. Di sisi lain, serikat perusahaan justru cenderung memilih pekerja anak karena murah dan penurut.
Terkait dengan pekerja anak, Indonesia merupakan salah satu negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan program penghapusan kerja anak, terkait pasal 74 UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjan[6]. Namun kenyataannya, banyak ditemukan anak-anak yang dipekerjakan dengan berbagai pekerjaan entah itu layak atau tidak bahkan ada yang diperdagangkan. Menurut data survei Angkatan Kerja Nasional Tahun 2007, jumlah pekerja anak di Indonesia usia 10-17 tahun mencapai 3,4 juta orang[7]. Sementara berdasarkan data Depdiknas tahun 2008 jumlah anak yang putus sekolah pada tingkat pendidikan dasar adalah 11,7 juta orang. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya 10 juta anak yang dipekerjakan secara terselubung.
Akses lembaga hukum sendiri masih lemah dalam merespon masalah pekerja anak, perdagangan obat-obatan, perdagangan anak, pekerja seks komersial, dan pekerjaan terselubung lainnya yang membahayakan kondisi fisik dan psikis anak. Selain itu, institusi penegak hukum belum efektif mengontrol dan mengawasi kelompok-kelompok yang mempekerjakan anak dalam berbagai jenis pekerjaan terlarang dan berbahaya. Hal ini dikarenakan kurang dan lemahnya penanganan pemerintah. Terbukti dengan banyaknya pengamen dari kalangan anak-anak yang seharusnya belajar bukan mencari nafkah. Mereka rela mengamen dari bis satu ke bis yang lain, bahkan terkadang tanpa alas kaki. Seharusnya, pemerintah segera menangani persoalan tersebut dengan memberi penanganan khusus. Karena jika hal ini tidak segera dilakukan maka hal tersebut akan merusak citra anak bangsa Indonesia sendiri.
Kesimpulan dan Saran

            Akses dan penanganan terhadap keadilan bagi tenaga kerja baik lokal, nasional, maupun internasional masih kurang dan belum efektif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1.      UU dan kebijakan pemerintah lebih mengedepankan penempatan daripada perlindungan TKI Luar Negeri.
2.      Persoalan yurisdiksi dan berbagai permasalahan prosedur yang menghambat pelaksanaan peraturan dan lambannya penanganan pemerintah.
3.      Kurangnya kesadaran hukum.
4.      Permasalahan akses forum penanganan TKI. Terutama, kepemilikan status anak para TKI di luar negeri.
Dalam penanganan kasus pekerja anak, pemerintah juga memiliki pengawasan dan pengontrolan yang lemah. Hal ini terbukti dengan maraknya para pengamen dari kalangan anak-anak kota, khususnya Jakarta. Ditambah lagi dengan kurangnya pendidikan dengan tingginya kuota anak yang putus sekolah. Sehingga, mengindikasikan kemungkinan tingginya tingkat pekerja anak yang dipekerjakan secara terselubung. Sehingga, yang harus dilakukan pemerintah adalah :
1.      Menyempurnakan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan pekerja anak dan tenaga kerja luar negeri.
2.      Peningkatan kualitas perlindungan, penanganan dan mekanisme pengaduan bagi pekerja.
3.      Melakukan langkah-langkah percepatan pemulihan dalam penanganan pekerja yang menjadi korban kekerasan dll.
4.      Melakukan peningkatan akses pelayanan dan informasi ketenagakerjaan.
5.      Mengembangkan strategi untuk meningkatkan kesadaran hukum dikalangan pekerja.
                                                           Daftar Pustaka            

Buku :
(BPS), Badan Pusat Statistik. Profil Anak Indonesia 2012. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012.
Sadiawati, Diani; Santosa, Mas Achmad; dkk. Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan. Jakarta: Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2009.
Vandenberg, Paul. Pengusaha dan Pekerja Anak, Panduan 1: Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak/Organisasi Perburuhan . Jakarta: ILO, 2009.

Internet :
www.Kompas.com, 22 Agustus 2008, diakses 1 Juni 2013, pukul 14.34 WIB.









[2] www.Kompas.com, 22 Agustus 2008, diakses 1 Juni 2013, pukul 14.34 WIB.
[3] Diani Sadiawati, Mas Achmad Santosa, dkk. Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan (Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Direktorat Hukum dan HAM: Jakarta, 2009), hal. 165-167.
[4] ibid
[5] ibid
[7] Badan Pusat Statistik (BPS), Profil Anak Indonesia 2012 (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Jakarta, 2012), hal. 76.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments