Voting System
|
Varian of Voting System
|
Parliaments and Local Councils
|
Sistem Pemungutan Suara
|
Political Impact
|
Plurality Systems
|
First
Past The Post
|
kandidat
yang mendapatkan suara terbanyak akan dipilih
|
||
Block
Vote
|
Senate
|
kandidat
dengan suara tertinggi
akan
dipilih, terlepas dari jumlah persentase suara
|
Ada
kecenderungan bahwa pemilu akan dimenangkan oleh partai yang sama.
|
|
Cumulative
Vote
|
Norfolk
Island Legislative Assembly
|
Pemilih
memiliki number of vote yang sama.
Pemilih dapat memberikan satu suara untuk masing-masing calon, atau
memberikan dua suara untuk calon yang berbeda. kandidat dengan suara
tertinggi
akan
dipilih, terlepas dari jumlah persentase suara.
|
||
Majority Systems
|
Contingent
Vote
|
Queensland
Legislative Assembly
|
Pemilih
diminta untuk mengurutkan kandidat berdasarkan preference. Jika tidak ada kandidat yang mendapatkan suara mutlak
dari preference pertama maka semua
kandidat kecuali 2 kandidat utama dihilangkan dari penghitungan dan suara yang
mereka dapatkan dialihkan pada 2 kandidat yang meraih jumlah suara mayoritas.
|
|
Second
Ballot
|
New
South Wales Legislative Assembly (1980-1918)
|
Sistemnya
tidak jauh berbeda dengan First Past the Post. Namun, jika tidak ada kandidat
yang menerima jumlah suara mutlak (lebih dari 50%), maka dilakukan pemungutan
suara kedua antara dua kandidat yang menerima perolehan suara tertinggi,
digelar selama 7 hari setelah pemilu
|
||
Preferential
Voting (multi-member electorates)
|
Legislative
Assembly,
Local Councils, House of Representatives, and senate (1919-1946)
|
Kandidat
ditempatkan secara vertikal pada surat suara. Posisi senat pertama diisi
setelah penghitungan preferential
voting biasa. Posisi senat kedua diisi setekah penghitungan preferential voting dengan
menghilangkan kandidat yang menempati posisi senat pertama. Terus dilanjutkan
hingga penghitungan posisi senat ketiga.
|
salah
satu pihak cenderung
memenangkan
semua kursi yang diperebutkan
|
|
‘Full’
Preferential Voting
|
House
of
Assembly,
House of Representatives
|
A single count à Jika kandidat dengan preference 1 menerima lebih dari 50%,
maka kandidat tersebut terpilih.
More than one
count à jika tidak
ada kandidat yang menang berdasarkan single
count maka, 1) kandidat dengan penilaian paling sedikit dikeluarkan dari
hitungan, 2) penilaian kandidat ini akan ditransfer ke kandidat lainnya
sesuai dengan kandidat pilihan kedua yang ditulis di kertas kandidat yang
dikeluarkan, 3) Jika hal ini masih belum menghasilkan kandidat dengan vote lebih dari setengahnya, maka
terus dilanjutkan ke preferences
selanjutnya hingga ada satu kandidat yang menerima lebih dari setengah dari
total jumlah votes.
|
1)lebih
menguntungkan partai besar, karena partai kecil sulit untuk meraih suara di
atas 50%. 2) berdasarkan single member
electorate, partai yang menang belum tentu berhasil menjalankan
pemerintahan. 3) jumlah kursi yang diperoleh tidak seimbang akibat adanya
kemenangan suara mayoritas (the winner'dalam
single member electorate 4)
menghasilkan three cornern contest
5) Partai politik berusaha untuk menggunakan banyak kontrol agar mereka dapat
mempengaruhi voters misalnya
melalui ‘the how-to-vote card’
|
|
‘Optional’
Preferential Voting
|
Dalam
Tasmanian Legislative Council, pemilihan Optional Preferential Voting
dibatasi sebagai berikut : 1) jika ada 2 atau 3 kandidat dalam surat suara,
preferensi harus diberikan kepada masing-masing kandidat. 2) tetapi jika ada
lebih dari 3 kandidat, maka pemilih bebas untuk memilih kandidat-kandidat
tersebut. Sebaliknya, ketika voting New South Wales or Queensland Legislative
Assembly, pemilihan Optional Preferential Voting tidak dibatasi, dengan
ketentuan sebagai berikut : 1) suara hanya untuk satu kandidat, mengkosongkan
semua kotak lainnya (plumping), 2) memberikan preferensi kepada sebagian
kandidat, 3) memberikan preferensi kepada semua kandidat
|
1)memungkinkan
bagi kandidat pemenang untuk mendapatkan suara kurang dari setengahnya. 2)
Dalam pemilihan Queensland 2004 dan 2007, Partai Buruh meminta pendukungnya
untuk just one vote. Pemilih Buruh diminta untuk memberikan pilihan pertama
mereka, dengan tidak ada preferensi yang diberikan kepada calon lainnya. Hal
ini dilakukan karena para buruh berusaha untuk meminimalisir kerugian
|
||
Proportional systems
|
Proportional Representation (Senat
Model)
|
senate
|
Sistem
ini ditemukan untuk menghasilkan hasil pemilihan yang proporsional dimana
partai harus memenangkan kursi parlemen dalam proposi ukuran vote mereka. Idealnya 50% vote harus memenangkan 50% kursi. Masing-masing negara dan teritori bertindak
sebagai single atau multi member dalam pemilihan senat.
-
Dalam pemilihan suatu half senate, terdiri dari 6 perwakilan masing-masing negara dan 2
perwakilan dari masing-masing teritori.
-
Sedangkan dalam pemilihan full senate terdiri dari 12 senator yang dipilih dari setiap
negara bagian dan 2 perwakilan dari teritori.
Seorang
pemilih diharuskan untuk memilih above or below the line
|
1)‘Safe’
seats memberikan peluang kepada 2
kandidat dari setiap koalisi untuk mendapatkan 2 kursi. 2) kesempatan untuk
meraih total suara yang lebih kecil / <50% memungkinkan partai kecil untuk
berkompetisi. 3) Control of the Senate
tidak hanya dapat dilakukan oleh partai besar saja, tapi juga partai kecil
|
Proportional
Representation (List – Modified d'Hondt) / Hare-Clerk system
|
house
of assembly di tasmania dan legislative assembly ACT
|
-
Proses penghitungan suara & quota
dikalkulasikan dalam cara yang sama seperti pemilihan senat.
*Tasmania
memiliki lima House of Assembly dibawah sistem hare-clark. ACT memiliki one
seven-member electorate and two five-member electorates.
*Tidak
memiliki garis horizontal dalam kertas suara senat. Kandidat partai
ditempatkan dalam grup vertikal yang terpisah dengan ungrouped kandidat dalam
kolom yang terletak di sebelah kanan.
*Di
tasmania, voter harus menandai
preferencenya pada minimal 5 kandidat atau lebih. Tasmanian electoral law
melarang siapapun untuk meminta dukungan suara,memohon suara dari elector
atau melakukan upaya yang mengakibatkan elector tidak memilih untuk kandidat tertentu
dalam radius 100 meter di tempat pemungutan suara. Sehingga tidak ada ‘how to
vote cards’ dimanapun pada hari
pemilihan untuk tasmanian house of assembly.
|
1)menghasilkan
Minority governments, 2)kurangnya above the line, ketiadaan sistem
how-to-vote cards dan the rotation of party names menjadikan hasil
perhitungan sulit diprediksi, 3) Kandidat partai lebih rentan diserang
dibandingkan dalam pemilihan senat, 4)
Kurangnya rasa keamanan bagi setiap kandidat menyebabkan setiap kandidat
bersaing mendapatkan suara bukan hanya dengan partai lawan mereka namun
jugadengan anggota sesama partai.
|
Lao National Accreditation Bureau Undergoes Training to Enhance Capabilities on Friday, 19 September 2014. Posted in ASEAN Secretariat News
By Meisarah Marsa, S.Sos - Oktober 25, 2014
Sebuah
pelatihan khusus berlangsung di Vientiane pada 15 – 17 September 2014 untuk
meningkatkan kredibilitas Badan Akreditasi Nasional Lao (LNAB). Pelatihan ini
difokuskan untuk pengelolaan akreditasi yang disesuaikan dengan tujuan ASEAN
untuk meningkatkan kualitas standar produksi di negara Kamboja, Laos, Myanmar,
dan Vietnam.
Pelatihan
diberikan kepada 16 staf LNAB yang dibentuk oleh Departemen Standarisasi dan
Metrologi (DSM) dari Lao PDR. Pelatihan tersebut membahas isu-isu terkait
seperti prinsip-prinsip penilaian standar akreditasi dan sistem manajemen.
Jerman
juga memberikan konstribusi untuk memperkecil kesenjangan pembangunan yang
terjadi di negara-negara ASEAN, terutama di negara Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.
Dukungan Jerman ini direalisasikan di bawah lingkup kerjasama ASEAN’s Consultative Committee on Standards
and Quality (ACCSQ). Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
infrastrukur di ASEAN dengan bantuan dana dari Kementrian Federal untuk
kerjasama ekonomi dan pembangunan.
Mengingat
program AEC 2015 semakin dekat, maka dibutuhkan kesiapan yang matang. Dilihat
dari kredibilitas dan kemampuan negara-negara anggota ASEAN terhadap
peningkatan standar internasional masih kurang. Sejak dibentuk tahun 1992, ASEAN Consultative Committee on Standards
and Quality (ACCSQ) menjadi lembaga
sertifikasi di ASEAN yang dicanangkan untuk memfasilitasi dan membantu negara
anggota ASEAN terkait masalah akreditasi dan standar produksi.
Pada tahun 2010, hanya 6 negara anggota ASEAN
yang memiliki standar akreditasi internasional yang dibutuhkan untuk
meningkatkan mutu ASEAN. Ke enam negara tersebut antara lain :
1.
National
Accreditation Body of Indonesia (KAN)
2.
Standards
Malaysia (SM)
3.
Philippines
Accreditation Office (PAO)
4.
Singapore
Accreditation Council (SAC)
5.
National
Standardization Council of Thailand – Office of The National Accreditation
Council (NSC – ONAC)
6.
Bureau
of Accreditation (BoA), Vietnam
Dan baru-baru ini, Brunei mengadakan
kerjasama dengan Singapura dalam menetapkan standar akreditasi. Selain Brunei, Lao
juga membentuk badan akreditasi yaitu Lao National Accreditation Board (LNAB). Sedangkan
tiga negara anggota ASEAN lainnya belum memiliki badan akreditasi nasional.
Sehingga sangat disayangkan apabila masih ada negara ASEAN yang belum membentuk
badan akreditasi nasional. Badan akreditasi nasional memiliki peran yang sangat
penting dalam mencerminkan kredibilitas suatu negara dalam pembangunan.
Adanya pelatihan yang diadakan di Vientiane,
Lao menjadi suatu langkah yang sangat baik bagi perkembangan dan kemajuan
ASEAN. Di mana Bureau of Accreditation (BoA) Vietnam bekerjasama dengan Lao
National Accreditation Board (LNAB) dalam melakukan pelatihan terhadap
peningkatan kualitas standar produksi di negara anggota ASEAN yang masih belum
memiliki badan akreditasi nasional yaitu Kamboja dan Myanmar.
Pelatihan ini merupakan realisasi dari
kesepakatan ACCSQ dengan dukungan dari mitra ASEAN seperti PTB (Jerman), US,
Uni Eropa dalam menyediakan teknis bantuan dan kapasitas proyek pembangunan
untuk negara CLM (Kamboja, Laos, dan Myanmar). Dengan adanya pelatihan ini maka
secara tidak langsung, persiapan menuju AEC 2015 akan sedikit lebih matang
meskipun perlu sosialisasi lanjut dan persiapan lain yang harus lebih
dioptimalkan dan disesuaikan dengan standar produksi. Karena tujuan AEC sendiri
tidak lain adalah “single market and single production base”. Di mana
dibutuhkan kesiapan yang matang untuk meningkatkan kredibilitas standar
produksi agar dapat menciptakan ‘single market’ yang berkualitas.
Whither Political Islam? Understanding the Modern Jihad
By Meisarah Marsa, S.Sos - Oktober 25, 2014
Serangan 11
September 2001 yang lalu telah mengundang banyak perdebatan. Berbagai argumen
yang berbeda di tunjukkan melalui cullture
talk. Para ahli seperti Samuel Huntington dan Bernard Lewis menyetujui
bahwa agama merupakan pengontrol budaya dan politik apalagi jika agama tersebut
dikaitkan dengan fundametalism yang dipandang sebagai pemicu pergerakan ‘Islamic
violence’.
Oliver Roy yang merupakan
seorang ahli yang meneliti tentang jihad modern melihat kondisi sosial sebagai pengaruh yang cukup
penting. Berdasarkan pemikiran dan pergerakannya, Islam menolak pendekatan
kulturalis yang menilai Islam sebagai sebuah isu yang dikaitkan dengan aksi bom
bunuh diri dan jihad. Sehingga, Roy memiliki pandangan bahwa Al-Qur’an
merupakan sesuatu yang penting menurut penuturan muslim. Sehingga tidak
mengejutkan bahwa mereka yang muslim tidak setuju dengan penekanan bahwa
Al-Qur’an adalah sesuatu yang ambigu dan tidak jelas. Oleh karena itu, tidak
jauh berbeda dengan pandangan para budayawan (kulturalis), Roy lebih memandang Islam
sebagai sebuah politik dan doktrin daripada sebuah perlakuan kultural
(kebudayaan).
Berbeda dengan
Roy, Gilles Kepel mencoba untuk memahami Islam berdasarkan sejarah politik Islam.
Di mana Kepel mengambil 2 pemikiran radikal Islam yaitu Salafi dan Wahabi yang
lebih beraliran politik Ikhwanul Muslimin. Kedua pemikiran ini kemudian
menghasilkan sebuah ideologi yang diidentifikasikan dengan Osama bin Laden. Berdasarkan
sejarah pada awal abad 19, kaum Wahabi (yang merupakan para penganut pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab) beraliansi dengan Kerajaan Saud dengan imbalan
penyebaran ideologi Wahabisme di wilayah otoritas Raja Arab Saudi, Muhammad bin
Saud. Proyek ini gagal karena tidak dapat membendung invasi Ottoman tahun 1818.
Wahabbi mengandalkan Ikhwanul Muslimin yang merupakan milisi agama Raja Saud bersama
dengan Inggris yang pada saat itu menduduki wilayah Arab peninsula untuk
mempertahankan Arab Saudi dari serangan musuh. Pada masa Ronald Reagan disaat
AS menggantikan posisi Inggris sebagai partner utama kerajaan, AS mendukung dan
kemudian menjadikan Wahabbi sebagai teologi pembebasan untuk menghambat pergerakan
komunisme.
Pada sejarah
selanjutnya, tercatat bahwa adanya pergerakan dari Ikhwanul Muslimin yang
menginginkan dibentuknya negara Islam di Mesir dan menjadikan Al-Qur’an sebagai
konstitusi. Untuk merealisasikan tujuannya, Ikhwanul Muslimin kemdian mengikuti
Gamal Abdul Naser untuk melakukan revolusi menumbangkan rejim Farouk pada tahun
1952. Tidak hanya di Mesir, pergerakan tersebut kemudian merambah ke Irak dan
Suriah, keadaan ini memicu arus pengungsi ke Arab Saudi tahun 1970an.
Pergerakan Ikhwanul Muslimin
terus berlanjut dengan bergabung bersama organisasi pembebasan Palestina dan
lambat laun mengambil alih posisi Arab Saudi dengan membentuk kebangkitan
politik dan agama di negara itu pasca revolusi Iran tahun 1979. Hal tersebut
ditunjukan dengan adanya serangan terhadap Mesjid Agung di Mekah pada tahun itu.
Kejadian tersebut membuat pergerakan Wahabi semakin dicurigai.
Agama kemudian dipandang
sebagai pemicu munculnya pergerakan Islam radikal seperti revolusioner Iran
yang beraliran Syiah dan sangat menentang AS. Seorang berkebangsaan mesir
bernama Ayman Al-Zawahiri yang merupakan tangan kanan tokoh jihadis dunia Osama
bin Laden, mengungkapkan bahwa penggunaan terorisme untuk tujuan politik Islam
dianggap sah untuk menyerang barat. Zawahiri juga menganggap serangan bunuh
diri oleh mujahidin sebagai salah satu serangan yang efisien dan dapat
menimbulkan kerugian di pihak lawan. Selin itu, jihad global saat ini diatur
dalam metode dan strategi perekrutan yang terorganisir dengan memanfaatkan internet
dan jaringan media. Sepertihalnya Al-Qaeda yang merupakan sebuah organisasi
teroris yang modern dan inovatif.
Tidak seperti yang
digambarkan oleh para budayawan kebanyakan yang memandang Osama bin Laden
sebagai bagian dari Saudi Wahabisme, Kepel menggambarkan Laden sebagai produk
hybrid dari beberapa tradisi intelektual. Kepel tidak sepenuhnya bebas dari
aspek culture talk, dia cenderung menghubungkan
alasannya dengan barat, sebuah doktrin yang diyakini Kepel berdasarkan pada
ungkapan Mohammed Atta yang mengatakan bahwa adanya janji taman surga bagi
mereka yang berjihad. Kepel juga menggambarkan Al-Qaeda sebagai kelompok
neokonservatif yang dianggapnya sebagai produk dari perang dingin.
Berbeda dengan rasisme dan
imigran Eropa yang sebelumnya berupaya untuk mendirikan dan membangun sebuah
negara sendiri sepertihalnya sejarah dan perkembangan Yahudi. Meskipun Islam
berkembang di Eropa tapi Kepel tidak melihat Islam sebagai subjek aktif yang
ingin mendirikan sebuah negara baru. Bagaimana interaksi muslim dengan non
muslim (barat) diartikan Kepel sebagai suatu bentuk peradaban. Sederhananya, Kepel
tidak mampu memahami Muslim secara
historis karena analisis historis kepel
ini justru dipengaruhi oleh argumen sosiologis Roy.
Roy
melihat penyebaran Islam hari ini sebagai :
a.
Konsekuensi dari perubahan sosiologis
b.
atau sebagai konsekuensi sejarah langsung dari
kebijakan Saudi dan dukungan Reagan untuk proyek Wahhabi
Roy menilai Islam saat ini lebih sekuler
atau lebih tepatnya ‘fundamentalisme’. Roy menanggapi kekerasan yang
dimunculkan oleh muslim merupakan pengaruh faktor politis dan bukan inspirasi
agama. Hal ini dikarenakan adanya pentargetan World Trade Center dan Pentagon
oleh para jihadis. Sehingga Roy berargumen bahwa Islam saat ini berperang
melawan imperialisme modern.
Islam kini dipandang sebagai suatu
kelompok neofundamentalist. Di mana menurut Roy, masyarakat muslim saat ini
sudah tidak lagi memegang prinsip tradisional nya seperti rukun Islam namun
lebih ke arah proyek politik. Proyek politik ini dinilai Roy sebagai prinsip
neofundamentalist yang justru mengarahkan masyarakat muslim menjadi lebih
sekuler dan radikal. Di mana muslim bergerak melawan barat. Umat muslim tidak
lagi terikat oleh solidaritas tradisional namun merupakan dampak dari adanya
dekonstruksi politik yang diciptakan bersama untuk menentang barat. Roy melihat
pergerakan umat Islam sekarang tidak jauh berbeda perannya seperi kaum proletar
pada tahun 1960.
Pada akhirnya, argumen Roy dan Kelep TIDAK DAPAT menjelaskan ideologi jihad Islam. Di mana Kepel menolak untuk
menghubungkan faktor sejarah antara muslim dan non muslim dan Roy menghindari
hubungan muslim dan non muslim tersebut.
Selain itu, Roy juga meneliti sporadis Islam di barat dengan pendekatan
sosiologis dan di sisi lain mengedepankan kondisi politik negara. Pada
kenyataanya, kelahiran jihadis Islam tidak lepas dari peran jihad Afghanistan
dan pengaruh barat.
War, Peace or Neutrality : An Overview of Islamic Polity’s Basis of Inter-State Relations
By Meisarah Marsa, S.Sos - Oktober 25, 2014
Muhammad
Hannif Hasaan merupakan seorang ahli Muslim yang menggagas sebuah tulisan yang dilatarbelakangi
dengan tingginya minat terhadap Islam dalam studi politik dan internasional. Tingginya
minat dunia internasional terhadap Islam dipengaruhi oleh pemikiran Samuel
Huntington tentang teori Clash of Civilizations dan peristiwa WTC 11 September.
Diharapkan tulisan ini dapat memberikan konstribusi terhadap peminat kajian
internasioal dalam perspektif Islam dan menawarkan gambaran hubungan antar
negara Muslim dan non Muslim. Dengan metodologi ijtihad yang didasarkan pada
Al-Qur’an dan Sunnah, Hasaan setuju bahwa perdamaian merupakan basis utama
dalam menjalin hubungan internasional, dan ia menolak perang abadi sebagai
bentuk interaksi antara pemerintahan Islam dan non Islam.
Islam
tidak mengakui adanya pemisahan antara agama dan politik. Sehingganya, politik
dianggap penting dan tak terpisahkan dari Islam. Untuk memahami hubungan antara
Islam dan politik, perlu dipahami 2 konsep berikut; Pertama, Islam merupakan jalan hidup dan mencakup seluruh aspek kehidupan.
Kedua, konsep ‘khalifah’ yang berarti
kekuasaan dan kepemimpinan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an bahwa
manusia dijadikan Allah SWT sebagai ‘khalifah’ di bumi. Sehingga dapat dipahami
bahwa umat Islam bertanggung jawab untuk menerapkan politik sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam. Sebagaimana sejarah mencatat Nabi Muhammad SAW tidak
hanya pemimpin umat Islam tetapi juga pemimpin politik di Madinah. Terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan institusi politik Muslim adalah Dar al-Islam atau Ad-Daulah Al-Islamiyah. Pemimpinnya dikenal sebagai khalifah atau amir al-Mukminin.
Terdapat
tiga landasan utama hubungan antara Dar
al-Islam dan non Dar al-Islam, yaitu:
1.
War
Pandangan pertama ini lebih mengartikan jihad sebagai perang melawan orang-orang
kafir agar tunduk pada aturan Islam. Hasilnya, negara tersebut dapat menjadi Dar al-Islam seutuhnya atau berubah
menjadi Dar Al-Harb setelah proses
perang atau penaklukan. Perkembangannya banyak terjadi pada masa klasik di mana
Islam belum mengenal konsep negara. Pandangan ini melarang umat Islam untuk
melakukan perjanjian damai permanen dengan non Dar Al-Islam.
2.
Peace
Pendapat kedua ini lebih mengartikan jihad untuk tujuan keadilan dan
memberantas penindasan, bukan untuk memerangi non Muslim. Sebagaimana lahirnya
hubungan diplomatik resmi dalam komunitas internasional seperti PBB. Hubungan
damai ini dapat dicapai dengan adanya perjanjian damai, konvensi internasional,
non agresi, non intervensi, dan kerjasama internasional. Kalaupun terjadi perang
hanya diperbolehkan jika negara Islam mendapat serangan. Beberapa kode etik
jihad / perang telah diatur dalam Islam, yaitu :
-
Perang merupakan jalan terakhir jika tidak dicapai
kesepakatan
-
Jihad harus diterapkan pada situasi dan tempat yang tepat
-
Dilarang menghancurkan tempat ibadah
-
Larangan membunuh warga sipil dan non kombatan
3.
Netral
Netral mengacu pada status yang diberikan oleh hukum internasional untuk
sebuah negara yang abstain dari semua partisipasi dalam perang. Ada 2 jenis
netralitas yaitu, 1) netralitas permanen seperti yang dilakukan oleh
negara-negara seperti Swiss, Swedia, Austria, dan Finlandia; 2) netralitas non
permanen di mana negara menyatakan netralitas dalam perang tertentu. Isu
kenetralan dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat At-Taubah ayat 4. Meskipun
tidak dijelaskan secara detail, netralitas diperbolehkan dalam Islam dengan
kriteria :
-
Urusan perang / jihad diserahkan sepenuhnya kepada Ulil
Amri
-
Konvensi diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam
-
Adanya perumusan dan pelaksanaan keputusan hukum yang
disesuaikan dengan waktu dan tempat
-
Semua penguasa Muslim telah meratifikasi dan menghormati
konvensi tersebut.
Mayoritas ulama
tradisional tidak mengizinkan keberadan lebih dari 1 kubu pemerintahan di dalam
suatu Dar al-Islam, karena ini dikhawatirkan akan menghasilkan perpecahan.
Semua Muslim wajib mencegah permusuhan. Dan menjadi fardhu ‘ain ketika musuh menyerang Dar al-Islam. Perang merupakan
jalan terakhir jika tidak dicapai kesepakatan.
Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa dasar hubungan baik antara Dar al-Islam dan
non Dar Al-Islam harus dilandasi dengan perdamaian. Penulis berpendapat bahwa
gagasan jihad bersenjata abadi muncul di periode klasik karena pengaruh konflik
berkepanjangan antara Islam, Roma, dan Persia. Selain itu, konflik-konflik
tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ambisi kekuasaan. Dan tentunya hal ini
tidak dapat dijadikan sebagai landasan dalam menggambarkan hubungan Dar al-Islam dan non Dar al-islam pada saat ini. Karena pengaruh konflik / jihad
bersenjata abadi akan membawa dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan
perang dunia 1 dan 2. Perang tentunya akan sangat bertolak belakang dengan
prinsip islam yang damai dan menghalangi tujuan PBB dalam menjaga perdamaian
dan keamanan internasional.
Islam merupakan
agama yang mencintai kedamaian karena, 1) islam berasal dari kata salam yang
berarti perdamaian dan keamanan, 2) Islam mengajarkan kalimat
‘Assalamu’alaikum’ sebagai sapaan terhadap orang lain yang berarti kesalamatan
atasmu, 3) dalam Al-Qur’an, ungkapan damai lebih banyak disebutkan dan lebih
dianjurkan daripada perang, 4) sejarah juga mencatat bahwa Islam dapat diterima
dengan baik disetiap wilayah taklukan Islam dengan cara-cara damai. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya perjanjian Hudaibiyah yang merupakan perjanjian
damai antara umat Islam dan kafir Quraisy. Oleh karena itu, membangun dan
mempertahankan perdamaian sangat penting untuk menyampaikan pesan-pesan Islam
sebagai rahmatan lil’alamin dan penuh perdamaian. Sehingga dapat mengatasi
kesalahpahaman dan meluruskan bahwa Islam bukanlah teroris.
Berdasarkan tradisi
realisme ofensif yang menyatakan bahwa sistem internasional yang anarki akan
memberikan insentif yang kuat bagi negara untuk terus berupaya meningkatkan
kekuatan dari negara-negara lain untuk mencapai hegemon. Sehingga, berbagai
aktor internasional saling berkompetisi dan mengejar kebijakan ekspansionis yang
di sisi lain dapat merugikan berbagai pihak. Hal ini memicu terjadinya banyak
konflik yang melibatkan negara-negara Muslim. Sehingga, beberapa negara Muslim lebih
memilih beraliansi dengan negara non Muslim untuk menjamin keamanan mereka. Ancaman
yang lebih mengkhawatirkan dunia internasional saat ini datang dari aktor non
negara seperti Al-Qaeda dan ISIS. Meskipun kelompok tersebut menjadikan Islam
sebagai landasan mereka, tapi cara mereka adalah cara yang salah menurut Islam.
Mereka menjadikan pandangan perang / jihad klasik sebagai tuntutan mereka. Padahal,
jihad klasik tidak lagi relevan pada saat ini.
The Organization Of The Islamic Conference: Sharing An Illusion
By Meisarah Marsa, S.Sos - Oktober 25, 2014
Organisasi
Konferensi Islam (OKI) merupakan sebuah organisasi yang didirikan untuk
menyatukan dan melindungi kepentingan umat Islam di dunia. Di mana terdapat
lebih kurang 57 negara mayoritas dan minoritas Muslim tergabung di dalam OKI. OKI
lebih dipandang sebagai sarana konferensi Muslim di dunia daripada sebuah badan
politik yang dinamis. Salah satu latar belakang berdirinya OKI adalah untuk sentralitas
Palestina sebagaimana yang termaktub dalam piagam organisasi. Namun OKI dinilai
gagal dalam melakukan diplomasi perubahan sentralitas Palestina, karena sampai
saat ini Israel terus meningkatkan defense
barriernya. Situasi ini disesalkan oleh wakil-wakil Palestina di KTT
sepanjang tahun 2003 dan 2004. Tulisan Shahram
Akbarzadeh dan Kylie Connor ini lebih mengeksplor latar belakang sejarah OKI
serta menjelaskan keterbatasan dan potensi OKI secara internal dan eksternal.
OKI didirikan di Maroko pada tahun 1969 sebagai
respon atas pembakaran Masjid Al-Aqsha di Yerussalem. Sejak awal, OKI telah
difokuskan untuk sentimen anti-Israel. Di mana pembakaran Palestina dianggap
sebagai bukti determinasi Israel untuk menghancurkan situs suci umat Islam.
OKI
menekankan aspek universalitas untuk mewujudkan kesatuan umat Muslim di dunia
sebagai inviolability of state sovereignity, namun hal ini sangat
bertentangan dengan konsep negara bangsa dalam dunia internasional saat ini.
Hal ini lah yang kemudian menjadi hambatan terbesar bagi OKI. Selain itu, keragaman
sejarah, budaya, politik dan ekonomi dari dunia Muslim juga menimbulkan
tantangan pada kesesuaian politik. Sehingganya, tidak mengherankan bahwa OKI di
masa lalu menjadi arena untuk kompetisi antara Iran dan Arab Saudi. Di mana kedua
negara tersebut memiliki national
interest dan aspirasi kepemimpinan yang kuat di dunia muslim. Di satu sisi,
Iran berupaya untuk mendorong revolusi Islam dalam dinamika OKI. Dan di sisi
lain, Arab Saudi berusaha menangkal daya tarik pan-Arabisme dan memasukkan
unsur tersebut dalam OKI. Sejarah mencatat bahwa telah terjadi kegagalan
gerakan pan Arabisme di tahun 1950 dan 1960an. Tentunya hal ini tidak akan jauh
berbeda dengan perkembangan pan Islamisme. Sederhananya, gerakan revolusi islam
yang digemborkan oleh Iran akan sangat bertentagan dengan upaya Arab Saudi
dalam menangkal pan Arabisme.
Mohammed Ayoob membenarkan
konsep berdirinya OKI sebagai suatu bentuk refleksi dari kolektifitas umat
Islam yang tidak mampu melawana Barat. Dan pada faktanya, OKI masih menempuh
kegagalan dalam bertindak sebagai forum untuk mediasi dan resolusi konflik.
Kegagalan tersebut semakin diperkuat dengan adanya krisis di Timur Tengah. Di
mana pada tahun 1980-1988 terjadi perang Iran-Irak, kemudian diikuti dengan invasi
Irak ke Kuwait tahun 1990-1991 dan invasi Irak tahun 2003 oleh AS.
Teori Hubungan Internasional dalam Islam
By Meisarah Marsa, S.Sos - Oktober 25, 2014
Teori hubungan internasional dalam
perspektif Islam dikenal sebagai “Mu’amalat” atau “Siyar” (hukum internasional
islam) yang mengatur tentang interaksi antara Muslim dan non-Muslim. Pasca
runtuhnya Uni Soviet dan kasus WTC 11 September silam, Islam mulai dipandang
sebagai isu yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia internasional. Salah
satu persepsi yang memicu hal tersebut adalah karena adanya kewajiban jihad
untuk memerangi orang-orang non muslim. Sehingganya, banyak pihak yang
beranggapan bahwa Islam disebar melalui kekerasan. Dalam tulisannya tentang
hubungan internasional dalam perspektif Islam, Labeeb Ahmed mengemukakan tujuan
tulisannya bahwa Islam bukanlah kekerasan dan Islam juga memiliki pandangan
tentang hubungan internasional. Islam mengelompokkan hubungan ini dengan 3
cakupan yaitu :
-
Muharibin (orang yang
dalam kondisi berperang)
-
Ahl-al’ahd (orang yang
dalam perjanjian dengan Islam)
-
Dzimmah ahl (orang yang
ditoleransi, dihormati, dan dilindungi di bawah otoritas Islam dengan melakukan
pembayaran jizyah)
Berdasarkan 3 kategori tersebut, ulama
awal membagi dunia internasional menjadi 2 bagian yaitu :
-
dar al-Islam (the territory of Islamic state), dengan
kriteria sebagai berikut :
o wilayah yang
berada di bawah otoritas Islam di mana Muslim mendapat kenyamanan dan
al-dzimmah mendapat perlindungan tapi berada dalam penaklukan (Shaybani).
o Dar al-harb dapat
berubah menjadi dar al-Islam dengan cara :
§ Penaklukan oleh Muslim
dan menyatakan otoritas Islam serta menerapkan hukum-hukum Islam
§ Berada di bawah
otoritas dar al-Islam meskipun masih terdapat orang non Muslim
§ Adanya pengaruh
dar al-Islam di bawah otoritas dar al-harb di mana adanya Muslim yang mengungsi
meskipun di bawah kendali kaum musyrik dan mereka tidak memaksa Muslim untuk
pergi (Rafi’i Al-Qazwini)
o Mencakup wilayah
di mana warga Muslim bebas untuk menerapkan hukum Islam meskipun mayoritas
penduduknya non Muslim (‘Abd al-Qadir Awdah)
o Jika suatu
wilayah dihuni oleh beberapa masyarakat Muslim yang tidak berafiliasi dan
saling menjauhkan diri dari harbi maka ia dianggap menempati dar al-Islam (Shams Al-Din Al-Ramli).
Dengan argumen hadis nabi “al-Islam wa la
yu'la Ya'la" (Islam lebih unggul tapi tidak ada yang lebih baik
diatasnya).
-
dar al-harb (wilayah perang
/ wilayah non-Muslim yang memusuhi Islam), dengan kriteria sebagai berikut :
o wilayah di mana
keputusan didasarkan pada prinsip non Islam (Shaybani)
o wilayah di mana
umat Islam berada di bawah ancaman (ahli hukum Hanbali)
o wilayah di mana Muslim
tidak bisa mempraktekkan iman mereka secara bebas dan tidak bisa menegakkan
hukum Islam di dalamnya (Abu Manshur Al-Baghdadi & Ahli hukum Syafii)
o Shaybani &
Abu Yusuf berpendapat bahwa dar al-Islam dapat berubah menjadi dar al-harb
disebabkan karena :
§ penaklukan oleh
dar-al-harb
§ orang-orang
murtad yang mengambil kontrol penuh dan menerapkan hukum politeisme (non Islam)
§ jika al-dzimmah menghapuskan sebuah
perjanjian yang sudah ada dan menang
dalam perjuangan mereka melawan kekuasaan Muslim
Kedua konsep tersebut didasarkan pada
argumen tentang kebenaran yang direfleksikan sebagai dar al-Islam dan kemusyrikan sebagai dar al-harb (Abu Yusuf & Shaybani). Pendapat lain juga
menggambarkan jannah (house of peace)
sebagai dar al-Islam dan annar
sebagai dar al-harb (Kasani).
Sedangkan ulama kontemporer menambahkan
1 bagian lagi yaitu,
-
dar al-‘ahd dan Muwadda’ (wilayah dalam perjanjian Islam),
dengan kriteria sebagai berikut :
o penduduk suatu
wilayah menjadi Muslim dan masih tetap di wilayah mereka
o wilayah yang
terjadi kekerasan, tapi pemerintah mengizinkan Muslim untuk menjalankan aturan Islam
o warga non Muslim
menerima hukum Islam dan menjadi ahl-aldzimmah
o wilayah tersebut
ditaklukan di bawah perjanjian damai di mana umat Islam diizinkan untuk
menerapkan kharaj (pajak tanah)
Perbedaan
pendapat antara ulama awal dan kontemporer mengenai status dar al-‘ahd
mengundang beberapa penafsiran, yaitu :
-
para ulama awal memandang dar
al-‘ahd sebagai dar al-Islam
-
ulama kontemporer memahami
pandangan Syafi’i dalam 2 hal. Pertama,
al-‘ahd dapat menjadi al-dzimmah.
Kedua, al-‘ahd akan menjadi al-Islam jika berada di bawah otoritas
dan aturan Islam.
-
Mawardi menganggapnya sebagai
mengacu pada pembagian wilayah yang ditaklukkan oleh umat Islam
-
Al-Ya’la (ulama kontemporer)
berpendapat bahwa al-ahd merupakan posisi tengah dari al-Islam dan al-harbi.
Dan merupakan rujukan untuk mengungkapkan realita hubungan internasional yang
telah jauh berkembang pada saat ini.
-
Al-sarakhsi menilai al-‘ahd sebagai campuran muwadda’a dan non Muslim. Sedangkan Abu
Zahra menganggap PBB sebagai contoh dar al-‘ahd.
Hubungan
antara Muslim dan non Muslim menurut beberapa ahli sebagai berikut :
-
Hubungan tersebut dipengaruhi oleh
cara pandang non Muslim terhadap Muslim (Ghunaymi)
-
Muslim tidak boleh memusuhi non Muslim
yang minim pengetahuannya tentang Islam (Shaybani). Hal ini akan dapat
menghindari perpecahan dan pertikaian
-
Harus ada hubungan yang adil
(Hanafi), di mana Muslim tidak boleh mencoba untuk menaklukan setiap wilayah
tanpa terlebih dahulu mengundang orang-orang di wilayah itu untuk menerima Islam.
Pendapat lain menyebutkan bahwa Muslim harus mempertimbangkan transformasi
perang kecuali untuk menghentikan mereka yang menolak jizyah, murtad, atau
menyembah berhala.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam bukanlah ideologi mainstream
yang identik dengan kekerasan dan teroris sebagaimana yang dipahami oleh mereka
yang anti terhadap Islam. Tapi Islam harus dipandang sebagai suatu sistem universal
yang hukum-hukumnya meliputi semua aspek tanpa keberpihakan pada satu pihak.
Namun, hal tersebut belum dapat terwujud dikarenakan pemerintahan Islam tidak
memiliki otoritas permanen di seluruh dunia. Meskipun demikian, Islam memiliki
cara pandang yang unik terhadap hubungan internasional terutama dalam konsep
tentang negara.