War, Peace or Neutrality : An Overview of Islamic Polity’s Basis of Inter-State Relations
By Meisarah Marsa, S.Sos - Oktober 25, 2014
Muhammad
Hannif Hasaan merupakan seorang ahli Muslim yang menggagas sebuah tulisan yang dilatarbelakangi
dengan tingginya minat terhadap Islam dalam studi politik dan internasional. Tingginya
minat dunia internasional terhadap Islam dipengaruhi oleh pemikiran Samuel
Huntington tentang teori Clash of Civilizations dan peristiwa WTC 11 September.
Diharapkan tulisan ini dapat memberikan konstribusi terhadap peminat kajian
internasioal dalam perspektif Islam dan menawarkan gambaran hubungan antar
negara Muslim dan non Muslim. Dengan metodologi ijtihad yang didasarkan pada
Al-Qur’an dan Sunnah, Hasaan setuju bahwa perdamaian merupakan basis utama
dalam menjalin hubungan internasional, dan ia menolak perang abadi sebagai
bentuk interaksi antara pemerintahan Islam dan non Islam.
Islam
tidak mengakui adanya pemisahan antara agama dan politik. Sehingganya, politik
dianggap penting dan tak terpisahkan dari Islam. Untuk memahami hubungan antara
Islam dan politik, perlu dipahami 2 konsep berikut; Pertama, Islam merupakan jalan hidup dan mencakup seluruh aspek kehidupan.
Kedua, konsep ‘khalifah’ yang berarti
kekuasaan dan kepemimpinan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an bahwa
manusia dijadikan Allah SWT sebagai ‘khalifah’ di bumi. Sehingga dapat dipahami
bahwa umat Islam bertanggung jawab untuk menerapkan politik sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam. Sebagaimana sejarah mencatat Nabi Muhammad SAW tidak
hanya pemimpin umat Islam tetapi juga pemimpin politik di Madinah. Terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan institusi politik Muslim adalah Dar al-Islam atau Ad-Daulah Al-Islamiyah. Pemimpinnya dikenal sebagai khalifah atau amir al-Mukminin.
Terdapat
tiga landasan utama hubungan antara Dar
al-Islam dan non Dar al-Islam, yaitu:
1.
War
Pandangan pertama ini lebih mengartikan jihad sebagai perang melawan orang-orang
kafir agar tunduk pada aturan Islam. Hasilnya, negara tersebut dapat menjadi Dar al-Islam seutuhnya atau berubah
menjadi Dar Al-Harb setelah proses
perang atau penaklukan. Perkembangannya banyak terjadi pada masa klasik di mana
Islam belum mengenal konsep negara. Pandangan ini melarang umat Islam untuk
melakukan perjanjian damai permanen dengan non Dar Al-Islam.
2.
Peace
Pendapat kedua ini lebih mengartikan jihad untuk tujuan keadilan dan
memberantas penindasan, bukan untuk memerangi non Muslim. Sebagaimana lahirnya
hubungan diplomatik resmi dalam komunitas internasional seperti PBB. Hubungan
damai ini dapat dicapai dengan adanya perjanjian damai, konvensi internasional,
non agresi, non intervensi, dan kerjasama internasional. Kalaupun terjadi perang
hanya diperbolehkan jika negara Islam mendapat serangan. Beberapa kode etik
jihad / perang telah diatur dalam Islam, yaitu :
-
Perang merupakan jalan terakhir jika tidak dicapai
kesepakatan
-
Jihad harus diterapkan pada situasi dan tempat yang tepat
-
Dilarang menghancurkan tempat ibadah
-
Larangan membunuh warga sipil dan non kombatan
3.
Netral
Netral mengacu pada status yang diberikan oleh hukum internasional untuk
sebuah negara yang abstain dari semua partisipasi dalam perang. Ada 2 jenis
netralitas yaitu, 1) netralitas permanen seperti yang dilakukan oleh
negara-negara seperti Swiss, Swedia, Austria, dan Finlandia; 2) netralitas non
permanen di mana negara menyatakan netralitas dalam perang tertentu. Isu
kenetralan dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat At-Taubah ayat 4. Meskipun
tidak dijelaskan secara detail, netralitas diperbolehkan dalam Islam dengan
kriteria :
-
Urusan perang / jihad diserahkan sepenuhnya kepada Ulil
Amri
-
Konvensi diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam
-
Adanya perumusan dan pelaksanaan keputusan hukum yang
disesuaikan dengan waktu dan tempat
-
Semua penguasa Muslim telah meratifikasi dan menghormati
konvensi tersebut.
Mayoritas ulama
tradisional tidak mengizinkan keberadan lebih dari 1 kubu pemerintahan di dalam
suatu Dar al-Islam, karena ini dikhawatirkan akan menghasilkan perpecahan.
Semua Muslim wajib mencegah permusuhan. Dan menjadi fardhu ‘ain ketika musuh menyerang Dar al-Islam. Perang merupakan
jalan terakhir jika tidak dicapai kesepakatan.
Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa dasar hubungan baik antara Dar al-Islam dan
non Dar Al-Islam harus dilandasi dengan perdamaian. Penulis berpendapat bahwa
gagasan jihad bersenjata abadi muncul di periode klasik karena pengaruh konflik
berkepanjangan antara Islam, Roma, dan Persia. Selain itu, konflik-konflik
tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ambisi kekuasaan. Dan tentunya hal ini
tidak dapat dijadikan sebagai landasan dalam menggambarkan hubungan Dar al-Islam dan non Dar al-islam pada saat ini. Karena pengaruh konflik / jihad
bersenjata abadi akan membawa dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan
perang dunia 1 dan 2. Perang tentunya akan sangat bertolak belakang dengan
prinsip islam yang damai dan menghalangi tujuan PBB dalam menjaga perdamaian
dan keamanan internasional.
Islam merupakan
agama yang mencintai kedamaian karena, 1) islam berasal dari kata salam yang
berarti perdamaian dan keamanan, 2) Islam mengajarkan kalimat
‘Assalamu’alaikum’ sebagai sapaan terhadap orang lain yang berarti kesalamatan
atasmu, 3) dalam Al-Qur’an, ungkapan damai lebih banyak disebutkan dan lebih
dianjurkan daripada perang, 4) sejarah juga mencatat bahwa Islam dapat diterima
dengan baik disetiap wilayah taklukan Islam dengan cara-cara damai. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya perjanjian Hudaibiyah yang merupakan perjanjian
damai antara umat Islam dan kafir Quraisy. Oleh karena itu, membangun dan
mempertahankan perdamaian sangat penting untuk menyampaikan pesan-pesan Islam
sebagai rahmatan lil’alamin dan penuh perdamaian. Sehingga dapat mengatasi
kesalahpahaman dan meluruskan bahwa Islam bukanlah teroris.
Berdasarkan tradisi
realisme ofensif yang menyatakan bahwa sistem internasional yang anarki akan
memberikan insentif yang kuat bagi negara untuk terus berupaya meningkatkan
kekuatan dari negara-negara lain untuk mencapai hegemon. Sehingga, berbagai
aktor internasional saling berkompetisi dan mengejar kebijakan ekspansionis yang
di sisi lain dapat merugikan berbagai pihak. Hal ini memicu terjadinya banyak
konflik yang melibatkan negara-negara Muslim. Sehingga, beberapa negara Muslim lebih
memilih beraliansi dengan negara non Muslim untuk menjamin keamanan mereka. Ancaman
yang lebih mengkhawatirkan dunia internasional saat ini datang dari aktor non
negara seperti Al-Qaeda dan ISIS. Meskipun kelompok tersebut menjadikan Islam
sebagai landasan mereka, tapi cara mereka adalah cara yang salah menurut Islam.
Mereka menjadikan pandangan perang / jihad klasik sebagai tuntutan mereka. Padahal,
jihad klasik tidak lagi relevan pada saat ini.
2 comments
Assalamu alaikum, artikel yang luar biasa..
BalasHapusminta gambarnya ya buat artikel di blogku hehe.
salam..
Wa'alaikumussalam. Silahkan Akh
Hapus