Whither Political Islam? Understanding the Modern Jihad

By Meisarah Marsa, S.Sos - Oktober 25, 2014




            Serangan 11 September 2001 yang lalu telah mengundang banyak perdebatan. Berbagai argumen yang berbeda di tunjukkan melalui cullture talk. Para ahli seperti Samuel Huntington dan Bernard Lewis menyetujui bahwa agama merupakan pengontrol budaya dan politik apalagi jika agama tersebut dikaitkan dengan fundametalism yang dipandang sebagai pemicu pergerakan ‘Islamic violence’.
            Oliver Roy yang merupakan seorang ahli yang meneliti tentang jihad modern melihat   kondisi sosial sebagai pengaruh yang cukup penting. Berdasarkan pemikiran dan pergerakannya, Islam menolak pendekatan kulturalis yang menilai Islam sebagai sebuah isu yang dikaitkan dengan aksi bom bunuh diri dan jihad. Sehingga, Roy memiliki pandangan bahwa Al-Qur’an merupakan sesuatu yang penting menurut penuturan muslim. Sehingga tidak mengejutkan bahwa mereka yang muslim tidak setuju dengan penekanan bahwa Al-Qur’an adalah sesuatu yang ambigu dan tidak jelas. Oleh karena itu, tidak jauh berbeda dengan pandangan para budayawan (kulturalis), Roy lebih memandang Islam sebagai sebuah politik dan doktrin daripada sebuah perlakuan kultural (kebudayaan).
            Berbeda dengan Roy, Gilles Kepel mencoba untuk memahami Islam berdasarkan sejarah politik Islam. Di mana Kepel mengambil 2 pemikiran radikal Islam yaitu Salafi dan Wahabi yang lebih beraliran politik Ikhwanul Muslimin. Kedua pemikiran ini kemudian menghasilkan sebuah ideologi yang diidentifikasikan dengan Osama bin Laden. Berdasarkan sejarah pada awal abad 19, kaum Wahabi (yang merupakan para penganut pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab) beraliansi dengan Kerajaan Saud dengan imbalan penyebaran ideologi Wahabisme di wilayah otoritas Raja Arab Saudi, Muhammad bin Saud. Proyek ini gagal karena tidak dapat membendung invasi Ottoman tahun 1818. Wahabbi mengandalkan Ikhwanul Muslimin yang merupakan milisi agama Raja Saud bersama dengan Inggris yang pada saat itu menduduki wilayah Arab peninsula untuk mempertahankan Arab Saudi dari serangan musuh. Pada masa Ronald Reagan disaat AS menggantikan posisi Inggris sebagai partner utama kerajaan, AS mendukung dan kemudian menjadikan Wahabbi sebagai teologi pembebasan untuk menghambat pergerakan komunisme.
            Pada sejarah selanjutnya, tercatat bahwa adanya pergerakan dari Ikhwanul Muslimin yang menginginkan dibentuknya negara Islam di Mesir dan menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi. Untuk merealisasikan tujuannya, Ikhwanul Muslimin kemdian mengikuti Gamal Abdul Naser untuk melakukan revolusi menumbangkan rejim Farouk pada tahun 1952. Tidak hanya di Mesir, pergerakan tersebut kemudian merambah ke Irak dan Suriah, keadaan ini memicu arus pengungsi ke Arab Saudi tahun 1970an.
Pergerakan Ikhwanul Muslimin terus berlanjut dengan bergabung bersama organisasi pembebasan Palestina dan lambat laun mengambil alih posisi Arab Saudi dengan membentuk kebangkitan politik dan agama di negara itu pasca revolusi Iran tahun 1979. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya serangan terhadap Mesjid Agung di Mekah pada tahun itu. Kejadian tersebut membuat pergerakan Wahabi semakin dicurigai.   
Agama kemudian dipandang sebagai pemicu munculnya pergerakan Islam radikal seperti revolusioner Iran yang beraliran Syiah dan sangat menentang AS. Seorang berkebangsaan mesir bernama Ayman Al-Zawahiri yang merupakan tangan kanan tokoh jihadis dunia Osama bin Laden, mengungkapkan bahwa penggunaan terorisme untuk tujuan politik Islam dianggap sah untuk menyerang barat. Zawahiri juga menganggap serangan bunuh diri oleh mujahidin sebagai salah satu serangan yang efisien dan dapat menimbulkan kerugian di pihak lawan. Selin itu, jihad global saat ini diatur dalam metode dan strategi perekrutan yang terorganisir dengan memanfaatkan internet dan jaringan media. Sepertihalnya Al-Qaeda yang merupakan sebuah organisasi teroris yang modern dan inovatif.
Tidak seperti yang digambarkan oleh para budayawan kebanyakan yang memandang Osama bin Laden sebagai bagian dari Saudi Wahabisme, Kepel menggambarkan Laden sebagai produk hybrid dari beberapa tradisi intelektual. Kepel tidak sepenuhnya bebas dari aspek culture talk, dia cenderung menghubungkan alasannya dengan barat, sebuah doktrin yang diyakini Kepel berdasarkan pada ungkapan Mohammed Atta yang mengatakan bahwa adanya janji taman surga bagi mereka yang berjihad. Kepel juga menggambarkan Al-Qaeda sebagai kelompok neokonservatif yang dianggapnya sebagai produk dari perang dingin.
Berbeda dengan rasisme dan imigran Eropa yang sebelumnya berupaya untuk mendirikan dan membangun sebuah negara sendiri sepertihalnya sejarah dan perkembangan Yahudi. Meskipun Islam berkembang di Eropa tapi Kepel tidak melihat Islam sebagai subjek aktif yang ingin mendirikan sebuah negara baru. Bagaimana interaksi muslim dengan non muslim (barat) diartikan Kepel sebagai suatu bentuk peradaban. Sederhananya, Kepel tidak  mampu memahami Muslim secara historis karena  analisis historis kepel ini justru dipengaruhi oleh argumen sosiologis Roy.
            Roy melihat penyebaran Islam hari ini sebagai :
a.       Konsekuensi dari perubahan sosiologis
b.      atau sebagai konsekuensi sejarah langsung dari kebijakan Saudi dan dukungan Reagan untuk proyek Wahhabi
Roy menilai Islam saat ini lebih sekuler atau lebih tepatnya ‘fundamentalisme’. Roy menanggapi kekerasan yang dimunculkan oleh muslim merupakan pengaruh faktor politis dan bukan inspirasi agama. Hal ini dikarenakan adanya pentargetan World Trade Center dan Pentagon oleh para jihadis. Sehingga Roy berargumen bahwa Islam saat ini berperang melawan imperialisme modern.
Islam kini dipandang sebagai suatu kelompok neofundamentalist. Di mana menurut Roy, masyarakat muslim saat ini sudah tidak lagi memegang prinsip tradisional nya seperti rukun Islam namun lebih ke arah proyek politik. Proyek politik ini dinilai Roy sebagai prinsip neofundamentalist yang justru mengarahkan masyarakat muslim menjadi lebih sekuler dan radikal. Di mana muslim bergerak melawan barat. Umat muslim tidak lagi terikat oleh solidaritas tradisional namun merupakan dampak dari adanya dekonstruksi politik yang diciptakan bersama untuk menentang barat. Roy melihat pergerakan umat Islam sekarang tidak jauh berbeda perannya seperi kaum proletar pada tahun 1960.
Pada akhirnya, argumen Roy dan Kelep TIDAK DAPAT menjelaskan ideologi jihad Islam. Di mana Kepel menolak untuk menghubungkan faktor sejarah antara muslim dan non muslim dan Roy menghindari hubungan muslim dan  non muslim tersebut. Selain itu, Roy juga meneliti sporadis Islam di barat dengan pendekatan sosiologis dan di sisi lain mengedepankan kondisi politik negara. Pada kenyataanya, kelahiran jihadis Islam tidak lepas dari peran jihad Afghanistan dan pengaruh barat.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments