WOMEN AND CHILDREN TRAFFICKING

By Meisarah Marsa, S.Sos - Juni 12, 2014




           
A.    Kasus Perdagangan Wanita
Perdagangan manusia merupakan kejahatan serius yang perlu ditangani karena menyangkut pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam beberapa kasus perdagangan manusia lebih dominan terhadap wanita dan anak-anak. Seperti halnya dalam trafficking in persons report yang dilampirkan oleh IOM Indonesia pada tahun 2005-2010 terdapat jumlah korban perempuan dan anak perempuan yang cukup signifikan yaitu 3.417 dibanding dengan laki-laki yang hanya 368 korban.[1]
Global alliance against trafficking in women mendefinisikan perdagangan manusia sebagai tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan, transfer pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk ancaman, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut baik dibayar ataupun tidak, untuk kerja yang tidak diinginkannya (domestik, seksual, atau produksi) dalam ikatan kerja paksa atau dalam kondisi seperti perbudakan dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali.[2]
Perdagangan wanita dan anak-anak lebih mendominasi dikarenakan wanita lebih mudah dijadikan sarana perdagangan yang lebih menguntungkan. Dalam kegiatan seksual misalnya, wanita dan anak-anak dieksploitasi seksual menjadi pelacur atau sarana pornografi, memaksa menjadi pekerja, tindakan pemerasan dan ancaman yang memanfaatkan fisik, reproduksi.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan perempuan berkisar antara 700.000 hingga 2.000.000 orang setiap tahunnya.[3]
Permasalahan seksual secara paksa merupakan bentuk perdagangan berat seperti disebutkan oleh Trafficking Victims Protection Act tentang perdagangan seks di mana tindakan seks komersial diberlakukan secara paksa dengan cara penipuan, kebohongan dan belum mencapai usia 18 tahun, atau merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan dan mendapatkan seseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan, atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, penjeratan hutang atau perbudakan.[4]
 Pelanggaran HAM terkait dengan kasus perdagangan wanita dapat berupa penipuan, penyekapan, ancaman dan penggunaan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, pemutusan akses dengan keluarga dan bantuan jenis apapun, hak atas informasi, penyiksaan, kondisi hidup yang buruk, pemaksaan melacur, kondisi kerja yang tidak layak, penyitaan akses ke kesehatan, penyitaan identitas dan dokumen perjalanan, perempuan dipaksa menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan, diskriminasi, kehilangan kontrol terhadap hidup, penyangkalan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, penahanan ilegal dengan tuduhan palsu, penganiayaan, perkosaan dalam penahanan, pelanggaran dalam aspek hukum, pemaksaan pemeriksaan dan perawatan kesehatan.[5]

 Jender adalah bagian dari faktor penentu dalam perdagangan manusia. Perdagangan manusia adalah penjelmaan serius dari proses feminisasi kemiskinan dan tantangan-tantangan yang lebih besar yang dihadapi para perempuan dan anak perempuan di dunia yang masih di karakterisasi oleh diskriminasi jender, baik di dalam maupun di luar pasar lapangan kerja.[6]

Kasus perdagangan perempuan yang terjadi tahun 2007 di Indonesia misalnya,  dilakukan dengan modus pekerjaan dan gaji yang tinggi. Tetapi setelah berada  di Malaysia, mereka dipekerjakan ditempat yang tidak layak bahkan dilingkungan prositusi. Kasus ini terungkap setelah salah satu korban tertangkap pihak keamanan Malaysia karena tidak memiliki dokumen-dokumen yang sah. [7]
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi dan factor penyebab perdagangan manusia dengan perdagangan wanita tidak jauh berbeda. Karena, menyangkut usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan dan transportasi internal atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan dan lain sebagainya. Hanya saja perdagangan wanita lebih mengarah pada tindak kejahatan seksual dan pelacuran. Dan menjadi nilai lebih disbanding perdagangan laki-laki. Sehingga, perdagangan manusia terhadap kaum wanita pun memiliki angka yang tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Terjadinya perdagangan wanita disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
·         Faktor ekonomi, terutama kemiskinan dan pengangguran
·         Semakin berkembangnya materialism dan keinginan untuk hidup lebih baik.
·         Situasi keluarga yang mengalami gangguan
Para perempuan muda dan anak perempuan dari keluarga-keluarga miskin dan berhutang sering dijadikan pilihan oleh keluarga mereka untuk bekerja di daerah-daerah atau negara lain sebagai bagian dari strategi kelangsungan hidup. Selain itu, juga terdapat lebih banyak single parent, perbuatan sumbang, perselisihan perkawinan, dan perpecahan keluarga.
·         Kurangnya pendidikan
Kurangnya pendidikan dan keterampilan sangat memperburuk kerentanan dan perempuan dan anak perempuan. Karena mereka memiliki pilhan yang terbatas untuk mendapatkan penghasilan serta kekurangan akses informasi. Sehingga didalam negara mereka sendiri dan juga di negara tujuan, satu-satunya pekerjaan yang terbuka bagi perempuan yang kurang atau tidak berpendidikan adalah “pekerjaan feminin” yang berupah paling rendah dan paling rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan sewenang-wenang.
·         Diskriminasi
Banyak masyarakat yang masih memposisikan perempuan di nomor dua. Kondisi ini menyebabkan kemiskinan bagi perempuan sehingga mendorong perempuan terjebak dalam perdagangan manusia.
·         Kebijakan migrasi
Pembatasan migrasi yang disesuaikan dengan jender merupakan kebijakan pemerintah dalam usaha “melindungi” perempuan dan anak perempuan. Namun, dengan pembatasan migrasi tersebut justru membuat perempuan mencari saluran-saluran tidak resmi untuk migrasi dan semakin rentan untuk terjebak pada perdagangan.
·         Kerangka hukum dan pengaturan yang tidak efektif
Banyak negara yang memiliki pengaturan yang lemah dan mekanisme serta personil pengaturan yang kurang terfasilitasi. Banyak instasi-instasi penegak hukum mengabaikan nasib para korban perdagangan dan meremehkan jangkauan dari masalah perdagangan manusia. Atau kasus suap yang terjadi antar entitas pemerintah dengan para traffickers
·         Krisis ekonomi, bencana alam, perang dan konflik politik
Perpecahan keluarga, kurangnya dukungan masyarakat dan negara, serta minimnya pengamanan sosial mendorong perempuan untuk melarikan diri.  Dan dalam prosesnya, menempatkan diri mereka ditangan para pedagang. Daerah-daerah konflik dan pasca-konflik dengan kondisi perekonomian yang belum stabil membawa dampak yang cukup besar terhadap kasus perdagangan manusia terutama perdagangan wanita dan anak. Akibat menjadi sasarn empuk kekuasaan dengan kekuatan politik baru yang sewenang-wenang.[8]
Berikut merupakan bentuk-bentuk dari perdagangan wanita yakni:[9]
·         Pekerja / pembantu rumah tangga.
·         Pekerja Seks Komersial
·         Pengantin pesanan.
·         Tenaga penghibur, dimana perempuan yang direkrut menjadi tenaga penghibur mengalami pelecehan seksual dan ancaman bila tidak mau melayani para pengunjung.
Modus tindak perdagangan wanita dan anak diantaranya [10]:
·         Penculikan, terkadang para perempuan diculik dari satu negara dan dibawa secara paksa ke negara lain. Perempuan pribumi dan perempuan dari minoritas etnik mungkin sangat rentan.
·         Para pedagang mungkin membeli korban dari anggota keluarga secara kontan tunai. Bisa terjadi adanya keterlibatan dari pihak anggota keluarga. Mereka yang mengalami kekerasan keluarga akan lebih mungkin untuk diperdagangkan.
·         Para pedagang dapat meminjamkan uang dan memiliki kontrak dengan keluarga, kemudian si perempuan atau anak perempuan anggota keluarga dibawa keluar negeri untuk membayar kembali uang yang dipinjamkan pada keluarga.
·         Penipuan, para korban dipikat dengan penawaran-penawaran kerja. Setelah menyediakan pengangkutan dan surat-surat palsu untuk membawa korban ke tempat tujuan mereka, para pedagang kemudian mengenakan biaya-biaya yang sangat mahal atas pelayanan-pelayanan tersebut, menciptakan perhambaan karena hutang yang kekal.
·         Para korban dipikat dengan janji palsu tentang kesempatan-kesempatan menikah. Sindikat-sindikat kejahatan memanfaatkan jasa pelayanan pernikahan, jasa pelayanan pengantin pesanan lewat pos dan biro jodoh bahkan internet untuk menemukan korban mereka. Para pedagang bahkan mungkin melakukan pernikahan palsu dengan para korban mereka.

B.     Kasus Perdagangan Anak
            Problematika perdagangan anak (children trafficking) merupakan salah satu isu global yang berkaitan erat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Perdagangan anak (children trafficking) dapat diartikan sebagai tindak perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak di bawah usia delapan belas tahun dengan penggunaan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya seperti, penculikan, dan penipuan yang bertujuan eksploitasi[11].
            Eksploitasi bisa berbentuk eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, atau pengambilan organ tubuh. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa perdagangan anak di bawah delapan belas tahun dengan tujuan eksploitasi merupakan tindak kejahatan dan pelanggaran HAM berat.
Penyebab utama dari perdagangan anak tidak jauh berbeda dengan kasus penyelundupan manusia (people smuggling). Kasus children trafficking ini juga meliputi persoalan kemiskinan, lemahnya pemerintahan, kurangnya perlindungan yang efektif terhadap diskriminasi dan eksploitasi, ketenagakerjaan, kemigrasian, dan tindakan lain yang merugikan.
            Secara khusus, ketimpangan ekonomi, penindasan dan diskriminasi dapat menempatkan anak-anak di risiko yang lebih besar. Adanya tuntutan perkembangan globalisasi menjadikan tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi semakin tinggi. Sehingga mempengaruhi tingkat pemasaran dan kebutuhan tenaga kerja yang berimplikasi pada peningkatan taraf hidup masyarakat global. Namun di samping itu, bahaya children trafficking menjadi kekhawatiran yang harus diwaspadai.
            Kasus perdagangan anak ini semakin meluas di era globalisasi. Karena faktanya, banyak anak-anak dan remaja putri yang rentan dan mudah terbius oleh gaya hidup dan kecanggihan teknologi di era globalisasi. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para calo (traffickers) untuk menipu dan kemudian mengeksploitasi anak-anak.
            Di Afrika, terdapat beberapa aspek yang menjadi sorotan penting dalam kasus perdagangan anak ini, di antaranya  yaitu adanya eksploitasi seksual, ekonomi, dan maalpraktek. Pada tahun 2004 misalnya, berdasarkan laporan dari website ILO dalam “Defining the Scale of the Problem” menyebutkan bahwa sekitar 600.000-800.000 orang menjadi korban perdagangan manusia pada skala internasional yang terdiri dari 80% perempuan, 50% anak-anak yang ditujukan untuk eksplotasi seksual[12]. 
            Kasus eksploitasi ekonomi juga dirasakan di Afrika. Para gadis-gadis Togo dan anak-anak di Afrika Barat khususnya dipekerjakan sebagai sumber tenaga kerja murah. Kebanyakan dari mereka dipekerjakan sebagai buruh pertanian dan perkebunan komersial, pertambangan yang berbahaya, industri tambahan, dan rumah tangga. Data ILO memperkirakan keuntungan bisnis perdagangan manusia mencapai US$ 33.9 miliar pertahun[13].
            Di bagian barat Kenya, Zimbabwe dan Ghana, kasus maalpraktik atau praktik tradisional banyak terjadi. Di mana pernikahan dini di paksakan guna memperluas perdagangan dan pengembangan ras untuk mendapatkan link nasional dengan suku masyarakat migran. Praktik ini dapat membahayakan para remaja wanita terhadap infeksi HIV / AIDS. Praktik tradisional lain yang diduga terkait dengan trafficking adalah penggunaan organ atau bagian tubuh dalam ritual.

A.    Upaya Menghambat Perkembangan Children Trafficking
Komite Afrika pertama didirikan pada April 2002 yang membahas tentang hak dan kesejahteraan anak, di Addis Ababa. Komite ini didirikan untuk menangani isu-isu penting terkait perdagangan anak dalam konflik bersenjata, buruh anak, pelecehan seksual, anak yang terinfeksi HIV / AIDS, dan pendidikan.
 Komite ke dua didirikan di Nairobi, Kenya pada tanggal 17 Februari 2003. Komite ini bertujuan untuk [14]:
·         Meningkatkan dan melindungi hak-hak yang tercantum dalam piagam kegiatan yang berbeda termasuk peran aktif Organisasi Persatuan Afrika dalam penyusunan "Rencana Aksi untuk Memberantas Perdagangan Manusia, terutama perempuan dan anak".
·         Mengumpulkan dan mendokumentasikan informasi mengenai situasi di Afrika serta mendorong pergerakan lembaga-lembaga lokal dan nasional untuk menangani masalah tersebut yang kemudian direkomendasikan kepada pemerintah.
·         Merumuskan dan menetapkan prinsip-prinsip dan aturan yang bertujuan melindungi hak-hak dan kesejahteraan anak di Afrika bekerja sama dengan lembaga dan organisasi regional yang bersangkutan.

            Upaya lain yang bisa dilakukan untuk menghambat (children trafficking) adalah dengan berkolaborasi dan menjalin kerjasama dan melakukan pemulihan secara psikologis, materi dan non materi. Kerja sama dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa entitas seperti[15]:
·         Lembaga pemerintahan
      Pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam menghambat praktek perdagangan. Di beberapa negara Afrika, perdagangan manusia ditangani oleh kementerian Luar Negeri dan lembaga khusus yang bertanggung jawab atas urusan perempuan dan anak-anak.
·         Sistem pelayanan sosial nasional dan sektor pendidikan
      Pelayanan sosial di Afrika pada umumnya memiliki sumber daya yang terbatas, baik dari segi keuangan maupun potensi para relawan yang masih membutuhkan banyak tenaga ahli. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis dan fungsi pelayanan yang tidak efektif. Namun, beberapa langkah positif sudah mulai dilakukan, seperti halnya salah satu proyek di Ethiopia dengan menyampaikan informasi tentang isu HIV / AIDS kepada siswa perempuan. 
·         Polisi dan patroli perbatasan
      Polisi dan patroli perbatasan memainkan peran penting dalam mencegah terjadinya perdagangan anak di bawah umur. Save the Children Alliance di Afrika Barat telah menyiapkan pelatihan manual tentang hak-hak anak untuk aparat penegak hukum dalam konteks perdagangan.
·         Organisasi non-pemerintah
      Di antara LSM yang aktif di wilayah tersebut antara lain, Save the Children, ECPAT dan WAO.
·         Organisasi berbasis masyarakat
      Organisasi berbasis masyarakat ( CBO ) dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap langkah-langkah kebijakan yang konkrit untuk menghambat perdagangan anak. Selain itu, adanya keterlibatan masyarakat sipil dalam CBO inidapat meningkatkan kesadaran terhadap perdagangan manusia.
·         Organisasi Buruh
·         Media
      Keterlibatan Potensi media tidak boleh diremehkan, karena dampak media akan lebih besar dan dapat menarik simpati duia internasional sehingga tingkat kepedulian terhadap kasus children trafficking semakin tinggi.
·         Anak-anak dan remaja
      Keterlibatan anak-anak dan remaja menjadi salah satu indikator penting. Karena mereka dapat berperan aktif dalam membangun kesadaran dan memberikan pemahaman akan bahaya children trafficking. Potensi kelompok pemuda dicontohkan dengan prestasi Gerakan Pekerja Anak dan Pemuda Afrika yang terlibat dalam kampanye peningkatan kesadaran terhadap trafficking.
·         organisasi-organisasi internasional
      Organisasi internasional juga berkontribusi dalam menghambat perdagangan anak dengan mendukung upaya pemerintah. Organisasi tersebut antara lain, PBB, IOM, ILO, UNICEF, UNODC, UNICRI, OHCHR, UNHCR, ICRC, dan IFRC.
·         Adanya upaya penegakkan hukum dengan merumuskan instrumen hukum terkait people smuggling, women and children trafficking. Sepertihalnya pada tahun 2008, sebanyak 143 pihak dalam yang meratifikasi Konvensi PBB tentang pengadilan terhadap tindak kejahatan transnasional Kejahatan terorganisir, 119 pihak yang meratifikasi Protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, dan 112 pihak yang meratifikasi Protokol PBB terkait penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara[16]


           







[1] www.iom.or.id Diakses pada 21 Maret 2014, pukul 17.15 WIB.
[2] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis, Trafficking Perdagangan Manusia, Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil, 2007. Hal.11.
[4] Naskah akademis, Op.Cit., hal. 11
[5] HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan perdagangan Perempuan dan Anak, Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia Solidaritas Perempuan, 2000, hal. 33
[6] Perdagangan Perempuan dan Anak Perempuan, Pedoman Informasi, International Labour Organization, 2004, hal.11
[7] http://www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf diakses pada 21 Maret 2014, pukul 18.50 WIB.
[8] United States of America Department of State, Trafficking in Persons Report June2003,   hal.8-9.
[9] DTP. Kusumawardhani, dkk, HUMAN TRAFFICKING: Pola Pencegahan dan Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan, Laporan Akhir Hasil Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI, (Jakarta: LIPI,2010), hal.10
[10] Pedoman informasi, Op,Cit., hal 20
[11] M Gandhi Lapian & Geru, A. Hetty, 2010, Trafficking Perempuan dan Anak: Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. Hal 132-133.

[12] Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer, CAPS, Yogyakarta: 2011. Hal. 312-313.
[13] Ibid,hal 312-313.
[15] Ibid.
[16] Lindsey King, International Law and Human Trafficking;  As of 2008, there are 143 parties to the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, 119 parties to the United Nations Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, and 112 parties to the United Nations Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments