Islamic State Vs Secular State (Religion in Politic)
By Meisarah Marsa, S.Sos - Juli 23, 2013
Islamic State Vs Secular State (Religion in Politic)
by : Meisarah Marsa
Definisi
:
Islamic
state merupakan sebuah negara yang menjadikan hukum islam sebagai hukum positif
negara tersebut sehingga, tidak ada pemisahan antara agama dengan pemerintahan.
Jika dilihat dari aspek sumber hukumnya dapat digambarkan bahwa Arab Saudi
merupakan negara islam sebab hukum yang dipakai berdasarkan Al-qur’an, hadist,
serta mazhab fiqih (ushul fiqih).
Secular
state merupakan sebuah negara yang menjadikan hukum sipil (bukan hukum agama)
sebagai hukum positif negara dan dalam sistem pemerintahannya terdapat
pemisahan antar agama dan pemerintahan. Secular state ini dianggap lebih bebas
dan menambah nilai HAM sebab kalangan minoritas juga tidak dibatasi dalam
aktivitas kenegaraan sehingga hukum yang digunakan dapat di sesuaikan dengan
kebutuhan pluralitas.
Bagaimana
dengan Indonesia?
Jika dipandang
dari segi penerapan hukum di Indonesia, Indonesia tidak menjadikan sumber agama
islam sebagai dasar negara tapi menggunakan pancasila dan UUD 1945. Jika
dilihat dari unsur pemisahan agama (sekuler), relasi antara negara dan agama
masih memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Hal ini dapat dilihat dengan
adanya Departemen Agama yang secara khusus mengatur permasalahan agama yang
keabsahannya diakui oleh negara. Meskipun terdapat keterkaitan antara negara
dan agama namun, dominasi pengaruh negara lebih besar dalam sistem
pemerintahan. Sehingga, pada masa Orde Baru terdapat sebuah wacana dan
kebijakan yang menyatakan bahwa “Indonesia itu bukan negara sekuler dan juga bukan
negara teokrasi”.
Religion in Politic
Pada
kenyataannya di masa Orde Baru seluruh partai dilarang berasaskan pada agama
tertentu, dengan kata lain harus berasaskan Pancasila tanpa terkecuali. Karena,
agama tidak dianggap sebagai faktor politik melainkan faktor kultural. Seperti
halnya PPP yang dilarang berasaskan islam tapi diperbolehkan untuk membuat
serangkaian program yang didasarkan pada semangat spiritualisme islam.
Politisasi Islam
Meskipun
naiknya Presiden Soeharto tidak lepas dari peran dan dukungan masyarakat Islam
yang memberantas PKI, namun pada pemerintahannya kekuatan Islam selalu ingin
dilemahkan karena dianggap sebagai ancaman yang akan mengganggu stabilitas negara.
Namun di akhir kekuasaannya, Soeharto mempolitisasi islam guna mempertahankan
kekuasaannya. Karena islam mempunyai potensi politik yang besar mengingat islam
memiliki pengaruh yang luas dan dapat mendatangkan mobilisasi massa. Oleh
karena itu, Soeharto mencoba merangkul Islam agar tidak menjadi ancaman namun justru
sebaliknya. Islam akan menjadi dukungan yang kuat sehingga kekuatan Islam yang
besar tersebut akan mendukung pemerintahannya yang pada saat itu sedang terancam.
Sehingga
dalam upayanya, kekuatan Islam tersebut dikontrol dalam suatu institusi dan
kemudian di legalkan sebagai lembaga islam satu-satunya yang sah. Maka
didirikanlah MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 1975. Meskipun tujuannya adalah
sebagai penghubungan antara pemerintah dan umat namun, kenyataannya kebijakan
MUI tidak boleh berseberangan dengan pemerintah.
Selain
pengontrolan dalam instansi, upaya lain yang dilakukan pemerintahan Orba adalah
model represi sosial.
Seperti dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang mengakui pendidikan agama selain sebagai subsistem pendidikan nasional
juga sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jajaran pendidikan, dan menjamin
eksistensi lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTS), Madrasah Aliyah (MA), dan Institut Agama Islam
(IAI), serta UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menjamin
eksistensi Peradilan Agama dalam sistem peradilan nasional. Kebijakan lainnya
yaitu, diperbolehkannya pemakaian jilbab di sekolah meski tidak sebagai seragam
resmi, ditentukannya kompilasi hukum islam, pembangunan asrama haji, dan dibentuknya
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP).
Dengan semua kebijakan tersebut, kekuatan islam
dapat dijinakkan di bawah pemerintahan Orde Baru. Adapun bangkitnya kekuatan
islam pasca Orba bukan semata dari hasil kebijakan Soeharto tersebut, melainkan
reaksi masyarakat terhadap praktik kekuatan Orde Baru. Sehingga, dapat
digambarkan bahwa secara realita, rezim Orde Baru memanfaatkan Islam sebagai
alat untuk memobilisasi dukungan masyarakat. Bila kepentingan politik penguasa
sudah aman, Islam dibatasi aktivitasnya. Akan tetapi, kalau kepentingan politik
penguasa terancam, Islam kembali dirangkul.
Kebangkitan
Partai Berbasis Agama
Hanya
dalam kurun waktu beberapa bulan pasca runtuhnya rezim Orde Baru, berbagai
partai berbasis agama mulai banyak bermunculan. Hal ini dikarenakan adanya
kebebasan demokratisasi berpolitik di Indonesia setelah pudarnya keotoriteran yang
berkembang seiring dengan proses modernisasi dan tingginya tingkat kepentingan
masyarakat yang plural sehingga melahirkan lebih kurang 100 partai meskipun
tidak semua bisa mengikuti pemilu 1999.
Mayoritas
partai-partai yang muncul didirikan oleh para politisi yang sebelumnya aktif di
PPP, Golkar, dan PDI. Beberapa partai bercorak islam diantaranya yaitu PKB,
PAN, PBB, PKS, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ummat
(PNU), Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI), Partai Solidaritas Uni
Indonesia (SUNI) dll.
Dari
sekian banyak partai-partai islam yang ada, Greg Fealy mengklarifikasikannya
dalam dua kelompok, yaitu :
1.
Formalist
Islamic Parties yaitu, partai yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai islam ke
dalam perundang-undangan dan kebijakan negara seperti, PBB, PPP, dan PKS.
2.
Pluralist
Islamic Parties yaitu, partai yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai islam
dalam konteks bangsa Indonesia yang plural seperti, PKB dan PAN.
Tidak hanya
partai-partai islam, namun terdapat beberapa partai non islam seperti Partai
Krisna, Partai Katolik Demokrat, dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa yang juga
ikut pemilu 1999 namun, ketiganya tidak lulus treshold dan Partai Damai
Sejahtera pada pemilu 2004.
Dengan
terbukanya kembali peluang untuk memperjuangkan kembali nilai-nilai agama islam
maka terdapat beberapa upaya yang dilakukan diantaranya, keinginan untuk
kembali ke Piagam Jakarta dan tuntutan untuk dimasukkannya rumusan “Negara
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat islam
bagi para penganutnya” namun hal ini gagal dilaksanakan karena sebagian besar
partai yang menduduki kursi DPR menolak hal tersebut. Namun disisi lain, wacana
islam dapat terealisasikan nilainya pada UU yang lebih rendah berupa rancangan
Perda di daerah tertentu seperti Perda Aceh yaitu larangan ngangkang bagi wanita
saat naik kendaraan bermotor.
Sumber :
Marijan,
Kacung. Sistem Politik Indonesia. Kencana, 2010.
http://nyemot.typepad.com/blog/2011/12/relasi-islam-negara-di-era-orde-baru-1980s-1990s-akomodasi-atau-politisasi-islam-.html
di unduh pada 19 Mai 2013 pukul. 21.54
0 comments