ANALISA POLITIK LUAR NEGERI ARAB SAUDI DALAM INTERVENSI YAMAN

By Meisarah Marsa, S.Sos - April 04, 2016



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Makalah ini akan mencoba menganalisa mengenai politik luar negeri Arab Saudi dalam kasus intervensi Arab Saudi ke Yaman. Secara kronologis, pergerakan Arab Saudi  ke Yaman sejatinya telah dimulai pada November tahun 2009 yang lalu[1]. Di mana sebelumnya, telah terjadi pergolakan antara pemerintah Yaman melawan kelompok al Houthi yang terus mengadakan perlawanan dan meluas hingga menyentuh wilayah perbatasan Yaman-Saudi. Tindakan al-Houthi yang telah masuk ke wilayah perbatasan dikecam oleh pemerintah Saudi. Di tambah lagi, telah terjadi perseteruan sengit di wilayah perbatasan yang menewaskan seorang tentara perbatasan Arab Saudi dan melukai 11 orang lainnya[2]. Arab Saudi pun akhirnya melakukan intervensi yang dimulai dengan peluncuran pesawat Saudi F-16 dan Tornado jet yang mengebom wilayah pergerakan pemberontak al Houthi di perbatasan Arab Saudi dan  bagian utara Yaman, terutama wilayah gunung Jebel al Dukhan di perbatasan Yaman-Saudi[3]. Serangan juga ditargetkan di kamp-kamp al Houthi di Yaman[4]. Setelah tiga bulan berkonflik, al Houthi akhirnya setuju untuk gencatan senjata pada Februari 2010[5].
Pada Rabu 25 Maret 2015, Arab Saudi kembali melakukan tindakan intervensi ke Yaman melalui serangan udara yang secara langsung dimonitoring oleh Menteri Pertahanan Arab Saudi Mohammad bin Salman[6]. Arab Saudi bahkan menjadi pemimpin koalisi internasional dalam kasus intervensi ke Yaman. Koalisi tersebut terdiri atas negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) terkecuali Oman, ditambah Pakistan, Yordania, Mesir, Sudan, Turki, dan Maroko. Selain itu, Arab Saudi juga mendapat dukungan penuh dari AS[7].
Fokus pembahasan dalam makalah ini adalah menjelaskan faktor-faktor yang mendorong intervensi Saudi ke Yaman. Tema ini menarik untuk dikaji dikarenakan 2 hal. Pertama, posisi negara Arab Saudi dipandang sebagai hegemonic power di Timur Tengah. Kedua, adanya kekuatan yang mencoba mengancam geopolitik Saudi yang akhirnya mendorong Saudi untuk melakukan intervensi. Bagi sebagian pengamat, intervensi Arab Saudi ke Yaman merupakan bagian dari perang dingin antara Saudi dan Iran. Berbagai media juga menyebutkan bahwa kasus intervensi di Yaman didominasi oleh faktor agama yang mengacu pada konflik antara Sunni dan Syiah. Di mana Sunni ditujukan untuk kelompok anti al Houthi sedangkan Syiah ditujukan untuk al Houthi yang melawan Presiden Yaman Abd-Rabu Mansur Hadi. Namun satu hal yang tidak lepas dari semua itu adalah bahwa intervensi Saudi ke Yaman merupakan konflik militer yang pastinya melibatkan permasalahan ekonomi, geopolitik, dan agama.  
Intervensi Arab Saudi ke Yaman merupakan salah satu kebijakan Raja Salman sebagai penguasa baru Arab Saudi. Meskipun baru berkuasa, Raja Salman berupaya memperkuat posisinya dengan mencoba meyakinkan masyarakat dan keluarga kerajaan melalui kebijakan intervensi[8]. Secara aplikatif, hal tersebut diterapkan dengan membangun aliansi militer bersama Pakistan, Maroko, Sudan, dan negara – negara Sunni untuk melawan Iran yang disinyalir mendukung pasukan al Houthi[9]. Di mana dalam kasus ini koalisi yang dipimpin Saudi dinilai sebagai bentuk perlawanan dan pencegahan terhadap pengaruh Iran. Upaya yang dilakukan oleh Raja Salman dinilai sebagai bentuk geo politik Arab Saudi saat ini[10].
Di samping itu, AS juga turut mendukung upaya Arab Saudi dalam mengintervensi Yaman. Pada akhir Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengadakan konferensi dengan para perwakilan negara-negara Teluk untuk membahas krisis yang terjadi di Yaman. Dalam konferensi tersebut, Kerry menegaskan akan mendukung koalisi dengan dukungan logistik, intelijen, dan konsultasi strategi[11].
Arab Saudi yang juga sebagai pemain utama dalam GCC memiliki kepentingan minyak sebagaimana negara – negara GCC lainnya termasuk kepentingan minyak di Yaman. Karena secara potensi, Yaman memiliki wilayah strategis yaitu Bab el Mandeb yang merupakan jalur lintas minyak tersibuk di dunia[12]. Jalur tersebut juga menjadi salah satu jalur terpenting bagi Saudi dan negara GCC lainnya. Namun, wilayah Bab el Mandeb saat ini telah dikuasai oleh kelompok al Houthi. Di samping itu, Iran juga menguasai secara ketat selat Hormuz. Kedua tempat tersebut merupakan wilayah potensial yang kini masih dikuasai oleh Iran dan al Houthi. Jika wilayah tersebut tidak segera direbut maka dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh Iran untuk memperkuat perekonomiannya atau bahkan akan menjadi pesaing utama GCC.
B.     Kerangka Metodologis
Dalam tulisan ini akan digunakan bentuk content analysis dengan metode kualitatif untuk melakukan analisa terhadap politik luar negeri Arab Saudi dalam kasus intervensi ke Yaman. Dan penggunaan data kualitatif juga digunakan untuk mempertegas argumen yang eksplanatif dalam menjelaskan politik luar negeri Arab Saudi. Namun, data yang didapat lebih bersifat second hand information atau dari sumber sekunder yang diambil dari berbagai literatur dominan seperti buku, jurnal, dan surat kabar yang diperoleh melalui hasil riset studi pustaka di Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FISIP kampus UIN Jakarta ataupun website resmi yang ada di jejaring sosial yang terpercaya.
Teori yang akan digunakan sebagai pisau analisa adalah teori realisme dan konstruktivisme. Teori realisme akan digunakan secara lebih dominan daripada teori konstruktivisme. Kedua teori diambil sebagai pisau analisa karena permasalahan yang terjadi sangat komplit dan tidak hanya dapat dijelaskan dengan satu pisau analisa. Teori konstruktivisme akan sangat membantu dalam menganalisa politik luar negeri Saudi dalam intervensi ke Yaman yang dikonstruksikan dalam bentuk identitas atau konflik Sunni Syiah. Namun, tentunya hal tersebut tidak luput dari kepentingan secara materi dan non materi yang akan dijelaskan dengan teori realisme. Sehingga, baik teori konstruktivisme maupun realisme akan membantu dalam menganalisa politik luar negeri Arab Saudi dalam intervensi ke Yaman.  
C.     Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, pertanyaan penelitian yang akan dibahas yaitu :
1.      Apa faktor utama yang mendorong Arab Saudi untuk melakukan intervensi?
2.      Dan bagaimanakah analisa politik luar negeri Arab Saudi dalam kasus tersebut?
                                          
D.    Hipotesa
Politik luar negeri Arab Saudi merupakan analisa yang kompleks, sehingga dalam menjelaskannya dibutuhkan lebih dari satu pisau analisa. Dalam tulisan ini, akan ada dua teori yang dijadikan sebagai pisau analisa untuk menganalisis politik luar negeri Arab Saudi, yaitu realis dan konstruktivis.
Konstruktivis merupakan teori pragmatis yang mempertimbangkan dua hal yaitu ideational dan material power. Terkait dengan analisa yang akan dilakukan, aspek identity and state action menjadi kata kunci dalam area riset konstruktivis. Identitas yang dimaksud adalah berkaitan dengan pertikaian antara Sunni dan Syiah yang dikonstruksikan dalam problematika yang terjadi di Yaman saat ini yang memicu state action berupa intervensi langsung oleh Arab Saudi. Sedangkan untuk pembahasan material power akan ditambahkan dengan analisa realisme yang akan membantu penulis, terutama dalam menganalisa faktor utama yang mendorong Arab Saudi untuk melakukan intervensi. Karena penulis meyakini bahwa sesungguhnya terdapat kepentingan utama yang mendorong Arab Saudi melakukan intervensi, di mana alasan Sunni Syiah hanyalah bentuk yang dikonstruksikan sebagai cover yang menutupi kepentingan utama Saudi.  
Dua teori tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam dua faktor analisa yaitu faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi politik luar negeri Saudi. Faktor internal berupa kepentingan nasional Saudi, sejarah nasional, dan kepemimpinan Raja Saudi. Sedangkan faktor eksternal berupa kepentingan ekonomi di antara negara-negara GCC, ballance of power di Timur Tengah dan posisi Saudi sebagai kekuatan hegemon, geopolitik Saudi, konflik kelompok identitas Sunni Syiah, dan dukungan AS.


Analisa Politik Luar Negeri Arab Saudi dalam Intervensi Yaman

            Arab Saudi mengambil langkah intervensi ke Yaman pada 25 Maret 2015 bukan tanpa alasan. Kemunculan pergerakan kelompok al-Houthi semakin kuat terutama sejak kematian pendirinya Hussein Badreddin Al-Houthi di Yaman tahun 2004 lalu. Kelompok pemberontak yang ingin menggulingkan rezim Yaman ini dinilai sebagai sebuah ancaman bagi Saudi. Arab Saudi tentunya sudah melakukan pertimbangan yang cukup matang dalam mengatasi ancaman ini, hingga akhirnya sampai pada kesepakatan untuk melakukan intervensi yang bahkan mendapat dukungan dari negara-negara GCC kecuali Oman, ditambah Pakistan, Yordania, Mesir, Sudan, Turki, Maroko, dan AS. Beberapa langkah yang sebelumnya telah dilakukan oleh Arab Saudi antara lain : 1) Mendukung rejim Yaman yang kesulitan dalam menghadapi pemberontakan Houthi ke-6 pada November 2009 dengan meluncurkan Operation Scorched Earth[13], 2) Mendukung upaya negosiasi dalam Qatari negotiated pada Februari 2010[14], 3) Memberikan pelayanan kesehatan dan bantuan kepada rejim Yaman, Ali Abdullah Saleh yang mendapat serangan pada masa Arab Spring 2011[15].
Pasca terpilihnya Presiden Abd-Rabu Mansur Hadi sebagai presiden Yaman pada Februari 2012 lalu tidak menghambat pergerakan al-Houthi. Kelompok al-Houthi justru semakin tidak menghargai pemerintahan baru Yaman yang terpilih secara demokratis. Al-Houthi bahkan dinilai telah mengupayakan kudeta terhadap pemerintahan baru ini dan bahkan telah merencanakan pemerintahan transisi pengganti Hadi. Situasi semakin memanas dengan pengunduran diri Hadi dari pemerintahan. Setelah sebelumnya berada di tahanan rumah Sanaa, Hadi kemudian berhasil meloloskan diri ke Aden, Yaman Selatan.
Situasi pemerintahan yang tak terkontrol ditambah dengan tindakan brutal al-Houthi yang semakin mengupayakan kudeta dan pemberontakan hingga mencapai perbatasan Saudi-Yaman menjadikan Saudi semakin gelisah. Ditambah lagi, al-Houthi menolak tuntutan Dewan Keamanan PBB untuk menegosiasikan pembagian kekuasaan di bawah naungan GCC[16]. Ancaman yang dirasakan Saudi semakin besar, sehingga akhirnya Arab Saudi  bersama dengan negara-negara GCC lainnya kecuali Oman menggabungkan kekuatan untuk meredam pengaruh dan ancaman al-Houthi. Pada 25 Maret 2015, Saudi kemudian meluncurkan Operation Decisive Storm sebagai bentuk intervensi langsung ke Yaman.
Lemahnya pemerintahan Yaman pasca serangan al-Houthi tentunya dapat mengancam keamanan Arab Saudi. Di mana jika Saudi tidak segera melakukan penanganan maka konflik di Yaman akan membawa pengaruh besar mengingat Saudi berbatasan langsung dengan Yaman secara geografis. Sehingga, terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Arab Saudi untuk mengcounter gerakan al-Houthi[17]. Pertama, Saudi dapat mendukung pemerintah Yaman untuk menjaga kestabilan Yaman agar tidak merambah ke Saudi[18]. Kedua, Saudi menjadikan Yaman Selatan sebagai wilayah teritori Saudi yang baru untuk mengantisipasi failed state[19]. Dua kemungkinan tersebut wajar dilakukan oleh Saudi dengan berdasarkan pada asumsi realis bahwa negara adalah aktor rasional yang mencemaskan keselamatan dirinya dalam hubungan persaingan dengan negara lain[20]. Di mana negara tidak ingin diambil keuntungannya dan terus menerus mengupayakan untuk menjadi yang terkuat agar dapat selalu survive dalam sistem yang anarki. Dengan kata lain, Saudi akan mementingkan keamanan nasionalnya dan kelangsungan hidup negaranya.
State action yang dilakukan oleh Saudi tentunya tidak lepas dari beberapa faktor yang mendorong Saudi untuk melakukan intervensi. Faktor – faktor tersebut antara lain :
A.    Faktor Internal
a.         Kepentingan nasional dan geopolitik Saudi
Kepentingan nasional yang mendorong Saudi untuk melakukan intervensi tidak lain adalah kepentingan keamanan. Pada 2014, Al-Houthi akhirnya berhasil menguasai wilayah Sanaa yang merupakan wilayah vital di bagian Selatan Yaman yang berbatasan dekat dengan Saudi. Ancaman semakin tak terkendali di saat kelompok Al-Houthi berhasil mengupayakan kudeta. Sehingga, kepentingan keamanan menjadi kepentingan primer Saudi. Kepentingan sekunder lebih mengacu pada upaya untuk mewujudkan kestabilan Yaman agar tidak menjadi failed state yang dapat menguntungkan kelompok al-Houthi. Kepentingan lainnya seperti kepentingan ekonomi dan teritori merupakan kepentingan Saudi secara umum yang tidak kalah penting. Jalur lintas minyak utama di Bab el Mandeb, Yaman Selatan dikhawatirkan akan dapat dikuasai oleh al-Houthi jika Saudi tidak segera mengambil langkah intervensi. Meskipun akses lain dapat dilakukan di selat Hormuz, namun selat tersebut telah dikuasai penuh oleh Iran[21]. Hal ini juga menjadi perhatian besar bagi geopolitik Saudi. Karena penguasaan jalur lalu lintas minyak oleh al-Houthi akan mengancam tidak hanya Saudi tapi juga negara-negara GCC. Namun, untuk kepentingan secara permanen, Saudi tetap ingin mempertahankan eksistensinya sebagai hegemon di wilayah Teluk.     
b.        Sejarah nasional dan Kepemimpinan Raja Saudi
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1920an, Saudi pernah terlibat perang dengan Yaman. Dan pada tahun 1960an, Saudi mendukung pasukan royalis Yaman melawan pasukan republik di Utara Yaman[22]. Keterlibatan Saudi dalam intervensi kali ini seakan mengulang sejarah konflik antara Saudi dan pemberontak Yaman, meskipun pada waktu itu kelompok al-Houthi belum berkembang. Berbeda dengan masa sebelumnya di mana Saudi berperang melawan kelompok republik di Yaman Utara, kali ini Saudi berhadapan langsung dengan kelompok al-Houthi yang kini telah menguasai posisi pemerintahan secara de-facto setelah berhasil melengsernya presiden Yaman.
Di samping itu, kebijakan Raja Saudi juga sangat mempengaruhi intervensi Saudi. Sebagai Raja Saudi yang baru, Salman bin Abdul Aziz al-Saud mengupayakan kebijakan yang mencitrakan dirinya baik di mata masyarakat sekaligus meyakinkan keluarga kerajaan yang sebelumnya meragukan kepemimpinannya karena alasan kesehatan[23]. Dan untuk memperkuat posisinya, Raja Salman bahkan memberikan posisi Menteri Pertahanan kepada anaknya Mohammad bin Salman yang memonitoring langsung tindakan intervensi Saudi ke Yaman[24]. Sehingga, kebijakan intrevensi ke Yaman menjadi salah satu upaya Raja Salman untuk memperkuat posisinya terutama dalam persaingan keluarga kerajaan al-Saud[25].
B.     Faktor Eksternal
a.         Kepentingan ekonomi di antara negara-negara GCC
Negara – negara GCC turut bergabung dengan Saudi dalam melakukan intervensi ke Yaman terkecuali Oman. Kebijakan intervensionis yang didukung oleh negara-negara GCC salah satunya merupakan upaya untuk menjaga kestabilan subregional di wilayah Teluk[26]. Namun, kepentingan ekonomi menjadi kepentingan utama negara-negara GCC. Sebagai negara-negara penghasil minyak, negara-negara GCC tentunya memiliki kepentingan terhadap jalur lintas minyak yang berada di kawasan Bab el Mandab yang berada di Selatan Yaman dan Selat Hormuz di bagian selatan Iran. Di antara dua jalur tersebut, jalur Bab el Mandab menjadi jalur utama dan terpenting bagi negara-negara Teluk[27]. Jika keberadaan al-Houthi semakin kuat di Yaman Selatan maka akan dapat mengancam keberlangsungan jalur minyak ini. Di samping itu, selat Hormuz yang menjadi alternatif juga berada di bawah kekuasaan Iran. Kedua tempat tersebut merupakan wilayah potensial yang kini masih dikuasai oleh Iran dan al Houthi[28]. Jika wilayah tersebut tidak segera direbut maka dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh Iran untuk memperkuat perekonomiannya dan bahkan akan menjadi pesaing utama GCC.
b.        Konflik kelompok identitas Sunni Syiah
Identitas menjadi hal yang tidak kalah penting dan menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam intervensi Saudi ke Yaman. Di mana Saudi menghadapi dilema keamanan yang dipengaruhi oleh faktor identitas, yang dalam hal ini adalah perang dingin antara Sunni dan Syiah.[29] Saudi mengklaim bahwa kelompok al-Houthi merupakan proxy Iran. Hal ini dikarenakan bahwa kelompok Houthi merupakan kelompok yang beraliran Syiah Zaidi[30]. Meskipun Iran menyangkal telah memberikan bantuan militer kepada al-Houthi, namun dua kapal angkatan laut telah dikirim ke Teluk Aden pada Rabu, 8 April[31]. Hal ini membuktikan keterlibatan Iran dalam upaya penguatan kelompok Houthi di Yaman.
Dilema keamanan yang dipengaruhi oleh faktor identitas ini sangat dikhawatirkan oleh Saudi, terutama jika Iran berupaya untuk memberikan pengaruh di ranah regional dengan memicu ketegangan di selat Bab el Mandeb hingga teluk Aden. Dilema tersebut juga dirasakan oleh negara-negara Teluk yang mayoritas Sunni. Konstruksi subjektif yang terbentuk di antara negara-negara Sunni akan ancaman Syiah oleh Iran maupun Houthi, telah mendorong negara-negara tersebut untuk mengambil tindakan  (state action) termasuk Saudi. Negara-negara Sunni kemudian membentuk koalisi bersama yang dipimpin oleh Saudi untuk melancarkan  intervensi ke Yaman dalam melawan Iran proxy[32].    
c.         Dukungan AS dan Israel
AS dan Kerajaan Saudi semakin mengecam kependudukan al-Houthi yang mulai menguasai Ibu kota Yaman, Sanaa pada September 2014. Saudi kemudian memulai memimpin koalisi dengan menerima dukungan dari AS, Inggris, maupun Prancis. Pertemuan Saudi dengan Menteri Luar Negeri AS John Kerry pada akhir Maret lalu menegaskan secara langsung bahwa AS mendukung kuat upaya Saudi untuk melakukan intervensi. Dalam kunjungan tersebut, AS bahkan menyediakan dukungan dukungan logistik, intelijen, dan konsultasi strategi[33]. AS secara tidak langsung, terlibat dari jarak jauh. Di mana AS berupaya untuk menjalin kesepakatan dengan Iran. Tidak hanya AS, Israel pun turut membantu Saudi dalam melancarkan intervensinya ke Yaman. Dukungan Israel terhadap Saudi merupakan dukungan kedua kalinya setelah dukungan Israel pada tahun 1962 yang membantu Saudi dalam pergolakan yang pernah terjadi sebelumnya di Yaman.
AS maupun Israel sejatinya memiliki kepentingan geostrategis. Di mana kepentingan utama AS ingin memastikan Saudi sebagai sekutunya dapat mengendalikan Bab al-Mandeb, Teluk Aden, dan Kepulauan Socotra. Bab el-Mandeb merupakan poin strategis bagi AS sebagai jalar pengiriman perdagangan dan energi maritim internasional yang menghubungkan Teluk Persia melalui Samudra Hindia dengan laut Mediterania melalui Laut Merah. Kekhawatiran AS secara global lebih kepada pencegahan terhadap Iran, Rusia, atau China agar tidak memiliki pijakan strategis di Yaman. Sedangkan Israel lebih mengkhawatirkan kontrol Yaman yang dapat memotong akses Israel ke Samudra Hindia melalui Laut Merah dan Teluk Persia.   
d.        Ballance of power di Timur Tengah dan posisi Saudi sebagai kekuatan hegemon
Berkaca pada perang dingin Sunni Syiah, maka akan muncul dua kekuatan hegemon yaitu Saudi dan Iran. Di mana sudah tidak asing lagi jika kedua kekuatan ini saling bersaing memperebutkan power di Timur Tengah. Kekhawatiran Saudi terhadap partisipasi Iran di Yaman sangat rasional. Yaman dinilai sebagai sebuah posisi strategis yang memiliki potensi dan jika dikuasai oleh Iran hal tersebut akan menjadikan Iran sebagai hegemon baru yang cukup kuat[34]. Sehingga untuk mencegah hal tersebut, Saudi melakukan intervensi dan mencoba untuk menghambat pergerakan Iran ke Yaman. Saudi bahkan mendapat dukungan dari negara-negara Sunni di Teluk dan dukungan AS. Hal ini semakin meyakinkan Saudi dalam melancarkan intervensinya dan mempertahankan kekuatan hegemonnya di Timur Tengah.  

KESIMPULAN
Arab Saudi melancarkan intervensi ke Yaman setelah  kelompok pemberontak al-Houthi melengserkan Presiden Yaman Abd-Rabu Mansur Hadi. Berdasarkan asumsi realis, Saudi melakukan intervensi karena alasan national security yang terancam. Hal ini menjadi faktor utama yang mendorong Arab Saudi melakukan intervensi. Dan beberapa faktor lain yang tidak kalah penting seperti faktor internal yang meliputi kepentingan nasional, sejarah nasional dan kepemimpinan Raja Saudi serta faktor eksternal yang meliputi kepentingan ekonomi antar negara-negara GCC, konflik antar kelompok identitas Sunni Syiah, dukungan AS dan Israel, serta Ballance of power di Timur Tengah dan posisi Saudi sebagai kekuatan hegemon. Dari segi konstruktifis, konsep konflik kelompok identitas Sunni Syiah menjadi faktor yang dianggap penting sebagai bentuk konstruksi atas konflik yang ada dan memiliki benang merah dengan persaingan antara Saudi dengan Iran dalam memperebutkan hegemon di Timur Tengah.



DAFTAR PUSTAKA

http://www.criticalthreats.org/yemen/tracker-saudi-arabia%E2%80%99s-military-operations-along-yemeni-border diakses pada 15 April 2015, pukul 08.30 WIB.
http://www.criticalthreats.org/yemen/tracker-saudi-arabia%E2%80%99s-military-operations-along-yemeni-border diakses 15 April 2015, pukul 09.35 WIB. .
http://www.meforum.org/5145/backgrounder-intervention-yemen diakses pada 14 April 2015, pukul 10.15 WIB.
https://ceasefiremagazine.co.uk/yemen-geopolitical-sectarian-interests/ diakses pada 15 April 2015, pukul 21.10 WIB.
http://www.brookings.edu/blogs/markaz/posts/2015/03/26-pollack-saudi-air-strikes-yemen diakses pada 14 April 2015, pukul 11.20 WIB.
http://www.globalresearch.ca/the-geopolitics-behind-the-war-in-yemen-the-start-of-a-new-front-against-iran/5439431 diakses pada 15 April 2015, pukul 20.10 WIB.
https://www.ctc.usma.edu/posts/yemens-huthi-movement-in-the-wake-of-the-arab-spring diakses pada 25 April 2015, pukul 09.05 WIB.
http://www.theguardian.com/world/2011/jun/05/yemen-president-saleh-saudi-arabia diakses pada 25 April 2015, pukul 19.45 WIB.
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-14704951 diakses pada 25 April 2015, pukul 21.03 WIB. .
http://www.middleeasteye.net/columns/saudi-arabia-s-long-history-destructive-intervention-yemen-1549856872 diakses pada 15 April, pukul 14.20 WIB. .
http://www.outsidethebeltway.com/saudi-king-salman-shakes-up-royal-family-succession/ diakses pada 30 April 2015, pukul 06.36 WIB.
http://www.middleeasteye.net/columns/saudi-arabia-s-long-history-destructive-intervention-yemen-1549856872#sthash.qwKECJBo.dpuf diakses pada 30 April 2015, pukul 10.15 WIB.
http://rt.com/op-edge/248269-yemen-oil-saudi-mandeb-strait/ diakses pada 26 April 2015, pukul 10.18 WIB.
http://www.meforum.org/5159/sunni-shiite-war diakses pada 25 April 2015, pukul 20.05 WIB.
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-32229316 diakses pada 26 April 2015, pukul 15.02 WIB.
http://www.meforum.org/3713/gulf-states-american-support diakses pada 15 April 2015, pukul 21.35 WIB.
http://www.meforum.org/5145/backgrounder-intervention-yemen diakses pada 15 April 2015, pukul 21.20 WIB.
Barakat, Sultan. “Qatar Mediation : Between Ambition and Achievement.” Brookings Doha Centre, 2012: 16.
Hara, Abubakar Eby. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri : dari Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung: NUANSA, 2011.
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Nonneman, Gerd, dan Ginny Hill. “Yemen, Saudi Arabia and the Gulf States : Elite Politics, Street Protest and Regional Diplomacy .” Middle East and North Africa Programme, 2011: 16-20.
“Not too strong, not too weak: Saudi Arabia's Policy Toward Yemen.” NOREF (Norwegian Peace Building Reasearch Centre), 2013: 1-3.
Steans, Jill, dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
 “The New Politic of Interventions of Gulf Arab States.” LSE Middle East Centre, 2014: 3-8.





[1] http://www.criticalthreats.org/yemen/tracker-saudi-arabia%E2%80%99s-military-operations-along-yemeni-border diakses pada 15 April 2015, pukul 08.30 WIB.
[2] Ibid.
[4] Ibid.
[5]  http://www.meforum.org/5145/backgrounder-intervention-yemen diakses pada 14 April 2015, pukul 10.15 WIB.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[12]  “The New Politic of Interventions of Gulf Arab States.” LSE Middle East Centre, 2014: 3-8.
[14] Barakat, Sultan. “Qatar Mediation : Between Ambition and Achievement.” Brookings Doha Centre, 2012: 16.
[16] http://www.bbc.com/news/world-middle-east-14704951 diakses pada 25 April 2015, pukul 21.03 WIB.
[18] “Not too strong, not too weak: Saudi Arabia's Policy Toward Yemen.” NOREF (Norwegian Peace Building Reasearch Centre), 2013: 1-3.
[19] Ibid.
[20] Jackson, Robert, dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Hal. 91-100.
[22] Ibid.
[24] ceasefiremagazine.co.uk. Opcit.
[26] http://rt.com/op-edge/248269-yemen-oil-saudi-mandeb-strait/ diakses pada 26 April 2015, pukul 10.18 WIB.
[27]www.global.research.ca. Opcit.
[28] Ibid.
[29] teori konstruktivis diasumsikan bahwa tidak ada kenyataan sosial yang objektif, yang ada hanyalah intersubjektif; di mana hubungan antar aktor merupakan hasil konstruksi yang dipahami bersama. Dalam Steans, Jill, dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
[30] http://www.meforum.org/5159/sunni-shiite-war diakses pada 25 April 2015, pukul 20.05 WIB.
[31] http://www.bbc.com/news/world-middle-east-32229316 diakses pada 26 April 2015, pukul 15.02 WIB.
[32] ceasefiremagazine.co.uk. Opcit.
[33] http://www.meforum.org/3713/gulf-states-american-support diakses pada 15 April 2015, pukul 21.35 WIB.

[34] http://www.meforum.org/5145/backgrounder-intervention-yemen diakses pada 15 April 2015, pukul 21.20 WIB.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments