A. Kebijakan Luar Negeri Iran
Iran
merupakan sebuah negara yang cukup menonjol di kancah internaional. Di mana pada
tahun 1970an, Iran dianggap sebagai aktor penting di kawasan Teluk. Aspek
geografi memiliki pengaruh yang cukup penting dalam kebijakan luar negeri Iran.
Di mana dengan pengaruh geografi tersebut, Iran menjadi lebih terekspos sebagai
great power rivalries di kawasan
Teluk. Di samping itu, Iran berhasil menarik simpati masyarakat dunia pasca
lengsernya rejim Syah Pahlevi oleh koalisi Islam dan pasukan radikal. James
Piscatori mencatat bahwa Iran berkembang sangat dramatis pada beberapa tahun
terakhir, di mana Iran dikenal sebagai negara yang sangat independen, berani
menentang negara super power seperti US, proaktif agama, dan non-blok. Pada
perkembangan berikutnya, Iran mengutamakan pengaruh geopolitik, geostrategis,
dan globalisasi dalam hubungan internasional.
Jika
dilihat dari sudut pandang geopolitik, terdapat pengaruh barat yang cukup kuat
pada masa sebelum lengsernya Shah Pahlevi. Di mana ladang minyak dan emas hitam
Iran menjadi daya tarik kepentingan ekonomi yang paling krusial. Sehingga, AS
memberikan dukungan penuh tehadap pemerintahan Syah Pahlevi pada waktu itu.
Namun, Pahlevi berhasil digulingkan melalui Islamic
Revolution 1979 oleh Ayatulloh Khomeini dan kemudian membentuk Republik
Islam Iran. Sejak saat itu, Iran terus berupaya untuk menjadi kekuatan militer
utama di kasawan Teluk. Sejak terjadinya revolusi Iran, power yang dimiliki
oleh Iran dikerahkan untuk kepentingan otonomi negara dan tidak lagi berpihak
ke Barat meskipun pada saat ini Iran belum mampu melepaskan diri dari
perekonomian kapitalis. Dengan hanya bergantung pada SDA di saat hubungan Iran
semakin rumit dengan negara barat yang sebelumnya menjadi partner dan konsumen
SDAnya membuat perekonomian Iran mengalami stagnasi. Perbaikan struktur
perekonomian pun kemudian dilakukan pada masa Rafsanjani dengan meregulasi ulang
strategi reformasi ekonomi yang dirancang seperti IMF.
Iran juga
menilai negaranya sebagai islamic actor yang
berperan penting di Timur Tengah. Sejak 1979, Iran menambahkan aspek agama
dalam kredibilitas powernya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penentangan
status quo dan integrasi politik kawasan oleh Iran yang didominasi Syiah.
Penentangan tersebut ditujukan kepada Arab Saudi yang didominasi oleh Sunni. Aspek
lainnya yang juga sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri Iran adalah perang
Iran-Irak. Pada masa perang melawan Irak, posisi Iran juga bertentangan dengan
sejumlah negara Arab dan lebih terisolasi. Selain itu, pembentukan Hizbulloh
dan strategi Levant Teheran juga ditujukan untuk pergerakan Syiah. Aspek
lainnya dari strategi Teheran ini difouskan pada konflik Arab Israel. Hubungan
Iran dengan negara-negara Arab sempat mencair ketika Iran memilih mengambil
posisi netral pada saat invasi Irak ke Kuwait. Dalam konflik Arab-Israel, Iran
tidak mengambil kebijakan yang menguntungkan Israel. Pada masa Khatami, Iran
memiliki jaringan yang luas dengan negara-negara di dunia.
Kebijakan
luar negeri Iran mengundang perdebatan dari berbagai analis. Terkait dengan
kebijakan pada masa Rafsanjani dan Khatami yang lebih memilih memasukkan aspek
ideologi dalam kebijakan luar negerinya. Hal ini menurut Clawson moderat Iran
tidak jauh berbeda dengan konsep radikal.
Pada masa Khatami, kebijakan lebih difokuskan pada pertumbuhan ekonomi
dan reformasi politik.
B. Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi
Arab
Saudi dikenal sebagai negara pengahasil minyak terbesar di dunia dan memiliki 2
kota terkenal yaitu Mekah dan Madinah. Karena memiliki 2 kota utama Muslim,
maka Arab saudi mengklaim negaranya sebagai pemimpin negara Muslim. Kebijakan
luar negeri Arab Saudi sendiri beroperasi di 3 level, yaitu :
1. Level internasional, didominasi oleh strategi aliansi
Saudi dengan US dan mengintegrasikan world
economic dan strategic system
yang lebih luas melaui perannya sebagai major
world oil producer
2. Level regional, sebagai penyeimbang (balance of power)
antar negara-negara di Timur Tengah
3. Level semenanjung Arab, Arab Saudi sebagai hegemon, Arab Saudi berupaya untuk mencegah munculnya hegemoni regional
dengan membentuk Gulg
Cooperation Council (GCC). Pengambilan keputusan
kebijakan luar negeri Saudi Arabia dipegang oleh anggota keluarga kerajaan. Sedangkan orang-orang di luar
kerajaan sebagai penasehat pengambilan keputusan.
Beberapa catatan kebijakan luar negeri Arab Saudi antara
lain :
-
membentuk OPEC tahun 1960
-
embargo minyak ke AS tahun 1973-1974
-
mengambil
kontrol ARAMCO (Arabian-American Oil
Company)
-
menolak
mendukung Camp David Accords pada
akhir 1970an
-
menolak pada
sejumlah kesempatan pasca 1991 untuk membolehkan/memungkinkan AS menggunakan
fasilitas Saudi untuk menyerang Iraq.
Pada faktanya, dalam konteks hubungan Arab
Saudi dengan AS, Saudi mempertahankan cukup banyak otonomi. Meski hubungan
Saudi dan AS tidak selalu konsisten. Hubungan kedekatan Saudi dengan AS
tergambar ketika AS memberikan bantuan militer pada Saudi saat melawan Presiden
Mesir Gamal Abdul Nasser akhir tahun 1950an dan awal tahun 1960an. Namun
hubungan tersebut merenggang saat perang Arab-Israel tahun 1973. Hubungan
tersebut kemudian berangsur membaik pada saat perang Iran-Irak di mana Saudi
dihadapkan pada pilihan sulit dalam politik regional. Melihat pada konteks
tersebut dapat disimpulkan bahwa Integrasi Arab Saudi dalam world economic dan strategic system lebih baik dipahami dalam hubungan asymmetric interdependence.
Kedua
artikel tersebut menjelaskan tentang proses kebijakan luar negeri dan latar
belakang sejarah yang mempengaruhinya. Hanya saja, dalam artikel Foreign Policy of Saudi Arabia lebih
menjelaskan peran kebijakan luar negeri Saudi di 3 level yang berbeda.
Sedangkan dalam Foreign Policy of Iran
lebih menjelaskan tentang kebijakan luar negeri Iran yang mengundang perdebatan
karena menentang status quo dan menjadi great
power rivalries. Meskipun kedua negara tersebut saling mengklaim sebagai
negara utama di kawasan Timur Tengah karena tidak dipungkiri, kedua negara
tersebut juga memiliki power yang hampir sama. Namun karena Iran dan Arab Saudi
memiliki aliansi dan ideologi yang berbeda, sehingga menyebabkan keduanya
saling terlibat dalam sengketa dan persaingan. Terutama dari segi politik yang
menyebabkan kedua negara tersebut seringkali dalam situasi panas. Sehingga tidak
mengherankan lagi jika Iran selalu kontroversi dengan Arab Saudi dalam
mengeluarkan keputusan terkait kebijakan luar negeri.
2 comments
thanks infonya kak... ngomong-ngomong gimana perkembangan dari kebijakan luar negeri Saudi Arab terhadap pengembangan nuklir di iran kak/ apakah ada sturggle of power yang di lakukan oleh Arab untuk mengantisipasi ancaman dari nuklir Iran. jika melihat perseteruan kedua negera, Iran bisa saja menggunakan nuklir sebagai Power meski hanya bersifat mengancam. namun permasalah baru muncul ketika diplomat-diplomat Iran menyatakan bahwa Pengembangan nuklir di iran BERBASIS Teknologi Nuklir Damai.
BalasHapusmungkin sebgai tambahan kaka. apakah negara yang ada di sekitar iran mulai merubah arah kebijakan luar negeri mereka di bidang ke amanana? dan negara mana saja di sekiar irn yang berpotensi menjadi lawan maupun kawan iran dalam kerjasama ekopol?
MOHON BALASAN KE: agungimam41@gmail.com
thanks readers ^^
Hapusma'af baru saya balas, semoga belum terlambat
hal yang menjadi fokus jawaban saya adalah tidak dipungkiri bahwa nuklir Iran memang menjadi pemicu gelombang kebangkitan nuklir di Timur Tengah. Fakta dapat ditemukan dari munculnya berbagai kerjasama terkait nuklir yang diupayakan oleh negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Turki. Negara-negara Timur Tengah tersebut berupaya membangun kerjasama nuklir dengan negara Jepang, Rusia, dan Prancis (tiga negara ini cukup tertarik melakukan kerjasama nuklir dengan negara Timur Tengah.
Tentunya, negara-negara Timur Tengah tersebut membangun kerjasama nuklir bukan tanpa alasan. Jika dilihat dari kacamata realis, maka sangat memungkinkan jika negara tersebut menggunakan nuklir sebagai peningkatan power negaranya. Hal ini semakin diperkuat dengan munculnya kekuatan nuklir baru di Turki dan Arab Saudi yang keduanya merupakan pesaing Iran dalam kancah perebutan hegemoni di Timur Tengah. Sehingga, nuklir dipandang sebagai upaya survive mereka.
Yup, statement yang penting untuk digarisbawahi bahwa beberapa negara Timur Tengah sekarang sedang berupaya meningkatkan power mereka.
Memang jika dilihat dari kacamata liberalis, kekuatan nuklir bisa digunakan untuk melengkapi sekaligus menggantikan energi minyak di Timur Tengah yang mulai menipis dan memiliki daya jual rendah untuk saat ini. Untuk itu, kekuatan nuklir hanya dipandang sebagai alat untuk mengirit ekonomi negara-negara Timur Tengah, yang membeli loyalitas warganya dengan harga minyak.
Akan tetapi, siapa sangka permainan perebutan hegemoni akan tetap terus berlanjut. Jika pertanyaan anda ingin terjawab, maka kacamata realis dapat menjadi kunci jawaban yang paling tepat.