Teori Hubungan Internasional dalam Islam
By Meisarah Marsa, S.Sos - Oktober 25, 2014
Teori hubungan internasional dalam
perspektif Islam dikenal sebagai “Mu’amalat” atau “Siyar” (hukum internasional
islam) yang mengatur tentang interaksi antara Muslim dan non-Muslim. Pasca
runtuhnya Uni Soviet dan kasus WTC 11 September silam, Islam mulai dipandang
sebagai isu yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia internasional. Salah
satu persepsi yang memicu hal tersebut adalah karena adanya kewajiban jihad
untuk memerangi orang-orang non muslim. Sehingganya, banyak pihak yang
beranggapan bahwa Islam disebar melalui kekerasan. Dalam tulisannya tentang
hubungan internasional dalam perspektif Islam, Labeeb Ahmed mengemukakan tujuan
tulisannya bahwa Islam bukanlah kekerasan dan Islam juga memiliki pandangan
tentang hubungan internasional. Islam mengelompokkan hubungan ini dengan 3
cakupan yaitu :
-
Muharibin (orang yang
dalam kondisi berperang)
-
Ahl-al’ahd (orang yang
dalam perjanjian dengan Islam)
-
Dzimmah ahl (orang yang
ditoleransi, dihormati, dan dilindungi di bawah otoritas Islam dengan melakukan
pembayaran jizyah)
Berdasarkan 3 kategori tersebut, ulama
awal membagi dunia internasional menjadi 2 bagian yaitu :
-
dar al-Islam (the territory of Islamic state), dengan
kriteria sebagai berikut :
o wilayah yang
berada di bawah otoritas Islam di mana Muslim mendapat kenyamanan dan
al-dzimmah mendapat perlindungan tapi berada dalam penaklukan (Shaybani).
o Dar al-harb dapat
berubah menjadi dar al-Islam dengan cara :
§ Penaklukan oleh Muslim
dan menyatakan otoritas Islam serta menerapkan hukum-hukum Islam
§ Berada di bawah
otoritas dar al-Islam meskipun masih terdapat orang non Muslim
§ Adanya pengaruh
dar al-Islam di bawah otoritas dar al-harb di mana adanya Muslim yang mengungsi
meskipun di bawah kendali kaum musyrik dan mereka tidak memaksa Muslim untuk
pergi (Rafi’i Al-Qazwini)
o Mencakup wilayah
di mana warga Muslim bebas untuk menerapkan hukum Islam meskipun mayoritas
penduduknya non Muslim (‘Abd al-Qadir Awdah)
o Jika suatu
wilayah dihuni oleh beberapa masyarakat Muslim yang tidak berafiliasi dan
saling menjauhkan diri dari harbi maka ia dianggap menempati dar al-Islam (Shams Al-Din Al-Ramli).
Dengan argumen hadis nabi “al-Islam wa la
yu'la Ya'la" (Islam lebih unggul tapi tidak ada yang lebih baik
diatasnya).
-
dar al-harb (wilayah perang
/ wilayah non-Muslim yang memusuhi Islam), dengan kriteria sebagai berikut :
o wilayah di mana
keputusan didasarkan pada prinsip non Islam (Shaybani)
o wilayah di mana
umat Islam berada di bawah ancaman (ahli hukum Hanbali)
o wilayah di mana Muslim
tidak bisa mempraktekkan iman mereka secara bebas dan tidak bisa menegakkan
hukum Islam di dalamnya (Abu Manshur Al-Baghdadi & Ahli hukum Syafii)
o Shaybani &
Abu Yusuf berpendapat bahwa dar al-Islam dapat berubah menjadi dar al-harb
disebabkan karena :
§ penaklukan oleh
dar-al-harb
§ orang-orang
murtad yang mengambil kontrol penuh dan menerapkan hukum politeisme (non Islam)
§ jika al-dzimmah menghapuskan sebuah
perjanjian yang sudah ada dan menang
dalam perjuangan mereka melawan kekuasaan Muslim
Kedua konsep tersebut didasarkan pada
argumen tentang kebenaran yang direfleksikan sebagai dar al-Islam dan kemusyrikan sebagai dar al-harb (Abu Yusuf & Shaybani). Pendapat lain juga
menggambarkan jannah (house of peace)
sebagai dar al-Islam dan annar
sebagai dar al-harb (Kasani).
Sedangkan ulama kontemporer menambahkan
1 bagian lagi yaitu,
-
dar al-‘ahd dan Muwadda’ (wilayah dalam perjanjian Islam),
dengan kriteria sebagai berikut :
o penduduk suatu
wilayah menjadi Muslim dan masih tetap di wilayah mereka
o wilayah yang
terjadi kekerasan, tapi pemerintah mengizinkan Muslim untuk menjalankan aturan Islam
o warga non Muslim
menerima hukum Islam dan menjadi ahl-aldzimmah
o wilayah tersebut
ditaklukan di bawah perjanjian damai di mana umat Islam diizinkan untuk
menerapkan kharaj (pajak tanah)
Perbedaan
pendapat antara ulama awal dan kontemporer mengenai status dar al-‘ahd
mengundang beberapa penafsiran, yaitu :
-
para ulama awal memandang dar
al-‘ahd sebagai dar al-Islam
-
ulama kontemporer memahami
pandangan Syafi’i dalam 2 hal. Pertama,
al-‘ahd dapat menjadi al-dzimmah.
Kedua, al-‘ahd akan menjadi al-Islam jika berada di bawah otoritas
dan aturan Islam.
-
Mawardi menganggapnya sebagai
mengacu pada pembagian wilayah yang ditaklukkan oleh umat Islam
-
Al-Ya’la (ulama kontemporer)
berpendapat bahwa al-ahd merupakan posisi tengah dari al-Islam dan al-harbi.
Dan merupakan rujukan untuk mengungkapkan realita hubungan internasional yang
telah jauh berkembang pada saat ini.
-
Al-sarakhsi menilai al-‘ahd sebagai campuran muwadda’a dan non Muslim. Sedangkan Abu
Zahra menganggap PBB sebagai contoh dar al-‘ahd.
Hubungan
antara Muslim dan non Muslim menurut beberapa ahli sebagai berikut :
-
Hubungan tersebut dipengaruhi oleh
cara pandang non Muslim terhadap Muslim (Ghunaymi)
-
Muslim tidak boleh memusuhi non Muslim
yang minim pengetahuannya tentang Islam (Shaybani). Hal ini akan dapat
menghindari perpecahan dan pertikaian
-
Harus ada hubungan yang adil
(Hanafi), di mana Muslim tidak boleh mencoba untuk menaklukan setiap wilayah
tanpa terlebih dahulu mengundang orang-orang di wilayah itu untuk menerima Islam.
Pendapat lain menyebutkan bahwa Muslim harus mempertimbangkan transformasi
perang kecuali untuk menghentikan mereka yang menolak jizyah, murtad, atau
menyembah berhala.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam bukanlah ideologi mainstream
yang identik dengan kekerasan dan teroris sebagaimana yang dipahami oleh mereka
yang anti terhadap Islam. Tapi Islam harus dipandang sebagai suatu sistem universal
yang hukum-hukumnya meliputi semua aspek tanpa keberpihakan pada satu pihak.
Namun, hal tersebut belum dapat terwujud dikarenakan pemerintahan Islam tidak
memiliki otoritas permanen di seluruh dunia. Meskipun demikian, Islam memiliki
cara pandang yang unik terhadap hubungan internasional terutama dalam konsep
tentang negara.
0 comments