After The Arab Spring : Political Islam on The Rise? by Michael A Lange
By Meisarah Marsa, S.Sos - Februari 22, 2015
Michael A Lange merupakan kepala
bidang dialog politik dan tem analisis dari Department
for European and International Cooperation of the Konrad Adenauer-Stiftung
di Berlin. Dalam tulisannya tentang politik islam pasca Arab Spring, Lange
memaparkan konsep transisi dan perkembangan politik Islam dengan mengambil
studi kasus negara-negara bagian utara Afrika terutama Mesir, Maroko dan
Tunisia. Terpilihnya partai Ennahda di Tunisia pada Oktober 2011, adanya
dominasi the Justice and Development Party (PDJ) di Maroko pada November 2011 dan
kemenangan Muslim Brotherhood’s Freedom and Justice Party (FJP) dalam pemilihan
parlemen di Mesir pada periode 2011/2012 menjadi suatu fenomena yang menandakan
kebangkitan Islam atau yang dikenal dengan Arab Spring.
Secara teoritis, konsep transisi
demokrasi dibedakan dalam dua fase, yaitu fase pembebasan dari pemerintahan
yang otoriter dan pembentukan konstitusi yang demokratis. Setiap tahapan transisi demokrasi memiliki
konsekuensi yang berbeda di tiap negara-negara Arab. Di Mesir dan Tunisia,
tahapan transisi demokrasi pasca Arab Spring berjalan sangat lambat. Menurut
Lange, hal ini disebabkan karena sebagian besar negara-negara di bagian Utara
Afrika memiliki voting pattern yang
hampir sama. Dan sangat sulit menemukan para politisi yang sarat akan health politic. Karena banyak para
pemain politik yang memanfaatkan lamanya masa jabatan mereka untuk melakukan
tindakan korupsi sehingga menimbulkan dampak yang cukup serius yang memicu
pemberontakan dan protes dari sejumlah pihak.
Lange juga menambahkan bahwa peran oposisi
sebelumnya tidak memainkan perannya sebagai pengawas dan pengkritik kebijakan
pemerintahan. Pihak oposisi dinilai Lange tidak mampu menentang rejim yang
berkuasa. Hal ini menggambarkan bahwa pihak oposisi tidak memiliki kredibilitas
sehingga sulit untuk menemukan alternatif pemimpin baru yang mampu mengkritisi
pemerintahan. Sehingga, pemerintahan yang ada akan selalu mempertahankan
kekuasaannya tanpa ada penentangan dari pihak oposisi yang kuat. Tunisia dan
Mesir merupakan negara dengan masyarakat yang homogen secara etnik dan agama.
Faktor inilah yang kemudian dijadikan sebagai penggerak masa yang dimobilisasi
untuk menggulingkan pemerintahan rejim yang berkuasa.
Tuntunan kelompok kepentingan atas
kemanusiaan dan keadilan sosial yang kemudian menimbulkan pergolakan merupakan
respon dari restrukturisasi tatanan politik yang ada. Dan dalam beberapa bulan
terakhir, tuntutan tersebut kemudian mendesak tatanan politik yang ada untuk
segera diganti dengan tatanan politik yang baru. Namun, baik Tunisia maupun
Mesir memiliki cara yang berbeda untuk merealisasikan hal tersebut. Setelah
menggulingkan rejim penguasa, masing-masing negara masih harus menghadapi
pengaruh yang ditinggalkan oleh politik penguasa sebelumnya. Hal ini
menjunjukkan bahwa representasi politik islam yang baru sangat jauh berbeda
dengan representasi politik islam sebelum Arab Spring.
Di Maroko, Islamists of PDJ tetap memainkan perannya dan mencapai kesuksesan
moderat. Adanya dukungan kelompok agama yang loyal terhadap rejim menempatkan
posisi mereka untuk memimpin pemerintahan Maroko yang baru. Dimana baru-baru
ini telah dilaksanakan pemilihan parlemen yang sejalan dengan konstitusi baru
di mana Abdeillah Benkirane yang terpilih sebagai pemimpin mayoritas di
parlemen Maroko diminta untuk membentuk suatu pemerintahan baru.
Di Mesir setelah tiga tahun
revolusi, setidaknya masih terdapat tiga hal yang belum berubah. Pertama, pihak militer masih menjadi penguasa
politik hingga saat ini. Kedua,
Ikhwanul Muslimin (IM) kembali dilarang untuk menguasai pencaturan politik. Ketiga, Mesir masih tetap mempertahankan identitas
sebagai negara prularis yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi baru.
Konstitusi baru ini telah mendapat persetujuan sekitar 98,1 % suara dalam
referendum yang diadakan pada pertengahan Januari 2014 lalu.
Tunisia hingga saat ini dapat
dikatakan lebih berhasil daripada Mesir dalam perkembangan demokrasi. Setelah
lengsernya rejim Zine al-Abidine Ben Ali melalui revolusi rakyat tahun 2011
menjadi langkah baru bagi Tunisia untuk memasuki era demokrasi. Selain
pembebasan rejim, Tunisia juga mengalami fase pembentukan konstitusi. Konstitusi
baru Tunisia kemudian disahkan pada 27 Januari 2014. Konstitusi baru tersebut
menggantikan konstitusi lama yang sebelumnya disahkan pada tahun 1959. Di mana
konstitusi 1959 tersebut dikenal sebagai konstitusi paling sekular di
negara-negara Arab. Konstitusi baru ini lebih menegaskan Islam sebagai agama
negara. Tidak jauh berbeda dengan konstitusi lama, konstitusi baru juga
berisikan prinsip identitas warga sipil dan emansipasi wanita. Keberhasilan
Tunisia dalam proses transisi demokrasi tidak lepas dari peran masyarakat sipil
Tunisia. Di mana masyarakat sipil dapat berperan dalam membatasi dan mengontrol
kekuasaan, mengekspos informasi terutama terkait permasalahan korupsi.
Dalam konstitusi baru Tunisia, terdapat
reformasi kelembagaan yang dibagi ke dalam tiga badan konstitusioanal utama yaitu
presiden, parlemen, dan pemerintah yang dikontrol oleh tiga partai besar. Pemerintah
sementara Tunisia juga membentuk lembaga khusus yang menangani masalah terkait
konstitusi, keamanan, dan korupsi. Selain itu, dibentuk juga sebuah komite
pemilihan umum yang melibatkan pihak oposisi yang diketuai oleh Kemal Jendoubi.
Komite ini ditugaskan untuk menetapkan parameter untuk kelancaran pemilihan
umum yang diserahkan kepada Majelis Konstituante Nasional.
Berdasarkan penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa progres proses transisi yang terjadi di negara-negara
bagian Utara Afrika mengalami kemajuan, terutama di Tunisia, Mesir dan Maroko. Terjadinya
fenomena Arab Spring menandakan dimulainya sejarah baru di Timur Tengah sebagai
titik perubahan, reformasi kelembagaan dan kebebasan masyarakat sipil dalam
berserikat. Selain itu, masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam
mendorong demokratisasi pasca Arab Spring.