A.
Kasus Perdagangan Wanita
Perdagangan manusia merupakan kejahatan serius yang
perlu ditangani karena menyangkut pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam
beberapa kasus perdagangan manusia lebih dominan terhadap wanita dan anak-anak.
Seperti halnya dalam trafficking in persons report yang dilampirkan oleh
IOM Indonesia pada tahun 2005-2010 terdapat jumlah korban perempuan dan anak
perempuan yang cukup signifikan yaitu 3.417 dibanding dengan laki-laki yang
hanya 368 korban.[1]
Global alliance against trafficking in women mendefinisikan perdagangan manusia sebagai tindakan yang berkaitan
dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian,
penjualan, transfer pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan
penipuan atau tekanan, termasuk ancaman, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan
atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut
baik dibayar ataupun tidak, untuk kerja yang tidak diinginkannya (domestik,
seksual, atau produksi) dalam ikatan kerja paksa atau dalam kondisi seperti
perbudakan dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal
pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali.[2]
Perdagangan wanita dan anak-anak lebih mendominasi
dikarenakan wanita lebih mudah dijadikan sarana perdagangan yang lebih
menguntungkan. Dalam kegiatan seksual misalnya, wanita dan anak-anak
dieksploitasi seksual menjadi pelacur atau sarana pornografi, memaksa menjadi
pekerja, tindakan pemerasan dan ancaman yang memanfaatkan fisik, reproduksi.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban
perdagangan perempuan berkisar antara 700.000 hingga 2.000.000 orang setiap
tahunnya.[3]
Permasalahan seksual secara paksa merupakan bentuk
perdagangan berat seperti disebutkan oleh Trafficking Victims Protection Act
tentang perdagangan seks di mana tindakan seks komersial diberlakukan secara paksa
dengan cara penipuan, kebohongan dan belum mencapai usia 18 tahun, atau
merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan dan mendapatkan seseorang untuk
bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan, atau kekerasan
untuk tujuan penghambaan, penjeratan hutang atau perbudakan.[4]
Pelanggaran HAM
terkait dengan kasus perdagangan wanita dapat berupa penipuan, penyekapan,
ancaman dan penggunaan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, pemutusan akses
dengan keluarga dan bantuan jenis apapun, hak atas informasi, penyiksaan,
kondisi hidup yang buruk, pemaksaan melacur, kondisi kerja yang tidak layak,
penyitaan akses ke kesehatan, penyitaan identitas dan dokumen perjalanan,
perempuan dipaksa menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan,
diskriminasi, kehilangan kontrol terhadap hidup, penyangkalan terhadap
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, penahanan ilegal dengan tuduhan palsu,
penganiayaan, perkosaan dalam penahanan, pelanggaran dalam aspek hukum,
pemaksaan pemeriksaan dan perawatan kesehatan.[5]
Jender adalah bagian dari faktor penentu dalam perdagangan
manusia. Perdagangan manusia adalah penjelmaan serius dari proses feminisasi
kemiskinan dan tantangan-tantangan yang lebih besar yang dihadapi para
perempuan dan anak perempuan di dunia yang masih di karakterisasi oleh
diskriminasi jender, baik di dalam maupun di luar pasar lapangan kerja.[6]
Kasus perdagangan perempuan yang terjadi tahun 2007 di Indonesia
misalnya, dilakukan dengan modus
pekerjaan dan gaji yang tinggi. Tetapi setelah berada di Malaysia, mereka dipekerjakan ditempat
yang tidak layak bahkan dilingkungan prositusi. Kasus ini terungkap setelah
salah satu korban tertangkap pihak keamanan Malaysia karena tidak memiliki
dokumen-dokumen yang sah. [7]
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi
dan factor penyebab perdagangan manusia dengan perdagangan wanita tidak jauh
berbeda. Karena, menyangkut usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan
dan transportasi internal atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan dan
lain sebagainya. Hanya saja perdagangan wanita lebih mengarah pada tindak kejahatan
seksual dan pelacuran. Dan menjadi nilai lebih disbanding perdagangan laki-laki.
Sehingga, perdagangan manusia terhadap kaum wanita pun memiliki angka yang
tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Terjadinya perdagangan wanita disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
·
Faktor ekonomi,
terutama kemiskinan dan pengangguran
·
Semakin berkembangnya materialism dan keinginan untuk
hidup lebih baik.
·
Situasi keluarga yang mengalami gangguan
Para perempuan muda dan anak perempuan dari
keluarga-keluarga miskin dan berhutang sering dijadikan pilihan oleh keluarga
mereka untuk bekerja di daerah-daerah atau negara lain sebagai bagian dari
strategi kelangsungan hidup. Selain itu, juga terdapat lebih banyak single
parent, perbuatan sumbang, perselisihan perkawinan, dan perpecahan
keluarga.
·
Kurangnya pendidikan
Kurangnya pendidikan dan keterampilan sangat
memperburuk kerentanan dan perempuan dan anak perempuan. Karena mereka memiliki
pilhan yang terbatas untuk mendapatkan penghasilan serta kekurangan akses
informasi. Sehingga didalam negara mereka sendiri dan juga di negara tujuan,
satu-satunya pekerjaan yang terbuka bagi perempuan yang kurang atau tidak
berpendidikan adalah “pekerjaan feminin” yang berupah paling rendah dan paling
rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang.
·
Diskriminasi
Banyak masyarakat yang masih memposisikan perempuan di
nomor dua. Kondisi ini menyebabkan kemiskinan bagi perempuan sehingga mendorong
perempuan terjebak dalam perdagangan manusia.
·
Kebijakan migrasi
Pembatasan migrasi yang disesuaikan dengan jender merupakan
kebijakan pemerintah dalam usaha “melindungi” perempuan dan anak perempuan. Namun,
dengan pembatasan migrasi tersebut justru membuat perempuan mencari
saluran-saluran tidak resmi untuk migrasi dan semakin rentan untuk terjebak pada
perdagangan.
·
Kerangka hukum dan pengaturan yang tidak efektif
Banyak negara yang memiliki pengaturan yang lemah dan
mekanisme serta personil pengaturan yang kurang terfasilitasi. Banyak
instasi-instasi penegak hukum mengabaikan nasib para korban perdagangan dan
meremehkan jangkauan dari masalah perdagangan manusia. Atau kasus suap yang
terjadi antar entitas pemerintah dengan para traffickers
·
Krisis ekonomi, bencana alam, perang dan konflik
politik
Perpecahan keluarga, kurangnya dukungan masyarakat dan
negara, serta minimnya pengamanan sosial mendorong perempuan untuk melarikan
diri. Dan dalam prosesnya, menempatkan
diri mereka ditangan para pedagang. Daerah-daerah konflik dan pasca-konflik
dengan kondisi perekonomian yang belum stabil membawa dampak yang cukup besar
terhadap kasus perdagangan manusia terutama perdagangan wanita dan anak. Akibat
menjadi sasarn empuk kekuasaan dengan kekuatan politik baru yang
sewenang-wenang.[8]
Berikut merupakan bentuk-bentuk dari perdagangan wanita yakni:[9]
·
Pekerja / pembantu rumah tangga.
·
Pekerja Seks Komersial
·
Pengantin pesanan.
·
Tenaga penghibur, dimana perempuan yang direkrut
menjadi tenaga penghibur mengalami pelecehan seksual dan ancaman bila tidak mau
melayani para pengunjung.
Modus tindak perdagangan wanita dan anak diantaranya [10]:
·
Penculikan, terkadang para perempuan diculik dari satu
negara dan dibawa secara paksa ke negara lain. Perempuan pribumi dan perempuan
dari minoritas etnik mungkin sangat rentan.
·
Para pedagang mungkin membeli korban dari anggota
keluarga secara kontan tunai. Bisa terjadi adanya keterlibatan dari pihak
anggota keluarga. Mereka yang mengalami kekerasan keluarga akan lebih mungkin
untuk diperdagangkan.
·
Para pedagang dapat meminjamkan uang dan memiliki
kontrak dengan keluarga, kemudian si perempuan atau anak perempuan anggota
keluarga dibawa keluar negeri untuk membayar kembali uang yang dipinjamkan pada
keluarga.
·
Penipuan, para korban dipikat dengan
penawaran-penawaran kerja. Setelah menyediakan pengangkutan dan surat-surat
palsu untuk membawa korban ke tempat tujuan mereka, para pedagang kemudian
mengenakan biaya-biaya yang sangat mahal atas pelayanan-pelayanan tersebut,
menciptakan perhambaan karena hutang yang kekal.
·
Para korban dipikat dengan janji palsu tentang
kesempatan-kesempatan menikah. Sindikat-sindikat kejahatan memanfaatkan jasa
pelayanan pernikahan, jasa pelayanan pengantin pesanan lewat pos dan biro jodoh
bahkan internet untuk menemukan korban mereka. Para pedagang bahkan mungkin melakukan
pernikahan palsu dengan para korban mereka.
B.
Kasus Perdagangan Anak
Problematika
perdagangan anak (children trafficking) merupakan salah satu isu global
yang berkaitan erat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Perdagangan
anak (children trafficking) dapat diartikan sebagai tindak perekrutan,
pengiriman, pemindahan, penampungan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak
di bawah usia delapan belas tahun dengan penggunaan kekerasan atau bentuk
pemaksaan lainnya seperti, penculikan, dan penipuan yang bertujuan eksploitasi[11].
Eksploitasi bisa
berbentuk eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek
serupa perbudakan, atau pengambilan organ tubuh. Pernyataan tersebut
menjelaskan bahwa perdagangan anak di bawah delapan belas tahun dengan tujuan
eksploitasi merupakan tindak kejahatan dan pelanggaran HAM berat.
Penyebab utama dari perdagangan anak tidak jauh berbeda dengan kasus
penyelundupan manusia (people smuggling). Kasus children trafficking
ini juga meliputi persoalan kemiskinan, lemahnya pemerintahan, kurangnya
perlindungan yang efektif terhadap diskriminasi dan eksploitasi,
ketenagakerjaan, kemigrasian, dan tindakan lain yang merugikan.
Secara khusus,
ketimpangan ekonomi, penindasan dan diskriminasi dapat menempatkan anak-anak di
risiko yang lebih besar. Adanya tuntutan perkembangan globalisasi menjadikan
tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi semakin tinggi. Sehingga mempengaruhi
tingkat pemasaran dan kebutuhan tenaga kerja yang berimplikasi pada peningkatan
taraf hidup masyarakat global. Namun di samping itu, bahaya children
trafficking menjadi kekhawatiran yang harus diwaspadai.
Kasus perdagangan
anak ini semakin meluas di era globalisasi. Karena faktanya, banyak anak-anak
dan remaja putri yang rentan dan mudah terbius oleh gaya hidup dan kecanggihan
teknologi di era globalisasi. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para calo (traffickers)
untuk menipu dan kemudian mengeksploitasi anak-anak.
Di Afrika, terdapat
beberapa aspek yang menjadi sorotan penting dalam kasus perdagangan anak ini,
di antaranya yaitu adanya eksploitasi
seksual, ekonomi, dan maalpraktek. Pada tahun 2004 misalnya, berdasarkan laporan
dari website ILO dalam “Defining the Scale of the Problem” menyebutkan bahwa
sekitar 600.000-800.000 orang menjadi korban perdagangan manusia pada skala
internasional yang terdiri dari 80% perempuan, 50% anak-anak yang ditujukan
untuk eksplotasi seksual[12].
Kasus eksploitasi
ekonomi juga dirasakan di Afrika. Para gadis-gadis Togo dan anak-anak di Afrika
Barat khususnya dipekerjakan sebagai sumber tenaga kerja murah. Kebanyakan dari
mereka dipekerjakan sebagai buruh pertanian dan perkebunan komersial,
pertambangan yang berbahaya, industri tambahan, dan rumah tangga. Data ILO
memperkirakan keuntungan bisnis perdagangan manusia mencapai US$ 33.9 miliar
pertahun[13].
Di bagian barat
Kenya, Zimbabwe dan Ghana, kasus maalpraktik atau praktik tradisional banyak
terjadi. Di mana pernikahan dini di paksakan guna memperluas perdagangan dan
pengembangan ras untuk mendapatkan link nasional dengan suku masyarakat migran.
Praktik ini dapat membahayakan para remaja wanita terhadap infeksi HIV / AIDS.
Praktik tradisional lain yang diduga terkait dengan trafficking adalah
penggunaan organ atau bagian tubuh dalam ritual.
A.
Upaya
Menghambat Perkembangan Children Trafficking
Komite
Afrika pertama didirikan pada April 2002 yang membahas tentang hak dan
kesejahteraan anak, di Addis Ababa. Komite ini didirikan untuk menangani
isu-isu penting terkait perdagangan anak dalam konflik bersenjata, buruh anak,
pelecehan seksual, anak yang terinfeksi HIV / AIDS, dan pendidikan.
Komite ke dua didirikan di Nairobi, Kenya pada
tanggal 17 Februari 2003. Komite ini bertujuan untuk [14]:
·
Meningkatkan
dan melindungi hak-hak yang tercantum dalam piagam kegiatan yang berbeda
termasuk peran aktif Organisasi Persatuan Afrika dalam penyusunan "Rencana
Aksi untuk Memberantas Perdagangan Manusia, terutama perempuan dan anak".
·
Mengumpulkan dan
mendokumentasikan informasi mengenai situasi di Afrika serta mendorong
pergerakan lembaga-lembaga lokal dan nasional untuk menangani masalah tersebut
yang kemudian direkomendasikan kepada pemerintah.
·
Merumuskan dan
menetapkan prinsip-prinsip dan aturan yang bertujuan melindungi hak-hak dan
kesejahteraan anak di Afrika bekerja sama dengan lembaga dan organisasi
regional yang bersangkutan.
Upaya lain yang
bisa dilakukan untuk menghambat (children trafficking) adalah dengan
berkolaborasi dan menjalin kerjasama dan melakukan pemulihan secara psikologis,
materi dan non materi. Kerja sama dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa
entitas seperti[15]:
·
Lembaga
pemerintahan
Pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam
menghambat praktek perdagangan. Di beberapa negara Afrika, perdagangan manusia
ditangani oleh kementerian Luar Negeri dan lembaga khusus yang bertanggung
jawab atas urusan perempuan dan anak-anak.
·
Sistem
pelayanan sosial nasional dan sektor pendidikan
Pelayanan sosial di Afrika pada umumnya
memiliki sumber daya yang terbatas, baik dari segi keuangan maupun potensi para
relawan yang masih membutuhkan banyak tenaga ahli. Hal ini menyebabkan
terjadinya krisis dan fungsi pelayanan yang tidak efektif. Namun, beberapa
langkah positif sudah mulai dilakukan, seperti halnya salah satu proyek di
Ethiopia dengan menyampaikan informasi tentang isu HIV / AIDS kepada siswa
perempuan.
·
Polisi dan
patroli perbatasan
Polisi dan patroli perbatasan memainkan
peran penting dalam mencegah terjadinya perdagangan anak di bawah umur. Save
the Children Alliance di Afrika Barat telah menyiapkan pelatihan manual tentang
hak-hak anak untuk aparat penegak hukum dalam konteks perdagangan.
·
Organisasi
non-pemerintah
Di antara LSM yang aktif di wilayah
tersebut antara lain, Save the Children, ECPAT dan WAO.
·
Organisasi
berbasis masyarakat
Organisasi berbasis masyarakat ( CBO )
dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap langkah-langkah kebijakan yang
konkrit untuk menghambat perdagangan anak. Selain itu, adanya keterlibatan
masyarakat sipil dalam CBO inidapat meningkatkan kesadaran terhadap perdagangan
manusia.
·
Organisasi
Buruh
·
Media
Keterlibatan Potensi media tidak boleh
diremehkan, karena dampak media akan lebih besar dan dapat menarik simpati duia
internasional sehingga tingkat kepedulian terhadap kasus children trafficking
semakin tinggi.
·
Anak-anak dan
remaja
Keterlibatan anak-anak dan remaja menjadi
salah satu indikator penting. Karena mereka dapat berperan aktif dalam
membangun kesadaran dan memberikan pemahaman akan bahaya children
trafficking. Potensi kelompok pemuda dicontohkan dengan prestasi Gerakan
Pekerja Anak dan Pemuda Afrika yang terlibat dalam kampanye peningkatan
kesadaran terhadap trafficking.
·
organisasi-organisasi
internasional
Organisasi internasional juga
berkontribusi dalam menghambat perdagangan anak dengan mendukung upaya
pemerintah. Organisasi tersebut antara lain, PBB, IOM, ILO, UNICEF, UNODC,
UNICRI, OHCHR, UNHCR, ICRC, dan IFRC.
·
Adanya upaya penegakkan hukum dengan merumuskan instrumen hukum terkait people
smuggling, women and children trafficking. Sepertihalnya pada tahun 2008, sebanyak 143 pihak dalam yang meratifikasi Konvensi PBB tentang pengadilan terhadap tindak kejahatan transnasional Kejahatan terorganisir, 119 pihak yang meratifikasi Protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, dan 112 pihak yang meratifikasi Protokol PBB terkait penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara[16].
[2] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis, Trafficking Perdagangan Manusia, Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Diklat Kumdil, 2007. Hal.11.
[5] HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan perdagangan
Perempuan dan Anak, Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia Solidaritas
Perempuan, 2000, hal. 33
[6] Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan, Pedoman
Informasi, International Labour
Organization, 2004, hal.11
[7] http://www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf diakses pada 21 Maret 2014, pukul 18.50 WIB.
[9] DTP. Kusumawardhani, dkk, HUMAN TRAFFICKING: Pola Pencegahan dan Penanggulangan Terpadu Terhadap
Perdagangan Perempuan, Laporan Akhir Hasil Insentif Peneliti dan Perekayasa
LIPI, (Jakarta: LIPI,2010), hal.10
[11] M Gandhi Lapian & Geru, A. Hetty, 2010,
Trafficking Perempuan dan Anak: Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus:
Sulawesi Utara, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. Hal 132-133.
[12] Budi Winarno, Isu-Isu
Global Kontemporer, CAPS, Yogyakarta: 2011. Hal. 312-313.
[13] Ibid,hal
312-313.
[14] http://www.unicef-irc.org/publications/pdf/trafficking-gb2ed-2005.pdf
19.13 diakses pada 21 Maret 2014, pukul 18.58 WIB.
[15] Ibid.
[16] Lindsey King, International Law and Human
Trafficking; As of 2008, there are
143 parties to the United Nations Convention against Transnational Organized
Crime, 119 parties to the United Nations Protocol to Prevent, Suppress and
Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, and 112 parties
to the United Nations Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea
and Air.
0 comments