An Introduction to African Politics by: Alex Thomson

By Meisarah Marsa, S.Sos - Juli 06, 2015

Reviewed by me
            
                Afrika merupakan sebuah benua dengan 53 negara merdeka yang unik dan memiliki sistem politik tersendiri. Menurut Alex dalam bukuna Sebuah Pengantar Politik Afrika menawarkan pendekatan komparatif untuk menganalisa politik negara – negara Afrika. Dalam bukunya, Alex Thomson melakukan identifikasi umum tentang karakteristik politik di Afrika. Buku ini dapat menjadi sumber dasar bagi mereka yang tertarik dengan politik pasca kolonial di Afrika.
            Politik di Afrika tidak dapat dijelaskan hanya dengan satu sistem tunggal saja. Hal ini dikarenakan keunikan masyarakat Afrika yang diwakili dengan kepentingan kelompok yang beragam. Kepentingan ini akan mempengaruhi bagaimana asosiasi hubungan antar negara dengan masyarakat sipil. Namun, kepentingan antara negara dengan sipil tidak berimbang, di mana negara terkadang tidak responsif terhadap tuntutan masyarakat sipi. Hal inilah yang kemudian memicu penentangan otoritas negara oleh masyarakat sipil. Selain itu, faktor sejarah dan ekonomi juga sangat berpengaruh dalam menjelaskan permasalahan politik yang terjadi di Afrika. Negara – negara di Afrika memiliki kinerja ekonomi dan politik yang tidak stabil. Hal ini kemudian menjadi perdebatan para analis dalam melihat dampak positif dan negatif terhadap Afrika. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat campur tangan pihak asing seperti organisasi internasional, perusahaan transnasional dalam memainkan peran perkembangan politik pasca kolonial di Afrika.
            Dalam bukunya, Thomson mengemukakan pendekatan terhadap tiga aktor yang berbeda yaitu negara, masyarakat sipil, dan kepentingan eksternal. Yang mana ketiganya saling kompleks dan mengakibatkan kerenggangan hubungan antara negara dengan masyarakat sipil Afrika di beberapa dekade pertama pasca kemerdekaan Afrika. Dan kemudian di akhir 1980-an, negara - negara Afrika mulai bergeser ke dalam pemilu multi partai, di mana masyarakat sipil mulai membangun hubungan yang lebih menguntungkan dengan negara. Hubungan ini menjadi kajian yang menarik bagi para ilmuwan karena sebelumnya selama periode awal pasca kolonial hubungan negara dengan masyarakat sipil sangat renggang. Kerenggangan ini dapat disebabkan akibat kegagalan upaya negara yang mencoba menekan dan mendominasi masyarakat sipil. 
            Dekolonisasi oleh kerajaan Eropa pada sebagian besar kasus di wilayah Afrika mampu digulingkan secara kolektif. Hal ini dikarenakan menguatnya rasa nasionalisme antar kelompok, etno regional, serikat pekerja, msyarakat profesional dan masyarakat organisasi. Sehingga, ikatan etnis menjadi ikatan sosial yang terkuat selama era kolonial yang kemudian menjadi sumber mobilisasi kekuatan nasional untuk menggulingkan kolonialisme Eropa yang telah berkuasa selama 70 tahun atau lebih. Namun pada saat kemerdakaan, negara – negara Afrika menjadi lemah. Dampak warisan kolonial yang meninggalkan batas wilayah yang sewenang – wenang mendorong terjadinya konflik dan melahirkan keterbelakangan. Di mana hal ini juga didukung dengan ketidakmampuan negara dalam mengelola ekonominya yang hanya bergantung pada sumber daya alam yang terbatas. Lemahnya politik negara tersebut juga dibuktikan dengan lemahnya legitimasi politik. Pemerintah negara Afrika yang kurang mampu menyediakan kebutuhan publik menjadi hambatan dalam perkembangan politik di Afrika. Hal ini kemudian diperparah dengan alat kelembagaan yang dibangun di atas pondasi politik yang lemah. Selain itu, budaya politik demokrasi dan pluralisme tidak diwariskan oleh kekaisaran Eropa. Sehingga tidak mengherankan bahwa negara – negara Afrika tidak mewarisi demokrasi liberal segera setelah kemerdekaan. Akibatnya, pemimpin politik memilih untuk memerintah melalui lembaga – lembaga yang lebih terpusat yang dinilai dapat menjadi strategi dalam upaya penyatuan masyarakat sipil dan pembangunan ekonomi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Afrika jatuh ke dalam sistem satu partai.
            Dalam era pemerintahan terpusat, pluralisme politik dibatasi. Akibatnya, banyak lembaga  masyarakat sipil yang terkooptasi, dilecehkan, bahkan dilarang. Pemerintah daerah juga menjadi perpanjangan tangan dari arahan pemerintah pusat, perusahaan publik didominasi oleh pemerintah pusat, kegiatan ekonomi diperkecil di sektor swasta, parlemen dan peradilan dirampas oleh eksekutif. Di mana kemudian, pihak eksekutif memiliki monopoli atas sebagian besar bahkan seluruh kegiatan politik. Sehingga, tidak ada mekanisme konstitusi yang dapat membatasi kekuatan eksekutif. Masyarakat sipil bahkan dikeluarkan dari proses politik. Kekuatan militer paling diuntungkan sebagai upaya meredam konflik internal. Hal ini kemudian membuat sebagi masyarakat sipil memilih untuk memisahkan diri dari arena politik dan terpaksa menerima kebijakan elit penguasa. Sehingga,  kepemimpinan menjadi sangat stabil di Afrika pasca kolonial selama para ‘Big Men’ berkuasa seperti Mobutu, Gaddafy, Kaunda, Moi, dan Houphouet Boigny yang hampir menjadi penguasa permanen dalam lanskap politik di  beberapa negara Afrika.    
            Dalam perjalanan politik, terdapat kerusakan serius akibat sentralisasi sehingga perlu ditemukan sumber legitimasi yang dapat memperkuat dan mempertahankan kekuasaan politik yang ada. Kebijakan patronase kemudian dijadikan sebagai upaya untuk ‘membeli’ legitimasi rakyat dengan imbalan distribusi barang dan jas kepada masyarakat sipil. Namun, kebijakan patronase ini tidak menutup peran kekuatan eksternal. Di mana kekuatan eksternal turut memastikan bahwa elit negara memperoleh akses ke sumber daya yang tersedia. Hal inilah yang menjadi landasan hubungan inetrnasional negara – negara Afrika dengan dunia internasional. Para pejabat pemerintah kemudian mengambil keuntungan melalui perdagangan dan bantuan dari pihak eksternal. Sehingga, penguasa sekana memperoleh imbalan yang lebih bear untuk melayani kepentingan masyarakat internasional dibandingkan dengan masyarakat domestiknya.  Di mana pada masa perang dingin, pihak eksternal merasa prihatin dengan kondisi Afrika selama aset SDA dipegang oleh elit penguasa.
            Pada akhir perang dingin dan dimulainya ‘New World Order’, bantuan internasional mulai berdatangan ke Afrika. Namun, pada saat yang sama terjadi krisis terhadap masalah ekonomi dengan berkurangnya pasokan SDA. Klien eksternal mulai mempertimbangkan kontrak patronase. Afrika kemudian mencapai masa krisis politik di mana legitimasi patronase mulai menampakkan kegagalan. Situasi semakin diperparah dengan tidak adanya mekanisme konstitusi yang memungkinkan relegitimasi sistem politik. Dalam beberapa kasus, negara mampu menekan kudeta namun dalam kasus lainnya otoritas negara mulai digulingka oleh sipil.
            Beberapa rejim berhasil mengatasi kudeta dengan mencoba merelegitimasi kekuasaan politik dengan menginisiasi kompetisi multi partai. Multi partai kemudian mulai marak di tahun 1990an. Namun tidak dipungkiri, beberapa Big Men tewas dalam masa transisi ini. Mereka yang selamat mencoba mengkonsolidasikan popularitas di antara para pemilih atau memanipulasi pemilu. Hal ini memberikan keuntungan kepada masyarkat sipil, di mana pemerintah kemudian lebih bertanggung jawab kepada rakyat mereka, lembaga pemerintah juga sudah mulai dipulihkan. Masyarakat sipil kemudian diizinkan untuk berpartisipasi dan turut terlibat dalam proses politik di Afrika. Untuk mempertahankan kondisi yang semakin stabil, Thomson menyarankan agar indikasi otoritarianisme dalam pemilu perlu diubah menjadi efisien dalam bentuk pemerintahan perwakilan. Karena hasil pemilu menjadi kemenangan tetap yang dapat membawa manfaat dari proses politik ke depannya.


  • Share:

You Might Also Like

1 comments

  1. Selamat pagi kak, saya mau bertanya kak, didalam buku Alex Thomson an introduction to African politic ini disini saya mau bertanya dampak politik, ekonomi dan sosial Dari batas-batas teritorial negara yang diciptakan Oleh penjajah ( bangsa Eropa) di Afrika. Mohon bantuan nya kak. Terimakasih 🙏

    BalasHapus