The Arab Spring: Implications for IR Theories and Security in the Middle East
By Meisarah Marsa, S.Sos - Mei 03, 2015
Latar Belakang
Topik
ini akan membahas fenomena Arab Spring di Timur Tengah. Beberapa isu yang akan
disorot, termasuk transisi politik yang melanda sejumlah Negara penting di
Timur Tengah, kritik atas teori otoritarianisme, survey atas munculnya rezim
Islamis dan
beberapa faktor lain
yang memberikan kontribusi
atas terjadinya Arab Spring di Timur Tengah. Serta bagaimana teori-teori HI menjelaskan Arab Spring,
sekaligus keterbatasan yang dimiliki teori-teori tersebut.
Term Arab Spring sendiri dipopulerkan
oleh media Barat pada awal tahun 2011, yang diawali dengan pemberontakan di
Tunisia terhadap mantan pemimpin Zine El Abidine Ben Ali sebagai protes
anti-pemerintah dan menyebar di sebagian besar negara-negara Arab[1].
Peristiwa ini hampir menyerupai gejolak yang pernah terjadi di Eropa Timur pada
tahun 1989, ketika rezim komunis mulai jatuh di bawah tekanan protes yang mulai
bergejolak setelah efek domino yang terjadi. Dan dalam waktu singkat, sebagian
besar negara bekas blok komunis mengadopsi sistem politik yang demokratis
dengan sistem ekonomi pasar.
Berbeda dengan yang terjadi di Eropa
Timur, fenomena yang terjadi di negara-negara Arab memiliki keunikan
tersendiri. Karena peristiwa Arab Spring di Timur Tengah merupakan bentuk dari continuity sejarah dimana rasa ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah muncul
kembali dan lebih besar serta tidak semua negara-negara Arab mengalami
perubahan rezim.
Selain itu, negara – negara Arab yang
terkena Arab Spring juga memiliki perbedaan antar satu dengan yang lain.
Tunisia Mesir dan Libya misalnya, merupakan negara-negara yang mengalami
fenomena Arab Spring. Dilihat dari pola demografi dan protes yang terjadi,
pergerakan aksi di Tunisia mulai disuarakan oleh warga desa/pinggiran sebagai
akibat tekanan sosial dan ekonomi kemudian bergerak kearah ibu kota. Di Mesir
demonstrasi dimulai oleh kaum muda di kota-kota besar dan cosmopolitan. Dan
Libya dimotori oleh pemberontak-pemberontak di provinsi timur yang menyulut
perang antar suku[2].
Dalam melihat fenomena yang terjadi di
Tunisia, Mesir dan Libya, Anderson melihat media popular bukan merupakan
penyebab utama yang menjadi penyulut revolusi tersebut[3].
Revolusi yang dilakukan oleh rakyat ini sangat terlihat begitu tiba2 dan secara
simultan serentak dilakukan karena ketidakpuasan terhadap pemerintah yang korup
dan tingginya pengangguran.
Menganalisa
fenomena Arab Spring lebih jauh akan dibahas mengenai faktor yang memberikan
kostribusi terhadap Arab Spring secara umum maupun secara khusus seperti yang
terjadi di Mesir, Tunisia, dan Libya. Berikut juga akan dijelaskna teori yang
menjelaskan tentang Arab Spring bersama dengan kelemahan teori tersebut.
Faktor Arab Spring
Secara Umum
Untuk
dapat memahami varian kenapa beberapa negara merubah dan menurunkan regime
negaranya, dan kenapa beberapa negara memelihara status quo nya, dan kenapa
dikasus yang lain terjadinya perang sipil, kita dapat memahaminya melalui[4]:
1.
Rezim otoriter yang memiliki keuasaan mutlak. Hal ini memicu penindasan dan
pertarungan politik yang terjadi antara rezim otoriter dan golongan
masyarakat baik masyarakat sipil, politik etnik, maupun kelompok kepentingan. Dalam hal ini, banyak
sekali para pemimpin di Timur Tengah yang menganggap kediktatoran mereka akan
bertahan lama kaena kebijakan-kebijakannya. Dimana oleh banya negara
Arab,
budaya otokrasi ini dijadikan suatu pembenaran sistem pemerintahan. Namun negatifnya,
budaya otokrasi ini diikuti dengan tameng militer untuk mempertahankan
kekuasaan yang ada sebagaimana yang dijelaskan El-Ghobasy dalam pembahasan strong regime strong society dengan
mencontohkan polisi
anti huru-hara di Mesir.[5]
Bahkan hubungan antara militer dan pemerintahan dipredikasikan tidak akan berakhir.[6]
2.
Fragmentasi politik di mana kelompok kepentingan atau masyarakat
sipil dipisahkan dari politik. Sehingga politik didominasi oleh rezim tertentu
yang mencoba mempertahankan kekuasaanya dengan melakukan berbagai cara seperti
strategi mobilisasi sosial dan tekanan yang tinggi terhadap masyarakat hingga
korupsi. Politik pemerintahan yang didukung
militer juga menyebabkan bertambahnya ketegangan dengan masyarat sipil.
3.
Kegagalan kebijakan ekonomi dan sosial
Negara-negara Timur Tengah merupakan pengekspor
minyak terbesar didunia, namun politik minyak sepenuhnya diambil alih oleh
pemerintah yang otoriter demi kepentingan pribadi.[7] Selain itu,
pengelolaan investasi semakin lebih terbuka terhadap pasar di mana pihak asing dibiarkan untuk
melakukan investasi tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat. Pemerintah juga
membeli legitimasi dengan kekayaan dari politik minyak.[8] Dampaknya terjadi
kesenjangan sosial antara pihak masyarakat dengan pemerintah. Hal ini kemudian
berujung pada perlawanan dan gejolak massa yang memicu terjadinya Arab Spring.[9]
4.
Pan Arabisme
Pan-Arabisme merupakan
kekuatan yang dominan di dunia Arab pada 1950-an dan 1960-an. Pada dasarnya,
pan-Arabisme adalah sebuah gerakan yang menonjolkan nilai-nilai Arab yang
memunculkan rasa kebangsaan Arab yang besar (nasionalisme Arab). Pan-Arabisme,
sayangnya, tidak bekerja menuju pluralisme dan demokrasi. Di akhir 1960an,
pembebasan Palestina yang diupayakan dengan menggembar gemborkan Pan Arabisme
gagal. Dan Pan Arabisme mengalami kevakuman. Namun negatifnya, Pan Arabisme
meninggalkan kekuatan-kekuatan Islamis baru yang terfragmentasi tidak seperti
Pan Arabisme di mana kekuatan-kekuatan Arab lebih menyatu. Kekuatan islamis ini
kemudian menguat menjadi rezim islamis yang pada akhirnya berupaya untuk
melakukan pemberontakan terhadap rezim otoriter.
5.
Media
Berbicara masalah penyebaran konflik,
efek yang didapat dari twitter, blog, pesan singkat, fax dan media
komunikasinya cukup besar dan berpengaruh. Kesadaran akan teknologi untuk
mengakses informasi telah memicu timbulnya protestor di berbagai tempat. Para
analisis tekhnologi menganggap bahwa masyrakat banyak yang menggunakan media
sosial dalam menggulingkan kepemimpinan otokrat, dimana segala pemberitaan,
media sosial menunjukan adanya pemberontakan. Menurut El-Ghobasy, media tidak
dapat dihilangkan perannya dari peristiwa Arab Spring dan pemberontakan yang
terjadi[10].
Tunisia
Tunisia
memiliki salah satu sistem pendidikan terbaik didunia Arab. Memiliki kelas menengah terbesar, dan
memiliki gerakan buruh yang terorganisir. Namun dibalik prestasi Ben Ali ini,
terjadi pembatasan ekspresi dan peran partai politik, sehingga rakyat merasa
terkekang kebebsannya. Negara ini oleh Ben Ali dicitrakan dan dimanipulasikan
sebagai negara yang modern dan memiliki teknorasi regime serta negara yang baik
untuk dijadikan tujuan wisata bagi turis. Keluarga Ben Ali juga diketahui
sebagai keluarga yang sangat korup. Situs Whistleblower WikiLeaks baru-baru ini
mengungkapkan bahwa Duta Besar AS untuk Tunisia melaporkan pada tahun 2006 bahwa
setengah dari elit komersial Tunisia seacara pribadi terkait dengan Ben Ali dan
keluarganya, yaitu melalui tiga anaknya, tujuh saudaranya, dan sepuluh
saudara-saudara dari istrinya.
Militer Tunisia juga memainkan peran
yang kurang signifikan dalam menghadapi kerusuhan dinegara itu, berbeda dengan
negara arab lainnya seperti Libya dan Mesir. Tentara Tunisia tidak pernah
mengalami peperangan. Militer tidak berpartisispasi secara berarti dalam masa
transisi. Demonstrasi dari kekuatan gerakan buruh, pemogokan berulang kali
memicu aksi protes luar biasa di Tunisia sebelum Ben Ali melarikan diri.
Demonstarasi terjadi diprakarsai oleh para “generasi pembangkang” rezim tahun
1980-an, terutama aktivis serikat dan militan islam yang dipimpin oleh Rachid
Al-Ghannouchi. Ia muncul kembali di Tunisia setelah 20 tahun dipengasingan.
Setelah penggulingan Ben Ali tercermin perubahan radikal dalam agenda gerakan
protes Tunisia. Tunisia menerima pemahaman yang dibawa oleh Ghannouchi tentang
politik islam bahwasanya islam dapat menerima aspirasi anak muda Tunisia yang
terutama berkaitan dengan keadilan dan kesempatan lapangan pekerjaan untuk
mereka, yang selama ini diabaikan oleh Ben Ali. Hingga kemudian pada masa paska
Ben Ali, Tunisia membangun generasi muda dengan tidak hanya anak muda yang
pintar saja, tetapi juga Tunisia yang memiliki kebebasan berkeyakinan,
berekspresi dan membangun sebuah sistem yang mendorong adanya kontestasi
politik yang sehat
Mesir
Tidak jauh berbeda dengan Tunisia,
Mesir juga berhasil menggulingkan rezim lama yaitu Husni Mubarak. Memburuknya
kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar, ketidakpedulian terhadap
pengangguran, puluhan juta orang masih diliputi kemiskinan, dan adanya korupsi
merupakan faktor utama terjadinya revolusi di Mesir. Berbeda dengan Tunisia,
Militer Mesir sangat berpengaruh dalam konflik ini. Setelah Mubarak turun, pemerintahan
diambil alih oleh Militer yang malah memperkeruh suasana yang terjadi. Mereka
banyak membuat kekacauan yang merugikan kestabilan domestik Mesir. Namun, pada
akhirnya demonstrasi di Mesir menginginkan adanya reformasi terhadap institusi
pemerintahannya.
Ada beberapa penjelasann yang dapat menafsirkan sebab-sebab terjadinya revolusi ini yaitu: tekhnologi,
Tunisia, dan kesengsaraan didalamnya. Para analisis tekhnologi menganggap bahwa
masyarakat
banyak yang menggunakan media sosial dalam menggulingkan kepemimpinan otokrat,
dimana segala pemberitaan, media sosial menunjukan adanya pemberontakan di
Mesir dan banyak wilayah Timur Tengah lainnya. Tunisia, ini juga merupakan salah satu pemicu
terjadinya pemberontakan di Mesir untuk ikut melakukan revolusi.[11]
Pada akhir pemberontakan, perkiraan awal terdapat 365 warga meninggal dan sekitar 5.000
terluka. Di sisi polisi, ada 32 kematian dan 1.079 luka-luka, sementara 99
kantor polisi dan 3.000 kendaraan telah dibakar.[12]
Bagian penting dari revolusi
Mesir adalah pemulihan metodis nya
dari kesejahteraan masyarakat dan pemberontakan untuk memulihkan arti politik yang sebenarnya.
Pada masa krisis, revolusi Mesir masih dalam ‘ayunan penuh’. Tapi harus
diharapkan, bagaimanapun, bahwa revolusi akan menjalani fase kemunduran, nyata
atau jelas.[13]
Libya
Libya adalah salah satu negara yang
diterpa oleh gelombang arab spring. Kesuksesan Tunisia menggulingkan
pemimpinnya menginspirasi masyarakat Libya untuk melakukan hal serupa.
Demonstrasi yang terjadi di wilayah Arab bukanlah sebagai bentuk solidaritas
atas dasar one Arab Identity
melainkan sebagai cara penyelesaian permasalahan yang terjadi di lingkup
domestik.[14]
Aksi protes masyarakat Libya bermula dari kelompok bersenjata kumpulan rakyat
miskin dari daerah timur, aksi ini juga mengungkapkan bahwa telah terjadi
perpecahan suku yang telah berlangsung selama beberapa dekade.[15]
Keberlangsungan rezim Qaddafi selama 42
tahun juga tak terlepas dari peran militer sebagai pendukung utamanya. Militer
dijadikan sebagai instrumen jaminan keamanan bagi rezimnya. Sikap otoritarian
yang ditunjukkan Qaddafi terlihat dari bagaimana dia mengatur tata kelola
pemerintahan. Qaddafi membatasi berbagai hal menyangkut kepemilikan swasta,
pemberitaan di media massa dan menutup perkumpulan-perkumpulan sipil. Qaddafi
merancang sistem pemerintahan sedemikian rupa agar dia dapat mengontrol penuh
seluruh sektor negara. Selain itu, dia juga melibatkan anggota keluarganya
untuk terlibat dalam menjalankan pemerintahan demi mengamankan kepentingan
pribadi dan koleganya.
Pemberontakan yang menuntut pergantian
rezim di Libya dapat dikatakan membawa kejutan di kawasan yaitu pertama, tidak
ada satupun yang menyangka pemerintahan Qaddafi akan mendapat tantangan; kedua,
pemerintah melakukan serangan balik atas aksi pemberontakan; ketiga, melibatkan
komunitas internasional untuk melakukan intervensi militer dimana hal ini juga
mendapat dukungan dari liga Arab; keempat, perang saudara yang berkepanjangan
akhirnya diakhiri oleh kematian Qaddafi yang juga sekaligus menandai
berakhirnya rezim otoritarian di Libya.[16]
Terjadinya Arab Spring bukanlah dipicu
dari pengaruh Amerika ataupun permasalahan yang terjadi antara Palestina-Israel
namun ini berasal dari permasalahan yang terjadi di lingkup domestik suatu
negara yang berdampak pada stabilitas kawasan dikarenakan kesamaan permasalahan
ekonomi, sosial, dan politik yang sama-sama dihadapi setiap negara.
Pemberontakan yang terjadi Arab menunjukkan bahwa apa yang terjadi di suatu
negara akan menimbulkan dampak di negara lainnya dimana kejadiannya tanpa
diketahui dan memiliki kekuatan tak terduga.[17]
Analisa Teori
Strukturalisme
Asumsi Dasar
Structuralism identik dengan eksploitasi kelas borjuis ke kelas
proletar. Oleh karena itu, untuk memahami lebih dalam, berikut
asumsi dasar strukturalisme dari Jiil steans dan Llyod Pettiford :[18]
(a).
Ekonomi, sosial, dan institusi politik saling berhubungan erat;
(b).
Kekuatan ekonomi akan menggerakan (menentukan) perubahan sosial dan politik;
(c). Aktor utama dan unit analisisnya
adalah kelas-kelas di masyarakat;
(d).
Hubungan ekonomi global dirancang sedemikian rupa untuk menguntungkan
kelas-kelas sosial tertentu, sehingga menghasilkan sebuah “sistem dunia” yang
pada dasarnya tidak adil (konfliktual dan prinsip zero sum);
(e).
Strukturalisme bisa dilihat sebagai suatu perspektif Bottom up.
Analisa
teori
Sesuai
dengan asumsi dasar dari struktulisme di atas, sangat terlihat bahwa
struktulisme dapat menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
Arab Spring di Timur Tengah. Hal ini dibuktikan bahwa peristiwa Arab Spring
dapat terjadi akibat adanya social
movement yang digerakkan oleh masyarakat, baik itu pemuda, serikat buruh
dan kalangan-kalangan lainnya yang mengalami ketidakpuasan terhadap pemerintah
yang berkuasa.[19]
Ketidakpuasan masyarakat di negara-negara Timur Tengah seperti Tunisia, Mesir
dan Libya yang paling dominan adalah dalam bidang ekonomi dan politik. Bidang
Ekonomi meliputi ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan layanan dasar
seperti kesehatan, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, sedangkan
bidang politik didominasi oleh tidak adanya transparansi sehingga rezim yang
berkuasa cenderung korup dan menghilangkan hak-hak politik masyarakatnya
seperti kebebasan berekspresi dan partai politik. Namun, secara keseluruhan ketidakpuasan dalam
bidang ekonomilah yang menjadi trigger sehingga
menuntut institusi politik (presiden) untuk mundur dari kursi pemerintahan.
Kelemahan
teori
Menurut Jill Steans,[20]
ada beberapa kelemahan dari teori strukturalisme yaitu (1). Strukturalisme mampu untuk
menjabarkan kejahatan kapitalisme internasional, namun tidak memiliki cara
untuk mengubah tatanan tersebut. (2) Segala sesuatu dijelaskan berdasarkan
kelas sosial, sehingga mengesampingkan berbagai fenomena (perang, krisis
ekonomi, kesenjangan, dan aspek-aspek indentitas: gender, etnisitas, dan
identitas lainnya). Jika dilihat dari poin-poin diatas, maka dapat dilihat
bahwa strukturlisme tidak memberikan solusi dalam masalah arab spring. Meskipun
rezim yang berkuasa berhasil dijatuhkan namun pada akhirnya sistem kapitalis
masih bertahan hingga saat ini. Kemudian, dalam melihat fenomena arab spring,
strukturalisme hanya melihat adanya konflik kelas sosial antara penguasa dan
rakyat namun melupakan faktor lain seperti media sosial yang juga berperan
dalam mewujudkan social movement di
Timur Tengah.
Pluralisme
Definisi pluralism masih
multifaceted. Menurut Marwan Muasher, secara sempit pluralism adalah fundamental commitment to political
diversity at all times. Yang lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap orang
berhak untuk berpartisipasi politik secara damai, dan tidak ada yang memonopoli
kebenaran atau kekuasaan. Aspek pluralism lebih dikaitkan dalam aspek politik
Arab pasca The Second Arab Awakening.
Asumsi
-
aktor-aktor dalam hubungan internasional tidak saja terdiri
dari aktor negara melainkan pula aktor non negara termasuk pula di dalamnya
idividu, societal (masyarakat), dan kelompok kepentingan[21]
-
4 esensi yang diperlukan untuk mencapai pluralism menurut
Marwan Muasher[22]
:
o
Secara politik, dunia Arab harus merealisasikan power sharing dan peaceful rotation of power among all political forces.
o
Secara ekonomi, dunia Arab harus harus mengaplikasikan rentire system and rentire economy.
o
Secara sosial, dunia Arab harus mengembangkan dan
mengapresiasi “diversity” atau keberagaman yang ada.
o
Negara-negara di dunia Arab harus meninjau kembali
pendidikan dengan menekankan pada nilai-nilai yang harus diajarkan untuk
generasi muda.
Analisa
-
Krisis pluralism menjadikan dunia Arab terjerumus ke dalam
gejolak Arab Spring. Di mana masyarakat dunia Arab sangat minim bahkan belum
ada yang membicarakan hal serius terkait proses pondasi menuju politik
demokratis dengan sistem pluralistik yang akan dipertahankan. Masyarakat Arab
justru hanya membicarakan masalah keadilan sosial dan martabat.
-
Setelah kemerdekaan tercapai, tidak ada pemerintah Arab yang
benar-benar sekuler dan tidak ada pemerintah Arab yang full progresif atau
konservatif. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan Arab dapat mencapai
pluralisme dan demokrasi[23].
-
Kebangkitan kedua dunia Arab akan sukses jika tidak hanya
dilandasai dengan gerakan melawan kekuasaan otoriter saja melainkan harus
diiringi dengan gerakan pluralism. Gerakan pluralism dapat menjadi sistem
operasi yang akan membantu meletakkan pondasi dasar untuk masyarakat Arab yang
makmur dan inklusif.
-
Fenomena Arab Spring jika tidak diiringi dengan pluralism
maka tidak jauh beda dengan keadaan dunia Arab sebelumnya dimana hanya akan ada
penggantian satu set diktator oleh diktator lain, dan tidak lebih dari itu.[24]
Sepertihalnya kebangkitan Arab pertama sekitar 100 tahun yang lalu yang
berhasil menyingkirkan pemerintahan kolonial, tetapi gagal untuk mengembangkan
sistem pluralism yang dapat bertahan
lama. Hal ini terbukti dengan munculnya kebangkitan kedua dunia Arab (Arab
Spring).
-
Kegagalan lain akibat krisis pluralism dapat dilihat pada
gelombang revolusioner demonstrasi dan protes yang semula menghadirkan harapan
besar bahwa demokrasi akan menggantikan rezim otoriter, namun tidak seperti
yang diharapkan. Saat itu, kepala negara di Tunisia, Mesir, dan Libya diusir ke
pengasingan, dipenjara, atau digantung oleh massa.
Kelemahan
Teori
-
Pertumbuhan pluralism dalam liberalisasi politik tentu akan
menantang ideologi negara dan mengancam monopoli atas organisasi korporasi,
pertumbuhan pluralism dalam liberalisasi politik di negara-negara Arab yang
monarki biasanya hanya akan memperkuat perpecahan sosial yang sudah ada[25].
-
Terlalu optimis, bahkan mungkin utopis. Sarjana lain telah
berulang kali menunjukkan bahwa budaya politik di Timur Tengah telah mengakar.
Selain itu, masalah ekonomi yang telah ada akan menyebabkan kekacauan lebih
lanjut dan ketidakstabilan[26].
-
Skeptis terhadap keterlibatan asing (barat) dalam Arab
Spring[27].
Kesimpulan
Arab
spring yang dipopulerkan oleh Barat pada awal 2011 bermula dari pemberontakan
seorang warga Tunisia terhadap pemimpinnya, gerakan protes ini kemudian meluas
ke negara-negara Arab, dan hal ini mirip dengan gejolak di Eropa Timur pada 1989.
Fenomena pemberontakan ini memiliki pola yang berbeda di setiap negaranya.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gejolak Arab Spring ini diantaranya
Rezim otoriter yang memiliki keuasaan mutlak,
Fragmentasi politik di mana kelompok kepentingan atau masyarakat sipil
dipisahkan dari politik, Kegagalan kebijakan ekonomi dan sosial, kevakuman Pak
Arabisme, dan Media.
Untuk
menganalisis peristiwa ini masing-masing teori memiliki pandangan yang berbeda.
Teori strukturalis menjealaskan peristiwa Arab Spring dapat terjadi akibat
adanya social movement yang
digerakkan oleh masyarakat, baik itu pemuda, serikat buruh dan
kalangan-kalangan lainnya yang mengalami ketidakpuasan terhadap pemerintah yang
berkuasa. Sedangkan Teori Pluralisme mengatakan bahwa krisis pluralism (baik
pluralism politik, ekonomi, maupun sosial) menjadikan dunia Arab terjerumus ke
dalam gejolak Arab Spring. Di mana masyarakat dunia Arab sangat minim bahkan
belum ada yang membicarakan hal serius terkait proses pondasi menuju politik
demokratis dengan sistem pluralistik yang akan dipertahankan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://middleeast.about.com/od/humanrightsdemocracy/a/Definition-Of-The-Arab-Spring.htm
diakses 20 April, pukul 22.05 WIB.
http://www.e-ir.info/2012/04/02/the-resilience-of-arab-monarchies-in-the-arab-spring/
diakses pada 20 April, pukul 21.00 WIB. .
http://carnegieendowment.org/2014/01/23/second-arab-awakening-and-battle-for-pluralism
diakses pada 20 April, pukul 20.30 WIB. .
http://theglobalobservatory.org/2014/04/arab-spring-reading/
diakses pada 20 April, pukul 20.05 WIB.
Keyman, Ariana. “E-International Relations Students.” 2 April
2012.
http://www.e-ir.info/2012/04/02/the-resilience-of-arab-monarchies-in-the-arab-spring/,
diakses 21 April, 2015. Pukul 06.15 WIB.
Habriri, Najlaa. “Asharq Al-Awsat.” 1 Mei 2014.
http://www.aawsat.net/2014/05/article55331784/awakening-to-pluralism-after-the-arab-spring,
diakses 20 April, Pukul 21.05 WIB. .
Anderson, Lisa. “Demystifying the Arab Spring.” Foreign
Affairs Vol. 90, Issue 3, May/Jun 2011: 2-7.
“Delacoura, Katerina. The 2011 uprisings in the Arab Middle
East: political change and geopolitical implications.”
Gregory, Gause. “Why middle East Studies Missed The Arab
Spring, Foreign Affairs 90(81), 82.”
“Jordan J. Paust, International Law, Dignity, Democracy, and
the Arab Spring, 46 Cornell international Law Journal 1 (2013) U of Houston Law
Center No. 2012-A-3.”
Mona, El-Ghobashy. “The Praxis of the Egyptian Revolution.” Middle
East Report 258, 2011.
N.Rozsa, Erzsebet. “The Arab Spring. Its Impact on the Region
and on the Middle East Conference.” Academic Peace Orchestra Middle East,
2012: 7.
Pettiford, Llyod, dan Jill Steans. .2009. “Hubungan
Internasional : Perpektif dan Tema.” :. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm.
157-158, 2009.
Saideman, Stephen. “When Conflict Spreads: Arab Spring and
the Limits of Diffusion.” International Interactions 38, 2012: 713-722.
[1] http://middleeast.about.com/od/humanrightsdemocracy/a/Definition-Of-The-Arab-Spring.htm diakses 20 April, pukul 22.05 WIB.
[2] Anderson, Lisa. “Demystifying the Arab Spring.” Foreign
Affairs Vol. 90, Issue 3, May/Jun 2011: 2-7.
[3] Ibid.
[4] Saideman, Stephen. “When Conflict Spreads: Arab Spring
and the Limits of Diffusion.” International Interactions 38, 2012:
713-722.
[5] Ibid.
[6] Gause, Gregory
(2011). “Why Middle East Studies Missed the Arab Spring,” Foreign Affairs 90 (81): 81-82.
[7] Delacoura,
Katerina. The 2011 uprisings in the Arab Middle East: political change and
geopolitical implications
[9] Jordan J. Paust,
International Law, Dignity, Democracy, and the Arab Spring, 46 Cornell
international Law Journal 1 (2013) U of Houston Law Center No. 2012-A-3
[12] Ibid
[13] Ibid
[16] Erzsebet N.Rozsa,
“The Arab Spring. Its Impact on the Region and on the Middle East Conference”
Academic Peace Orchestra Middle East (August 2012) : 7.
[18] Jill Steans &
Llyod Pettiford.2009. “Hubungan Internasional : Perpektif dan Tema.”
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hlm. 157-158
[21] http://www.e-ir.info/2012/04/02/the-resilience-of-arab-monarchies-in-the-arab-spring/ diakses pada 20
April, pukul 21.00 WIB.
[22] http://carnegieendowment.org/2014/01/23/second-arab-awakening-and-battle-for-pluralism diakses pada 20
April, pukul 20.30 WIB.
[23] http://theglobalobservatory.org/2014/04/arab-spring-reading/ diakses pada 20
April, pukul 20.05 WIB.
[24] Muasher, Marwan
dalam http://carnegieendowment.org/2014/01/23/second-arab-awakening-and-battle-for-pluralism mengatakan
bahwa “ so far as the battle in the Arab
world is seen as a battle between secular and religious elements, so far as it
is seen as a zero-sum game, the sum will be zero, in my view”
[25] Keyman, Ariana. “E-International Relations Students.”
2 April 2012. http://www.e-ir.info/2012/04/02/the-resilience-of-arab-monarchies-in-the-arab-spring/,
diakses 21 April, 2015. Pukul 06.15 WIB.
[26] Habriri, Najlaa. “Asharq Al-Awsat.” 1 Mei 2014.
http://www.aawsat.net/2014/05/article55331784/awakening-to-pluralism-after-the-arab-spring,
diakses 20 April, Pukul 21.05 WIB.
[27] Ibid.
0 comments