Under the Emperor’s Neoliberal Clothes! Why the International Financial Institutions Got it Wrong in Tunisia by: Emma C. Murphy
By Meisarah Marsa, S.Sos - Juli 06, 2015
Reviewed by :
Meisarah Marsa
Tunisia
merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang sudah menerapkan ekonomi
liberal. Namun pada faktanya, liberalisme belum membawa pengaruh yang
siginifikan terhadap perkembangan di Tunisia. Hal inilah yang dikaji oleh Emma
Murphy dalam tulisannya “Under the Emperor’s Neoliberal Clothes! Why the
International Financial Institutions Got it Wrong in Tunisia”. Menurut Emma,
pemerintah Tunisia tidak berjalan sesuai dengan harapan agenda ekonomi
neoliberal, di mana seharusnya pemerintah mampu mensukseskan ekonominya
terutama setelah menerima bantuan dari International
Financial Institution (IFI) yaitu World Bank dan IMF.
Tahun
1970, Tunisia Telah menetapkan undang-undang tentang investasi yang dikenal
Infitah untuk mendorong pertumbuhan dengan melakukan ekspor. Namun, komitemn
politik menghambat pertumbuhan yang akhirnya menyebabkan krisis. Pada tahun
1986, pemerintah Tunisia di bawah rejim Ben Ali mulai beralih ke IMF dan WB
untuk menupang perekonomian negara setelah krisis. Secara keseluruhan, Tunisia
dianggap telah membuat kemajuan luar biasa terhadap tingka pertumbuhan ekonomi,
memerangi kemiskinan, dan mencapai indikator sosial yang baik. sebagaimana
laporan IMF tahun 2007. Meskipun pertumbuhan ekonomi makro relatif mengesankan
namun hal ini belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan pengangguran dan
sejumlah pasokan kebutuhan yang diimpor.
Pada
pelaksanaanya sebelumnya, IMF dan WB tidak menyadari tantangan lain yang
dihadapi oleh Tunisia. Keduanya hanya fokus pada penyesuaian kebijakan
berdasarkan narasi pemerintah rejim Tunisia. Sehingga tidak mengherankan jika
pemerintah rejim Tunisia sangat ingin menunjukkan kesesuaian dengan agenda
konsensus dengan IFI. Dengan berfokus pada gambaran nasional dan ekonomi makro,
IFI kehilangan detail mengenai tantangan yang sebenarnya di hadapi oleh Tunisia.
Yang mana tantangan ini cukup pentingan dan berdampak pada perekonomian
Tunisia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja IFI pada awalnya telah
memberikan dukungan untuk program reformasi ekonomi di Tunisia. Namun dukungan ini
hanya berfokus pada: Pertama,
ketergantungan pada indikator makroekonomi sebagai gambaran nasional yang pada
kenyataannya menyamarkan ketidakseimbangan, ketimpangan, dan distorsi yang ada.
Kedua, kinerja Tunisia dianggap relatif
terhadap konteks regional.
Kinerja
Tunisia sejatinya tidak berjalan sesuai dengan agenda ekonomi neoliberal. Di
mana IFI sebagai institusi ekonomi dunia kecolongan dengan tindakan rejim
Tunisia. Pengangguran dan kemiskinan
hampir tidak dicatat. Selain itu, telah terjadi reformasi kinerja ekonomi yang disiasati
oleh pemerintah untuk kepentingan pribadi mereka sendiri. Bahkan kehadiran IFI
secara tidak langsung telah mendukung rezim dan memberikan kontribusi terhadap
kepentingan mereka.
Emma
mengambil satu kasus utama yang hampir luput dari pandangan IFI yaitu
keimiskinan. Faktor kemiskinan dipengaruhi oleh kenaikan harga terutama harga
makanan dan bahan bakar. Harga makanan di Tunisia telah menukik tajam sejak
tahun 2008 yang disebabkan oleh permintaan pangan global. Meskipun pemerintah
menerapkan subsidi untuk menarik konsumen demi keuntungan pribadi, pemerintah
juga melakukan impor yang semakin meningkat. Tidak hanya dari segi makanan,
pemerintah juga mengimpor energi. Namun ketika terjadi kenaikan harga energi
dan pangan global, pemerintah Tunisia tidak mampu menutupi kerugian yang ada
akibatnya pemerintah menyuntikkan stimulus fiskal dalam ekonomi untuk
mengimbangi kesulitan. Inflasi pun meningkat di Tunisia dari 2,7% pada tahun
1999 menjadi 4,5% pada tahun 2010. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya
pelayanan pemerintah terhadap jaminan sosial.
Menurut
laporan pengembangan MENA pada tahun 2009, pertumbuhan sektor swasta Tunisia
mengalami kesulitan yang sama dengan negara di Timur Tengah lainnya. Penyebab
rendahnya pertumbuhan sektor swasta adalah adanya korupsi, nepotisme, bribey,
lobi, penghindaran pajak, dan tata kelola non transparan. Pemerintah mencegah
pengeluaran yang banyak dengan mengakali proses penyesuaian struktural dan
program reformasi pemerintah yang dirancang khusus sebelum penegasan oleh IFI. Aspek
lainnya yang harus diperhatikan oleh IFI adalah adanya privatisasi
besar-besaran oleh individu untuk memperbanyak kekayaan pribadi dalam bentuk
bisnis. Pada Desember 2009, sebanyak 219 perusahaan telah diprivatisasi. Dalam
hal ini, IFI mengisyaratkan komitmen yang jelas dalam kepemilikan perusahaan.
Karena dalam hal ini, pemerintahan rejim Tunisia mengorbankan sektor swasta
yang asli dan memprivatisasinya atas nama negara namun dibisniskan oleh
individu. Hal ini kemudian memberikan peluang terhadap pertumbuhan korupsi
ditubuh pemerintahan. Dan IFI gagal dalam melihat aspek ini. Hal ini kemudian
diungkap dengan jelas oleh Wikileaks US yang menceritakan bagaimana nepotisme
dan korupsi mengakar melalui kebijakan ekonomi dan realisasi kehidupan
sehari-hari.
Dapat
disimpulkan bahwa, IFI pada awalnya memberikan konstribusi terhadap pembangunan
Tunisia. Namun selama prosesnya, IFI tidak menyadari tantangan sebenarnya yang
dihadapi oleh Tunisia karena fokus pada aspek makroekonomi dan narasi data yang
dirancang oleh rejim Tunisia. Akan tetapi Emma menekankan bahwa IFI bukanlah
agen politik yang memiliki hak untuk menegakkan demokrasi liberal, ia hanya
bank finansial yang membantu suatu negara untuk pengembangan tanpa melihat
sistem politik negara tersebut. Namun setelah melihat pada kenyataan yang ada,
Emma berpendapat bahwa strategi kemitraan negara sangat diperlukan oleh IFI
salah satunya yaitu peka terhadap politik yang ada. Di mana WB maupun IMF tidak
hanya berfokus pada peminjaman saja nmun juga lebih sensitif terhadap kondisi
sosial dan transparansi pemerintahan. Selain itu, untuk mencegah kerugian yang
lebih Tunisia harus kembali transparan, terbuka terhadap perdagangan bebas dan
FDI, penargetan ketat subsidi, serta mengurangi intervensi pemerintah.
0 comments