The Arab-Israeli dispute and Regional turning point: the consequences of 1967 By. Fred Halliday
By Meisarah Marsa, S.Sos - Mei 03, 2015
The Arab-Israeli dispute and Regional
turning point: the consequences of 1967
merupakan salah satu sub bab bahasan dalam tulisan karya Fred Halliday. Dalam
sub bab tersebut dijelaskan bahwa pada dekade pertama pasca berakhirnya Perang
Dunia II, kondisi Timur Tengah semakin memanas. Di mana, negara – negara barat
seperti Inggris dan Perancis menarik diri dari posisi mereka yang telah
diperoleh setelah tahun 1918. Selain itu, negara-negara di Timur Tengah semakin
terlibat dalam Perang Dingin. Kondisi ini juga diperparah dengan keterlibatan
komunitas Yahudi di Palestina dan Israel.
Pada tahun 1947 Inggris memutuskan untuk menarik diri
keluar tanpa resolusi. Dan pada tahun 1948, setelah diumumkannya resolusi PBB
konfrontasi antara Arab dan Yahudi semakin memanas. Kondisi ini akhirnya
menyebabkan perang antara keduanya, di mana penduduk lokal Palestina bergabung
dengan pasukan dari Mesir, Yordania dan Suriah. Pasukan Yahudi akhirnya menang
atas Palestina. Di mana kemudian pasukan Yahudi membentuk negara baru Israel
yang dicanangkan oleh Ben Gurion di museum kota di Tel Aviv pada 14 Mei 1948. Selain
kemenangan komunitas Yahudi, kekuatan Hashemite Yordania juga menduduki
sebagian besar tepi barat dan timur Yerusalem.
Dalam tulisannya, Fred Halliday mengemukakan dua persepsi
dominan yang tergambar pada konflik Arab Israel pertama. Persepsi pertama
menggambarkan bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah sengketa Arab Israel,
melainkan konflik yang secara tidak langsung berkaitan dengan Perang Dingin. Di
mana pada 1948, Uni Soviet mendukung pembentukan Israel dan mempersenjatainya.
Namun, belakangan Israel memiliki kedekatan hubungan dengan AS yang terbentuk
selama pemerintahan Johnson setelah 1963. Sedangkan persepsi kedua
menggambarkan bahwa masalah Palestina yang mencuat selama Perang Dingin
mengirimkan gelombang kejutan melalui dunia Arab selama beberapa dekade
terakhir. Dan lebih jauh berefek pada kehadiran nasionalisme Arab dan rasa identitas Arab yang lebih radikal. Konflik
Arab Israel sendiri hanya merupakan salah satu bagian dari peningkatan nasionalisme
Arab tersebut.
Pada konflik Arab Israel kedua dan ketiga, kondisi Timur
Tengah semakin memanas kembali. Hal ini ditandai dengan adanya perang Suez pada
tahun 1956 dan perang enam hari pada 1967. Peristiwa ini turut mewarnai titik
puncak Perang Dingin dengan munculnya nasionalisme radikal Arab sebagai
ideologi dan gerakan. Sebagaimana yang terjadi di Irak tahun 1958 di mana
terjadi kudeta militer dan penggulingan monarki Irak. Pada tahun yang sama Mesir
dan Suriah datang bersama-sama untuk membentuk Republik Arab Bersatu. Sedngkan
pada tahun 1961 di Mesir terjadi proklamasi sosialisme Arab. Pada saat yang
sama Mesir berusaha memberikan pengaruh yang lebih besar dan berusaha melampaui
tingkat regional dengan turut serta mendukung dan menghadiri KTT Asia Afrika di
Bandung. Dan pada tahun 1961 mulai membentuk Gerakan Non Blok bersama dengan
Indonesia, India, dan negara dunia ketiga lainnya. Dan pada tahun 1962 Aljazair
berhasil merdeka dari Perancis dan pada bulan Septembernya Imamah di Yaman
digulingkan oleh kelompok radikal.
Perang Arab Israel tahun 1967 telah menandai titik balik dalam
tiga hal. Pertama, dalam mendiskreditkan nasionalisme Arab militan. Di mana hal
tersebut juga memperburuk prestise dunia Arab terhadap pendukung utama nasionalisme
itu, Uni Soviet. Pada dua dekade terakhir yang dimulai pada tahun 1955, dunia
Arab secara keseluruhan turut terlibat dalam Perang Dingin. Hal ini
mengakibatkan dunia Arab lebih terfragmentasi. Kedua, kembali munculnya Palestina
sebagai kekuatan politik yang otonom pada tahun 1967. Sepanjang tahun 1970-an
dan 1980-an negara-negara Arab berusaha untuk mempengaruhi Palestina. Pada
tahun 1974 di pertemuan puncak para pemimpin Arab, PLO telah dikonfirmasi
sebagai wakil sah satu-satunya dari masyarakat Palestina. Ketiga, Munculnya
Islamisme yang mendasari terjadinya perang 1967. Kemunculan islamisme ini memiliki
konsekuensi jangka panjang bagi dunia Arab dan dunia Muslim secara keseluruhan.
Kelompok radikal Islam ini memandang diri mereka baik sebagai tantangan untuk
negara sekuler dan di sisi lain sebagai gerakan pan-Arab.
Dalam
tulisannya, Fred Halliday menekankan bahwa agama menjadi motivasi perang Arab
dan Israel. Peristiwa tahun 1967 menggambarkan dengan jelas bahwa Israel dengan
Yahudinya melakukan perlawanan terhadap Islam di Palestina. Selama tahun
1970-an dan 1980, banyak negara – negara Arab seperti Arab Saudi, Turki, Mesir yang
berusaha menggunakan kelompok-kelompok Islam untuk mengurangi pengaruh lawan
mereka. Kecenderungan kelompok – kelompok radikal ini mencapai puncaknya dalam
serangan di Amerika Serikat pada September 2001. Sehingga, Halliday
menyimpulkan bahwa kelompok – kelompok ini lahir dari kekuatan gerakan islam
yang merupakan produk dari Perang Dingin yang kemudian mengakar dan berkembang
hingga pasca Perang Dingin.
Sengketa Arab Israel selama perang dingin telah
mengakibatkan pergeseran dalam politik Timur Tengah. Beberapa negara- negara
Arab terfragmentasi ke dalam politik sekuler yang dihasilkan oleh Perang
Dingin, seperti pro barat, pro Soviet atau bahkan sebagai oposisi sekuler. Hal
ini menjadi salah satu faktor memanasnya wilayah regional Timur Tengah beberapa
tahun terakhir dengan tidak lepas dari problematika ideologi agama.
0 comments