PENGARUH ARAB SPRING DI TUNISIA TERHADAP HUBUNGAN DIPLOMATIK INDONESIA TUNISIA
By Meisarah Marsa, S.Sos - Februari 22, 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makalah ini akan
membahas mengenai bagaimana pengaruh Arab
Spring terhadap hubungan diplomatik Indonesia Tunisia. Sejarah mencatat, hubungan bilateral antara Indonesia dan Tunisia
telah terbangun sejak lama. Di mana pada 1951, Tunisia membuka kantor Gerakan
Pembebasan Rakyat Tunisia di Jakarta sebagai langkah menuju kemerdekaan Tunisia
dengan meminta dukungan dari Republik Indonesia[1].
Pada 10 tahun berikutnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) membuka
hubungan diplomatik dengan Tunisia, yang kemudian disusul dengan hadirnya
Kedutaan Tunisia di Jakarta pada tahun 1987[2].
Jika dilihat dari
sejarah pemerintahannya, kedua negara juga pernah mengalami masa reformasi dan
revolusi. Di mana Indonesia pernah mengalami reformasi yang ditandai dengan
lengsernya rejim Soeharto di tahun 1998. Sedangkan Tunisia, mengalami revolusi
yang berhasil menumbangkan rejim Zainal Abidin Ben Ali hingga menghasilkan konstitusi baru melalui
peristiwa Arab Spring.
Fenomena Arab Spring sendiri atau yang disebut
juga sebagai ‘Musim Semi Arab’ merupakan gelombang protes terhadap
demokratisasi yang berkembang di negara-negara Arab. Gelombang demokratisasi
tersebut disinyalir berasal dari Tunisia yang dimulai sejak 17 Desember 2010
hingga akhir 2011[3]. Kejadian
tersebut bermula dari aksi pembakaran diri seorang pedagang sayur sebagai
bentuk protes terhadap pemerintah Tunisia. Aksi ini ditanggapi oleh masyarakat
luas dengan melakukan serangkaian protes terhadap pemerintah. Kritikan AS
terhadap rejim Tunisia yang diterbitkan WikiLeaks sedikit banyak juga turut
mempengaruhi masyarakat terhadap pemerintah Tunisia[4].
Menanggapi protes massa yang semakin meluas, pemerintah Tunisia akhirnya harus
merelakan kejatuhan rejim Zainal Abidin Ben Ali .
Fokus pembahasan dalam
makalah ini adalah menganalisa hubungan diplomatik Indonesia Tunisia selama dan
sesudah Arab Spring. Tema ini menarik untuk dikaji dikarenakan dua hal. Pertama, selama masa Arab Spring banyak
perwakilan diplomatik yang ditarik dari Tunisia karena dinilai tidak aman. Kedua, keadaan pemerintahan yang relatif
baru pasca Arab Spring masih belum begitu stabil dalam memulihkan hubungan
diplomatik.
Selama masa Arab Spring,
gejolak massa di Tunisia semakin parah dan semakin melemahkan pemerintahan
Tunisia. Bahkan, Zainal Abidin Ben Ali yang telah berkuasa sejak 7 November
1987 harus meninggalkan Tunisia dan mengamankan diri ke Arab Saudi[5].
Melihat kondisi Tunisia yang tidak lagi aman, pihak Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) kemudian melakukan evakuasi terhadap WNI yang berada di
Tunisia[6].
Selama masa transisi, mantan
PM Tunisia Hamadi Jebali yang masih memiliki kontrol atas pemerintahan mencoba
untuk menstabilkan keadaan dengan mencanangkan pembentukan pemerintahan baru
sementara[7].
Pihak oposisi yang semakin keras menuntut kematian Belaid membuat Hamadi Jebali
memutuskan untuk mengundurkan diri dan digantikan oleh Ali Larayedh[8].
Ali kemudian memimpin Tunisia menjelang dilaksanakannnya pemilihan umum yang
baru.
Pada 23 November 2014
lalu, Tunisia akhirnya melakukan pemilihan umum secara bebas untuk pertama
kalinya sejak kemerdekannya. Terpilihnya Beji Said Essebsi sebagai presiden
pertama Tunisia secara demokratis menjadi awal baru bagi Tunisia dalam mengawal
pemerintahan yang sarat akan kedaulatan rakyat[9].
Tunisia akhirnya berhasil melalui masa transisi dan bergerak menuju negara
demokratis. Keberhasilan Tunisia menjadi negara demokratis tidak luput dari
peran serta dukungan pemerintah Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari besarnya
perhatian pemerintah Indonesia terhadap demokratisasi di Tunisia. Indonesia
bahkan membuka dialog khusus yang diselenggarakan oleh the Indonesian Institute for Peace and Democracy (IPD) yang
dilaksanakan di Jakarta 2012 lalu[10].
Agenda demokrasi sendiri merupakan bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia
sebagai upaya untuk menetralkan keadaan di Timur Tengah khususnya di Tunisia[11].
B.
Kerangka Metodologis
Bentuk content analysis dengan metode
kualitatif akan digunakan sebagai metode penelitian. Di mana permasalahan yang
diteliti akan dikaitkan dengan teori yang telah dipelajari dalam Politik Islam
Global (PIG) dan ilmu Hubungan Internasional (THI). Teori dominan seperti
liberalisme akan membantu dalam analisa kausal komparatif terkait hubungan
diplomatik dua negara muslim yaitu Indonesia dan Tunisia, selama dan sesudah Arab Spring[12].
Sehingganya dibutuhkan beberapa data kualitatif untuk mempertegas analisa
penulis. Namun, data yang didapatkan lebih bersifat second hand information atau dari sumber sekunder. Pengumpulan data
yang didapatkan dari sumber sekunder berasal dari berbagai literatur dominan
seperti buku, jurnal, surat kabar, dan artikel resmi pemerintah yang didapatkan
melalui studi pustaka di sekitar kampus UIN Jakarta ataupun website resmi yang ada di jejaring
sosial dan pemerintah.
C.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar
belakang masalah, pertanyaan penelitian yang akan dibahas yaitu :
1.
Apakah faktor yang melatarbelakangi revolusi Arab Spring
di Tunisia?
2.
Bagaimanakah pengaruhnya terhadap hubungan diplomatik
Indonesia Tunisia?
D.
Tinjauan Pustaka
Akhir tahun 2010 hingga 2011
lalu, Sebuah upaya revolusi di Tunisia yang menginginkan lengsernya rejim
pemerintah menjadi fenomena yang sempat menyita perhatian dunia internasional.
Fenomena yang dikenal dengan Arab Spring ini mulai merambah ke sejumlah negara
di Timur Tengah. Sebagai negara yang memulai gejolak Arab Spring, Tunisia menjadi objek yang banyak diteliti oleh
berbagai pakar dan penstudi. Beberapa tulisan yang memuat tentang fenomena Arab Spring yang terjadi di Tunisia
antara lain oleh Humphrey Wangke (2014) dalam tulisannya tentang “Masyarakat
Sipil dan Transisi Demokrasi di Timur Tengah : Kasus Tunisia”, Ahmad Najib
Burhani (2013) dalam tulisannya tentang “The Arab Spring and the Reformasi ’98:
A Comparative Study of Popular Uprisings in Tunisia and Indonesia”, Thomas
Schiller (2011) dalam tulisannya tentang “A Revolution and Its Consequences”, Gary
Decker (2012) dalam tulisannya tentang “What’s in a Revolution? The timing of
the Tunisian Revolution”, dan Michael A Lange (2012) dalam tulisannya tentang “After
The Arab Spring : Political Islam on The Rise?”.
Ke empat tulisan
tersebut memaparkan bahwa revolusi yang terjadi di Tunisia memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap pemerintahan Tunisia. Revolusi yang terjadi menghasilkan konsep
transisi politik menuju sistem yang
demokratis. Yang diawali dengan fase pembebasan dari
pemerintahan yang otoriter hingga
pembentukan konstitusi dan pemilihan umum
yang demokratis. Meskipun pada awalnya, terjadi gejolak politik yang melemahkan
pemerintahan, namun pada akhirnya Tunisia menjadi negara yang sudah demokratis
dan terbebas dari politik otoritarian. Dari segi internal, demokrasi tentunya menjadi
angin segar bagi masyarakat sipil Tunisia khususnya dan bagi pihak-pihak yang
memiliki kepentingan seperti partai politik. Secara eksternal, Tunisia akan
dipandang sebagai role model
demokrasi di Timur Tengah yang pastinya akan berimplikasi terhadap hubungan
luar negerinya.
Dalam tulisannya, Wangke
menekankan peran masyarakat sipil dalam transisi demokrasi di Timur Tengah yang
mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Di mana masyarakat
sipil Tunisia menyuarakan demokrasi, kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sosial
dengan melakukan serangkaian aksi dan tindakan protes terhadap pemerintah.
Sehingga masyarakat sipil turut berperan penting dalam mendorong demokratisasi.
Ahmad Najib memberikan gambaran lain, bahwa demoratisasi yang terjadi di
Tunisia juga tidak lepas dari peran Indonesia. Meski tidak berkonstribusi
secara langsung, namun era reformasi dan masa transisi Indonesia menjadi contoh
bagi Tunisia dalam mengupayakan keberhasilan demokrasi. Ahmad Najib juga
menekankan bahwa perbedaan pada rejim Soeharto dengan Zainal Abidin Ben
Ali berpengaruh terhadap pembentukan dan
perkembangan partai-partai islam di kedua negara tersebut. Dalam tulisannya, Lange menjelaskan bahwa demokratisasi di Tunisia
dapat dikatakan lebih berhasil daripada Mesir. Meski tahapan transisi demokrasi Tunisia pasca Arab Spring
berjalan lambat. Menurut Lange, hal ini disebabkan karena sistem politik di Tunisia tidak dilandasi dengan konsep health politic, sehingga tak ayal
terjadi tindak korupsi oleh pemerintah yang memicu pergolakan oleh rakyat. Berbeda dengan ketiganya, Schiller
memaparkan lebih jelas mengenai kebijakan administrasi Ben Ali dalam permainan
politik Tunisia yang berkonsekuensi pada kemunculan revolusi di Tunisia. Tidak
jauh berbeda dengan Schiller, Gary Decker lebih jauh memaparkan bahwa Facebook
menjadi satu-satunya sarana yang dapat beroperasi secara bebas tanpa kontrol
penuh pemerintah. Sehingga, Facebook digunakan sebagai saran oleh kelompok kepentingan
dan masyarakat sipil dalam menyiarkan aspirasi dan mencari dukungan melawan
pemerintah.
Beberapa tulisan dari
keempat pembahasan di atas terdapat beberapa hal terkait permasalahan Arab
Spring yang sulit dipahami. Untuk itu tulisan ini dihadirkan dengan bahasa yang
mudah dipahami sehingga diharapkan mampu melengkapi pemahaman terhadap tulisan yang
ada. Inovasi yang akan dihadirkan dalam
tulisan ini adalah analisa kausal komparatif dalam kasus Arab Spring di Tunisia terhadap hubungan diplomatik Indonesia
Tunisia.
E.
Hipotesa
Dalam analisa liberalis,
aspek domestik (inside-out approach)
dapat mempengaruhi prilaku negara terhadap hubungan luar negerinya. Dan jika inside-out approach suatu negara
bersifat demokratis maka hubungan luar negerinya akan menghasilkan
interdependensi dan insentif kerjasama yang menguntungkan. Namun, jika sebaliknya
(otoriter) maka hubungan luar negeri suatu negara akan terhambat bahkan akan
mengalami stagnansi. M.W. Doyle mengatakan bahwa ‘liberal democracies are uniquely willing to eschew the use of force in
their relations with one another’, sehingga Doyle menyimpulkan bahwa untuk
dapat meningkatkan hubungan eksternal, perlu diwujudkan kebebasan politik dari
internal. Kebebasan politik inilah yang diwujudkan oleh masyarakat Tunisia
dengan demokrasi. Burchill juga menambahkan bahwa selain kebebasan politik,
sistem demokrasi akan menghasilkan sistem pasar kapital yang mampu
menghilangkan hambatan perdagangan yang selama ini ternyata masih membelenggu
kerjasama perdagangan Indonesia Tunisia. Sehingga untuk meningkatkan hubungan
diplomatik, demokrasi Tunisia menjadi solusi pasti sebagai dampak dari Arab
Spring.
BAB II
Pengaruh Arab Spring Di Tunisia Terhadap Hubungan Diplomatik Indonesia
Tunisia
A.
Revolusi Tunisia dan Arab Spring
Revolusi Tunisia atau
yang dikenal juga dengan revolusi melati merupakan cikal bakal kemnculan Arab
Spring. Revolusi Tunisia ini dipicu oleh pembakaran diri seorang sarjana muda,
Mohammed Bouazizi yang terancam pengangguran. Untuk menopang hidupnya, Bouazizi
mengambil pinjaman kredit untuk menjual sayur dan buah. Namun di hari pertamanya
berjualan, nasib naas menimpa Bouazizi. Ia dipukul dan gerobak sayurnya disita
oleh polisi karena tidak memiliki lisensi. Atas kekesalannya, Bouazizi nekad
melakukan aksi bakar diri pada 17 Desember 2010. Aksi bakar diri ini kemudian
menyulut kemarahan masyarakat terhadap pemerintah, demonstrasi massa pun
kemudian menyebar dengan cepat sehari setelah aksi bakar diri tersebut. Revolusi
di Tunisia juga turut memicu gelombang demontrasi besar di negara-negara Arab
lainnya. Gejolak massa yang semakin rusuh dan tak terbendung memaksa rejim yang
berkuasa untuk mengakhiri pemerintahannya.
Faktor sesungguhnya yang
melatarbelakangi kemarahan masyarakat terhadap pemerintah tidak lain adalah
karena sistem pemerintahan yang otoriter dan cenderung membatasi kebebasan dan hak
masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari tindakan kontrol penuh oleh
pemerintah terhadap media massa, hukum konstitusi yang tidak adil, meningkatnya
pengangguran dan menunggaknya biaya hidup, serta maraknya kasus korupsi dan
nepotisme di dalam tubuh pemerintah[13].
Berdasarkan teori
kontrak sosial dalam liberalisme yang dikemukakan oleh John Locke bahwa
pemerintah sebagai wakil rakyat akan mendapat legitimasi penuh dari rakyat jika
ia memenuhi tuntutan dan hak rakyat[14].
Sehingga, dalam menjaga kestabilitasan, pemerintah seharusnya menjaga kontrak
sosial dengan masyarakat bukan merampas hak masyarakat. Krisis pangan global
tahun 2008 lalu menjadi acuan penting yang seharusnya ditangani oleh pemerintah Tunisia agar tidak
terjadi krisis yang lebih parah, tapi pemerintah justru terlibat dalam kasus
korupsi dan nepotisme. Ketidakadilan tersebut kemudian berujung pada terjadinya
pemberontakan Gasfa 2008.[15]
Meskipun tindakan keras aparat kepolisian di bawah rejim Ben Ali mampu
mengontrol pemberontakan untuk sementara, namun ketidakadilan dan keterkekangan
yang diderita masyarakat Tunisia akibat keotoriteran rejim Ben Ali akhirnya disuarakan
oleh masyarakat pada 18 Desember 2010. Di mana masyarakat Tunisia melakukan
serangkaian aksi perlawanan terhadap pemerintah kemudian merevolusinya dengan
pemerintahan yang demokratis. Tujuan demokrasi seakan menjadi solusi atas
keotoriteran pemerintahan di negara-negara Arab. Sehingga, pergolakan yang
terjadi di Tunisia kemudian menyebar ke berbagai negara Arab lainnya.
B.
Hubungan Diplomatik Indonesia Tunisia Pra Arab Spring
Hubungan diplomatik
Indonesia Tunisia telah berjalan kurang lebih 54 tahun sejak dibukanya hubungan
diplomatik Indonesia untuk Tunisia pada 15 Februari 1961. Kedekatan keduanya
sudah terjalin erat sejak lama, di mana Indonesia pernah berperan besar
terhadap kemerdekaan Tunisia. Apalagi jika dilihat dari segi identitas,
Indonesia dan Tunisia memiliki kesamaan, yaitu merupakan negara berkembang yang
mayoritas muslim.
Selama 50 tahun terakhir
sebelum meletusnya Arab Spring, Indonesia telah banyak melakukan kerjasama
dengan Tunisia begitupun sebaliknya. Kerjasama ini diharapkan akan dapat
menghasilkan insentif yang besar, karena dilihat secara geografis Indonesia memiliki
potensi besar di Asia Tenggara sedangkan Tunisia memiliki potensi dinamis di
Afrika dan Timur Tengah. Selain di Afrika dan Timur Tengah, Tunisia juga memiliki
akses pasar ke Eropa, karenanya dulunya Tunisia merupakan negara pertama yang
menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa pada tahun 1995[16].
Dari segi politik,
Tunisia banyak memberikan dukungan kepada Indonesia di berbagai organisasi
internasional. Pada tahun 2009-2011 lalu, Tunisia memberikan dukungan atas
pencalonan kandidat Indonesia dalam Council
of the International Maritime Organization (IMO) Kategori C[17].
Kemudian di tahun berikutnya Tunisia memberikan dukungan atas pencalonan Pemerintah
RI sebagai Anggota Dewan International
Telecommunication Union (ITU) periode 2010-2014 dan memberikan dukungan
dalam World Heritage Committee dan Executive Board UNESCO periode 2012-2015[18].
Hubungan diplomatik
Indonesia Tunisia dari segi politik dinilai lebih baik dibandingkan dari segi
ekonomi. Pada tahun 2009, neraca perdagangan Tunisia hanya berkisar US $ 100
juta[19].
Hingga pertengahan 2010 lalu, Tunisia juga masih belum memiliki badan investasi
perusahaan kecuali investasi minyak di Tunisia dengan satu perusahaan Indonesia
yaitu Medco[20]. Berbeda
dengan yang diperoleh Tunisia, total perdagangan Indonesia tumbuh 27,23% pada
tahun 2010 dan ekspor Indonesia ke Tunisia meningkat pada 2010 sebesar 42,24%.[21]
Meskipun di sisi lain Indonesia harus menghadapi hambatan tariff bea masuk
produk Indonesia ke Tunisia. Selain itu, untuk menunjang aktivitas
perdagangan, Indonesia Tunisia membentuk
Joint Study Group (JSG) yang
dicanangkan sejak 2006 lalu dalam sidang ke-8 komisi Indonesia Tunisia di Bali.
Namun, program ini baru terlaksana 2 kali pertemuan yaitu pertemuan pertama di
Tunis pada 17-18 Juni 2009 dan pertemuan kedua di Denpasar pada 16-17 Juni
2010. Sedangkan pertemuan ke-3 yang direncanakan pada tahun 2011 belum
terlaksana hingga sekarang[22].
Dari pemaparan tersebut
dapat dilihat bahwa meskipun Indonesia dan Tunisia memiliki kedekatan namun
secara diplomatik tidak mengalami peningkatan yang signifikan terutama dari
segi ekonomi. Di mana, Tunisia masih menerapkan tariff biaya impor Indonesia
yang cukup tinggi. Hal ini tentunya menghambat pertumbuhan perdagangan di kedua
belah pihak. Selain itu, Tunisia yang seharusnya dapat menjadi pasar strategis
bagi Indonesia untuk memasarkan
produknya ke Timur Tengah dan Eropa justru tidak mengalami perkembangan dan
semakin menurun pasca resesi global tahun 2008. Padahal, menurut laporan World
Economic Forum (WEF) tahun 2009-2010, Tunisia di bawah pemerintahan Zainal
Abidin Ben Ali merupakan negara yang paling kompetitif secara ekonomi di
Afrika. Namun pada kenyataannya, strategi diplomatik Tunisia Indonesia tidak
mengalami peningkatan di samping krisis domestik yang diderita oleh Tunisia.
Data yang dilaporkan
oleh World Economic Forum (WEF) tahun
2009-2010 terhadap Tunisia menjadi tanda tanya besar. Seharusnya dengan ekonomi
yang kompetitif, hubungan diplomatik Indonesia dan Tunisa secara ekonomi tidak
mengalami stagnansi pasca resesi 2008. Lalu kenapa stagnansi masih terjadi? Hal
tersebut dapat dihubungkan dengan keadaan pemerintahan Tunisia di bawah rejim
Ben Ali. Laporan mengejutkan datang dari pernyataan Transparency Internasional (TI) yang memperkirakan bahwa keluarga
Ben Ali kemungkinan telah mengendalikan 35% perekonomian negara Tunisia[23].
Uang tersebut disembunyikan dalam sejumlah rekening bank dan beberapa aset
properti senilai 1,2 juta Pound Sterling di Westmount dekat Montreal dan
Jenewa, sebuah pesawat pribadi Falcon 9000 yang juga di Jenewa, 1 aset rumah mewah
di Paris senilai 37 juta Euro, serta sebuah villa dan apartemen[24].
C.
Transisi Demokrasi Tunisia
Selama masa pergolakan
Arab Spring, kondisi perekonomian Tunisia semakin memburuk. Dari segi ekonomi
dan investasi, terdapat lebih dari 80 perusahaan asing telah meninggalkan
Tunisia[25].
Selain itu, jumlah pengangguran diperparah dengan kepulangan para pekerja
Tunisia yang ada di beberapa negara Arab yang terkena Arab Spring seperti
Libya, sehingga angka pengangguran meningkat 17% menjadi 700.000 jiwa pada tahun
2011[26].
Sedangkan dari segi politik, pemerintahan Tunisia harus menghadapi gejolak
massa yang menuntut revolusi. Untuk alasan keamanan, Zainal Abidin Ben Ali
terpaksa meninggalkan Tunisia dan
mengamankan diri ke Arab Saudi. Gejolak tersebut juga menghambat hubungan
diplomatik Indonesia Tunisia. Bahkan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia
(KBRI) harus melakukan evakuasi untuk mengamankan WNI yang berada di Tunisia.
Jumlah WNI yang dievakuasi KBRI pada Januari 2011 tercatat sebanyak 120 orang[27].
Meskipun demikian, pihak KBRI memutuskan untuk tidak menutup kedutaan di
Tunisia karena masih ada sejumlah WNI yang berasal dari jalur batas
Libya-Tunisia yang harus dievakuasi[28].
Selama masa transisi,
mantan PM Tunisia Hamadi Jebali yang masih memiliki kontrol atas pemerintahan
mencoba untuk menstabilkan keadaan dengan mencanangkan pembentukan pemerintahan
baru sementara[29].
Namun, situasi semakin memanas setelah terungkapnya kematian politisi oposisi
sekuler Chokri Belaid. Pihak oposisi yang semakin keras menuntut kematian
Belaid membuat Hamadi Jebali memutuskan untuk mengundurkan diri dan digantikan
oleh Ali Larayedh[30].
Ali kemudian mengumumkan sebuah koalisi baru yang dipimpin oleh partai islamis
moderat Ennahda yang sengaja dibentuk untuk meredakan gejolak dari oposisi. Dan
di masa pemerintahannya, Ali harus memimpin Tunisia menjelang dilaksanakannnya
pemilihan umum yang baru.
D.
Pengaruh Arab Spring terhadap Hubungan Diplomatik
Indonesia Tunisia
Setelah berakhirnya masa
gejolak Arab Spring di Tunisia, dimulailah masa transisi dan perbaikan
revolusi. Transisi Tunisia ke arah demokrasi tentunya memiliki pengaruh besar
terhadap masa depan hubungan diplomatik Indonesia Tunisia. Indonesia memberikan
dukungan penuh terhadap proses demokratisasi di Tunisia. Indonesia bahkan
membuka dialog khusus yang diselenggarakan oleh the Indonesian Institute for Peace and Democracy (IPD) yang
dilaksanakan di Jakarta 2012 lalu[31].
Agenda demokrasi sendiri merupakan bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia
sebagai upaya untuk menetralkan keadaan di Timur Tengah khususnya di Tunisia[32].
Pada 25 Mei 2011 saat pelaksanaan KTM Ke-16 GNB di Bali, Menlu RI mengadakan
pertemuan khusus dengan Menlu Tunisia[33].
Dalam pertemuan tersebut, Menlu RI menyampaikan dukungan terhadap proses reformasi
dan transisi demokrasi di Tunisia. Menlu RI juga meyakinkan bahwa terealisasinya
sistem demokrasi dalam pemerintahan Tunisia akan mendorong peningakatan
hubungan diplomatik kedua negara.
Pada 23 November 2014
lalu, Tunisia akhirnya melakukan pemilihan umum secara bebas untuk pertama
kalinya sejak kemerdekannya. Pemilihan umum tersebut akan menjadi awal baru
bagi Tunisia dalam menjalankan pemerintahan yang sarat akan kedaulatan rakyat. Terciptanya
pemerintahan yang demokratis di Tunisia diperkirakan akan dapat meningkatkan
hubungan diplomatik Indonesia Tunisia. Karena tingginya tingkat legitimasi
domestik dalam proses politik di negara demokrasi akan memiliki pengaruh yang kuat
terhadap politik luar negeri negara tersebut. Selain itu, hubungan luar negeri
antar negara demokrasi akan dapat meminimalisir atau bahkan menghilangkan
batas-batas perdagangan. Hal ini tentunya akan mendukung hubungan diplomatik
terutama di bidang ekonomi dan perdagangan bebas.
Negara-negara yang
terlibat dalam proses Arab Spring tentunya juga akan memiliki hubungan erat
dengan Tunisia apalagi jika proses demokratisasi di negara tersebut
terealisasikan dengan baik. Negara-negara Arab yang terlibat dalam Arab Spring diharapkan
akan menjadi negara demokratis yang nantinya akan terlibat dalam interdependensi
dan hanya akan memiliki kepentingan yang kecil untuk berkonflik. Selain itu,
Tunisia juga dapat menjadi jalur strategis bagi Uni Eropa. Tentunya hal ini
akan menjadi angin segar bagi Indonesia terutama dalam menjalin hubungan dagang
dan investasi di Tunisia.
Hubungan diplomatik
Indonesia Tunisia diprediksikan dapat menghasilkan positive sum game yang lebih besar daripada sebelumnya. Hal
tersebut ditandai dengan dibentuknya kesekapatan kerjasama dan investasi dalam Tunisia Indonesia Business Association
(TIBA) dan Indonesia Tunisia Business
Council (ITBC) yang diresmikan pada 12 dan 10 Juni 2014[34].
Peresmian kerjasama tersebut diresmikan oleh Menteri Perindustrian Energi dan
Pertambangan Tunisia, Kamel Ben Naceur dan Duta Besar RI untuk Tunisia, Ronny
P. Yuliantoro. Selain itu, Wakil Kementerian Luar Negeri RI dan Tunisia juga
hadir dalam peresmian kerjasama dan investasi tersebut. Langkah kerjasama dan
investasi ini merupakan respon positif pasca Arab Spring. Kerjasama ini dapat
memajukan volume perdagangan kedua negara yang pada 2013 lalu berkisar lebih
dari US$ 100 juta[35].
Kerjasama ini tentunya akan menjadi awal yang baik untuk membangun dan
mengembangkan kerjasama bilateral serta hubungan diplomatik yang lebih kuat
daripada sebelumnya.
BAB III
KESIMPULAN
Pasca Arab Spring yang
melanda Tunisia, muncul semangat pemerintahan baru yang sarat akan demokrasi. Setelah
melalui proses revolusi dan masa transisi, akhirnya Tunisia resmi menjadi
negara demokratis sejak pemilu 23 November lalu. Segala bentuk problema
pemerintahan sebelumnya yang cenderung otoriter akhirnya mulai diperbaiki dan
diganti dengan sistem yang demokratis. Berkaca pada keberhasilan Tunisia pasca
gejolak Arab Spring ini seakan menjadi angin segar bagi hubungan diplomatik
Indonesia Tunisia yang sebelumnya stagnan. Pemerintah Indonesia bahkan turut
memberikan dukungan penuh atas keberhasilan tersebut. Beberapa kerjasama di
bidang ekonomi yang sebelumnya mengalami stagnansi akhirnya mulai mengalami
peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan dibukanya kesepakatan dua investasi
besar yang mendukung kemajuan hubungan diplomatik Indonesia Tunisia. Dengan
efek demokrasi ini, diharapkan akan dapat melunturkan batas-batas perdagangan
sehingga dapat menghadirkan kerjasama dengan insentif yang tinggi. Dengan
keunggulan tersebut, maka kedua negara akan terlibat interdependensi yang dapat
meminimalisir konflik dan kerugian. Sehingganya, hubungan diplomatik Indonesia
Tunisia akan mengalami peningkatan dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kemlu Website. 2011. www.kemlu.go.id/Documents/PPTM%202012/DIPLOMASI%202011.pdf
(diakses 23 Desember, 2014).
Achy, Lahcen. Carnegie Middle East Center. 27
Desember 2011.
carnegie-mec.org/2011/12/27/tunisia-s-economy-one-year-after-jasmine-revolution
(diakses 31 Desember, 2014).
African Development Bank Group. Tunisia : Economic and
Social Challenges Beyond the Revolution. The views of the African Development
Bank, Tunis: Temporary Relocation Agency (TRA), 2012.
BBC Indonesia. 7 Februari 2013.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/02/130207_tunisi_belaid_pemerintahan_baru_new_government
(diakses 25 Desember, 2014).
BBC Indonesia. 23 Desember 2014. www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/12/141223_dunia_pemilu_tunisia
(diakses 27 Desember, 2014).
Bouazza, Bouazza Ben. The World Post. 13 Juni 2012.
www.huffingtonpost.com (diakses 4 Januari,
2015).
Decker, Gary. What's in a Revolution? The Timing of The
Tunisian Revolution. Student Field Trip to Tunisia, Johns Hopkins
University, 2012.
Eliraz, Giora. “Indonesian Democracy comes to Tunisia.” AIJAC.
19 Maret 2014.
http://www.aijac.org.au/news/article/indonesian-democracy-comes-to-tunisia
(diakses 27 Desember, 2014).
Hara, Abubakar Eby. Pengantar Analisis Politik Luar
Negeri : dari Realisme sampai Konstruktivisme. Bandung: NUANSA, 2011.
Hartawan, Tony. Tempo Website. 5 Agustus 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2014/08/05/119597503/Indonesia-Pindahkan-Fungsi-KBRI-Tripoli-ke-Tunisia
(diakses 23 Desember, 2014).
“Indonesia-Tunisia: Joint Study Group Bidang Ekonomi dan
Perdagangan.” Kemendag.
ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Bilateral/Kerjasama/Subdit%20Afrika%20&%20Timur%20Tengah/Indonesia-Tunisia.pdf
(diakses 25 Desember, 2014).
Kementeriaan Luar Negeri Republik Indonesia. 2011. http://www.kemlu.go.id (diakses 25 Desember, 2014).
Kristanti, Elin Yunita. Viva.co.id. 5 Februari 2011.
teknologi.news.viva.co.id/news/read/203031-uni-eropa-bekukan-aset--ben-ali-dan-kroninya
(diakses 31 Desember, 2014).
Portal Nasional Republik Indonesia. 12 Juni 2008.
http://indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-luar-negeri/303-provinsi-papua-ekonomi/1407-indonesia-dan-tunisia-sepakat-tingkatkan-hubungan-di-berbagai-bidang-?start=10
(diakses 23 Desember, 2014).
Saeno. Finansial. 14 Juni 2014.
http://finansial.bisnis.com/read/20140614/9/235877/asosiasi-pengusaha-tunisia-dan-indonesia-resmikan-forum-bersama
(diakses 1 Januari, 2015).
The Jakarta Post. 8 Juni 2010.
www.thejakartapost.com/news/2010/06/08/tunisia-a-potential-ri-'access'-point-european-market.html%20
(diakses 27 Desember, 2014).
Ungaro, Cosima, dan Paul Vale. “Arab Spring Timeline: 17
December 2010 to 17 December 2011.” The Huffington Post. 16 Desember
2011.
http://www.huffingtonpost.co.uk/2011/12/16/arab-spring-timeline-_n_1153909.html
(diakses 25 Desember, 2014).
VOA Indonesia. 9 Maret 2013.
http://www.voaindonesia.com/content/pm-tunisia-umumkan-pemerintahan-baru/1618282.html
(diakses 24 Desember, 2014).
[1] Portal Nasional Republik Indonesia. 12 Juni 2008. http://indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerian-luar-negeri/303-provinsi-papua-ekonomi/1407-indonesia-dan-tunisia-sepakat-tingkatkan-hubungan-di-berbagai-bidang-?start=10
(diakses 23 Desember, 2014).
[3] Ungaro, Cosima, dan Paul Vale. “Arab Spring Timeline:
17 December 2010 to 17 December 2011.” The Huffington Post. 16 Desember
2011.
http://www.huffingtonpost.co.uk/2011/12/16/arab-spring-timeline-_n_1153909.html
(diakses 25 Desember, 2014).
[5] Bouazza, Bouazza Ben. The World Post. 13 Juni
2012. www.huffingtonpost.com (diakses 4 Januari, 2015).
[6] Kemlu Website. 2011. www.kemlu.go.id/Documents/PPTM%202012/DIPLOMASI%202011.pdf
(diakses 23 Desember, 2014).
[7]BBC Indonesia. 7 Februari
2013. http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/02/130207_tunisi_belaid_pemerintahan_baru_new_government
(diakses 25 Desember, 2014).
[8] VOA Indonesia. 9 Maret 2013.
http://www.voaindonesia.com/content/pm-tunisia-umumkan-pemerintahan-baru/1618282.html
(diakses 24 Desember, 2014).
[9] BBC Indonesia. 23 Desember 2014.
www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/12/141223_dunia_pemilu_tunisia (diakses 27 Desember, 2014).
[10] Eliraz, Giora. “Indonesian Democracy comes to
Tunisia.” AIJAC. 19 Maret 2014.
http://www.aijac.org.au/news/article/indonesian-democracy-comes-to-tunisia
(diakses 27 Desember, 2014).
[12] Dalam hal Politik Luar Negeri, liberalisme sering dilihat menekankan aspek
domestik atau disebut juga inside-out
approach. Sehingga, perilaku negara dapat dijelaskan dengan memeriksa
pengaturan dan kondisi dari dalam negara (endogenous
arrangements). Selain itu, pilihan kerjasama ekonomi juga dapat mengurangi
konflik luar negeri dan memunculkan insentif materi yang bersifat possitive sum game. Menurut Keohane dan Nye, negara dengan sistem
liberal yang demokratis akan memperluas konsepsi kepentingan nasional yang
sempit sehingga akan melahirkan kerjasama yang interdependensi. Sebagaimana
yang dijelaskan dalam Hara, Abubakar Eby. Pengantar
Analisis Politik Luar Negeri : dari Realisme sampai Konstruktivisme.
Bandung: Nuansa, 2011.
[13]African Development Bank Group. Tunisia : Economic and
Social Challenges Beyond the Revolution. The views of the African
Development Bank, Tunis: Temporary Relocation Agency (TRA), 2012.
[15] Decker, Gary. What's in a Revolution? The Timing of
The Tunisian Revolution. Student Field Trip to Tunisia, Johns Hopkins
University, 2012.
[16] “Indonesia-Tunisia: Joint Study Group Bidang Ekonomi
dan Perdagangan.” Kemendag.
ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Bilateral/Kerjasama/Subdit%20Afrika%20&%20Timur%20Tengah/Indonesia-Tunisia.pdf
(diakses 25 Desember, 2014).
[17] Kemlu Website. 2011. www.kemlu.go.id/Documents/PPTM%202012/DIPLOMASI%202011.pdf (diakses
23 Desember, 2014).
[19] The Jakarta Post. 8 Juni 2010.
www.thejakartapost.com/news/2010/06/08/tunisia-a-potential-ri-'access'-point-european-market.html%20
(diakses 27 Desember, 2014).
[23] Kristanti, Elin Yunita. Viva.co.id. 5 Februari
2011.
teknologi.news.viva.co.id/news/read/203031-uni-eropa-bekukan-aset--ben-ali-dan-kroninya
(diakses 31 Desember, 2014).
[25] Achy, Lahcen. Carnegie Middle East Center. 27
Desember 2011.
carnegie-mec.org/2011/12/27/tunisia-s-economy-one-year-after-jasmine-revolution
(diakses 31 Desember, 2014).
[27] Kementeriaan Luar Negeri Republik Indonesia. 2011. http://www.kemlu.go.id (diakses 25 Desember, 2014).
[28] Hartawan, Tony. Tempo Website. 5 Agustus 2014.
http://www.tempo.co/read/news/2014/08/05/119597503/Indonesia-Pindahkan-Fungsi-KBRI-Tripoli-ke-Tunisia
(diakses 23 Desember, 2014).
[29] BBC, Log.Cit.
[30] VOA, Log.Cit.
[34] Saeno. Finansial. 14 Juni 2014.
http://finansial.bisnis.com/read/20140614/9/235877/asosiasi-pengusaha-tunisia-dan-indonesia-resmikan-forum-bersama
(diakses 1 Januari, 2015).
2 comments
good paper!keep writing about international relations things yaa ;)
BalasHapusyup, Thanks readers ^^
BalasHapus