Africa and The International System by : Christopher Clapham

By Meisarah Marsa, S.Sos - Juli 06, 2015

My Review
Christopher Clapham dalam bukunya Africa and The International System mencoba menganalisa cara kerja politik internasional dari sudut pandang negara dan beberapa kelompok di bawah kekuatan global. Hubungan internasional cenderung mengedapankan negara sebagai aktor dominan yang secara rasional memiliki kebijakan untuk menghindari perang, melakukan pengelolaan ekonomi global. Dalam tulisannya, Clapham berfokus pada kondisi selama Perang Dingin di mana dengan jelas menggambarkan hubungan antar dua negara adidaya dan menekankan pentingnya hubungan dengan negara – negara industri yang ada di Eropa. Sebagian besar negara – negara di dunia terutama dalam konteks Sub Sahara Afrika digambarkan sebagai negara yang miskin, lemah dan terbelakang. Di samping itu, politik internasional kemudian mempengaruhi masyarakat dan pemerintahan di Afrika.  

            Hubungan internasional dari negara – negara Afrika sebagian besar telah menjadi independen sejak 1960-an. Namun, banyak dari negara – negara tersebut baik secara militer maupun ekonomi tidak mampu mempertahankan kedaulatannya dari tantangan eksternal yang berkelanjutan. Banyak dari negara – negara tersebut menghadapi konflik internal. Sehingga terjadi dilema, yang mana di satu sisi Afrika menerima konsep negara bangsa Westphalia namun di sisi lain negara – negara ini mendapat pengakuan kedaulatan dari negara – negara besar yang notabenenya memiliki kepentingan sumber daya di Afrika. Sehingga dengan kata lain, telah terjadi pengalihan kekuasaan dari kolonialisasi oleh eksternal menjadi kolonialisasi yang dipegang oleh pribumi sebagai perpanjang tangan dari eksternal. Pengakuan ini bahkan diperpanjang dengan prinsip Westphalia dari ‘eius religio’ di mana penguasa harus diijinkan untuk menentukan agama negara.

            Permasalahan ini kemudian berujung pada konflik akibat perbedaan pendapat di antara negara – negara di Afrika. Sepertihalnya dalam krisis Kongo tahun 1960 atau perang sipil Nigeria tahun 1967 – 1970. Sehingga, penggunaan kekuasaan internasional dalam pengembalian status quo di perlukan untuk memperbaiki situasi dan keadaan melalui upaya konsensus. Namun, konsensus ini akhirnya dirusak bukan karena perubahan di tingkat internasional melainkan dari problematika politik dalam negeri. Akibatnya, jaminan perlindungan eksternal yang diberikan oleh konsensus internasional di negara – negara Afrika dialihkan dari negara ke perusahaan negara patron. Yang kemudian memberikan dukungan tertentu bagi rejim Afrika, terlepas dari manajemen internal mereka. Dukungan ini sangat penting dalam menjaga stabilitas sistem negara – negara Afrika secara keseluruhan.

            Kegagalan negara di Afrika telah mendahului transformasi sistem global. Hal ini pertama kali ditandai dengan pengalaman ekonomi yang sulit diatasi di hampir seluruh wilayah Afrika seperti krisis minyak. Kondisi ini kemudian diikuti dengan pecahnya oposisi bersenjata di sejumlah negara, yang terkadang sebagai akibat dari militerisasi masyarakat dan di sisi lain juga sebagai langkah destabilisasi yang sengaja diambil oleh rejim penguasa di Afrika. Krisis ini mulai mengakar sejak tingginya tingkat kerusakan ekonomi dan politik pada tahun 1980an. Di mana Uni Soviet sebagai negara adidaya collapse dan mulai menarik diri dari kerjasama ekonomi dengan beberapa negara di Afrika. Hal ini kemudian menyulut persaingan strategis antar negara – negara Barat dan lembaga – lembaga internasional yang menjadi strategi   rekonstruksi rasional. Sehingga, negara – negara di Afrika harus mengambil bentuk penyesuaian struktural yang mampu mengembalikan peran pasar untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politik negara – negara Afrika. Di bidang politik, negara – negara Afrika harus berupaya mengembalikan hubungan antara pemerintah dengan merealisasikan pemilu multi partai terbuka.

            Kondisi Afrika dalam dekade terakhir digambarkan Clapham dalam tiga karakteristik berdasarkan hubungan dengan dunia internasional. Pertama, negara – negara Afrika merupakan negara quasistatehood yang tidak mampu memertahankan kedaulatannya sendiri secara internal dan membutuhkan dukungan dari sistem internasional. Kedua, studi hubungan internasional perlu mengakui bahwa terdapat hubuangan politik dalam negara. Ketiga, kosep hubungan internasional yang mengedepankan interaksi antar negara perlu dilengkapi. Karena di Afrika, lambang kenegaraan berdaulat tidak ditunjukkan dengan keberadaan diplomat melainkakn melalui petugas bea cukai. 

            Menurut Clapham, negara – negara di Afrika harus menyusun mekanisme seperti mata uang nasional yang akan membantu mereka dalam proses transaksi. Selain itu, harus dilakukan kontrol terhadap penyelundupan karena dapat meruskan struktur negara baik secara ekonomi maupun politik. Namun, terjadang negara juga memiliki kontrol terhadap media sebagai sarana mempertahankan monopoli negara dan membatasi akses informasi yang dapat mengancam stabilitas politik. Hal ini merupakan sesuatu hal yang harus dihindari oleh negara karena dengan monopoli negara terhadap dunia informasi akan menjerumuskan negara sendiri ke dalam konflik. Hal ini akan membawa hubungan internasional negara Afrika menjadi statelessness yang berdampak tidak hanya pada pengelolaan sistem internasional tapi juga terhadap analisis hubungan internasional negara – negara Afrika.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments