Penyimpangan dan Pengendalian Sosial

By Meisarah Marsa, S.Sos - April 01, 2013


oleh : Meisarah Marsa
A.    Pendahuluan
Pada dasarnya, setiap individu mempunyai pola tingkah laku yang berbeda dikarenakan faktor lingkungan sosial.Sehingga, untuk mengatasi perbedaan tersebutdibentuklah suatu prinsip yang tergambar sebagai nilai dan norma agar tercipta suatu kesatuan dan keteraturan. Konsekuensi dari aturan nilai dan norma ini menimbulkan dua kelompok yang bertentangan yaitu, tingkahlaku yang sesuai dengan nilai dan norma “conform behavior” dan tingkahlaku yang menyimpang “deviant behavior”.
1.1  Latar Belakang Masalah
Kehidupan manusia bersifat dinamis yang berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut tidak hanya terdapat pada pola masyarakat saja, tetapi juga kebiasaan (life style), adat istiadat, serta nilai dan norma. Dapat kita lihat bahwa pola kebudayaan suatu masyarakat tertentu berbeda dengan masyarakat lainnya.Sehingga,terkadang ketidaksesuaian pola antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain dianggap sebagai suatu hal yang menyimpang.
1.2 Rumusan Masalah
Sejalan dengan perkembangan globalisasi, masalah prilaku menyimpang yang menjadi ancaman nyata terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan sosial marak terjadi. Sehingga, muncul banyak persepsi mengenai perilaku menyimpang itu sendiri dari berbagai kalangan. Untuk itu, hal-hal yang perlu dibahas adalah:
1.      Apakah yang dimaksud dengan perilaku menyimpang baik secara umum maupun dari berbagai macam perspektif?
2.      Apakah ada kriteria atau standar tertentu terhadap perilaku menyimpang?
3.      Bagaimana reaksi dan tanggapan masyarakat terhadap perilaku menyimpang?

1.3  Tujuan dan Manfaat
Tulisan ini bertujuan untuk melengkapi tugas sosiologi sebagai “Ujian Akhir Semester” dan untuk menambah pengetahuan tentang perilaku menyimpang dan kontrol sosial secara lebih mendalam.
B.     Pembahasan
Berdasarkan historis analisa dan studi mengenai perilaku menyimpang, bahwa pada abad-18 para pendeta di Amerika dan Eropa Barat khususnya Inggris telah menulis beberapa artikel mengenai jenis tingkahlaku yang kemudian digolongkan oleh ahli sosiologi sebagai perilaku menyimpang. Secara akademis, hal ini mulai berkembang pada 1865 dengan dibentuknya “American Social Science Association”. Dalam pengajarannya sebagai salah satu disiplin ilmu sosiologi, perilaku menyimpang didefinisikan secara umum sebagai tingkah laku menyimpang dari norma-norma sosial.
Dari definisi umum tersebut, perilaku menyimpang dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Selain itu, para ahli juga mengembangkannya dalam berbagai konsep tergantung perspektif yang mereka gunakan.
Beberapa ahli mendefinisikan perilaku menyimpang dari sudut pandang berbeda. Ada yang fokus pada pelakunya “actor”, tindakannya “the act”, atau perhatiannya kepada aspek dan fungsi kontrolnya “social control[1]. Berikut pendapat beberapa ahli mengenai perilaku menyimpang:
1.      James Vander Zander: semua tindakan yang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi oleh sejumlah orang.
2.      Robert M.Z. Lawang: semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dari sistem itu untuk memperbaiki prilaku tersebut.
3.      Bruce J. Cohen: setiap prilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat atau tingkahlaku melanggar, bertentangan, atau menyimpang dari aturan normative maupun dari harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.
4.      Paul B. Horton: setiap prilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat.
5.      Lemert : perilaku menyimpang merupakan konsekwensi dari kontrol sosial.


Selain pendapat para ahli, berikut penjelasan perilaku menyimpang dari berbagai perspektif:
1.      Perspektif Interaksionalisme Simbolis:
penganut perspektif ini mengembangkan beberapa teori untuk menjelaskan penyimpangan diantaranya, teori asosiasi diferensial (orang belajar untuk menyimpang dengan cara bergaul dengan orang lain), teori pengendalian (penyimpangan disebabkan karena kurang memiliki pengendalian yang efektif), teori pemberian label (pemberian julukan pada nama atau reputasi terhadap perilaku menyimpang), dan teknik netralisasi untuk terus menganggap dirinya konformisguna menutupi perilaku menyimpang.
Seorang sosiolog penganut interaksionisme simbolis S. Howard Becker (1966) mendeskripsikan penyimpangan sebagai reaksi dari pihak lain terhadap tindakan tersebut yang menjadikannya sebagai suatu penyimpangan.
2.      Perspektif Fungsionalis:
Para fungsionalis menunjukkan bahwa penyimpangan atau kejahatan merupakan konsekuensi dari sosialisasi tanpa mengetahui cara untuk meraih sosialisasi yang baik. Beberapa teorinya adalah, teori ketegangan (orang yang meninggalkan tujuan sehingga memakai cara menyimpang untuk mencapainya), teori kesempatan tidak sah (menekankan cara yang ilegal untuk mencapai tujuan).
Berdasarkan argumentasi Merton, terdapat empat jalur terjadinya perilaku menyimpang yaitu, innovasi (orang yang menerima tujuan masyarakat, namun menggunakan cara tidak sah untuk meraihnya), ritualism (orang yang putus asa dan menyerah dalam upaya meraih tujuan, namun mereka masih berpegang pada peraturan perilaku yang konvensional), pengunduran diri (menolak baik tujuan maupun peraturan perilaku yang konfensional, seperti mereka yang meninggalkan kesuksesan dengan beralih ke alkohol), dan pemberontakan (menggantikan tujuan yang ada dengan tujuan baru seperti para revolusioner)[2].
Cara Adaptasi
Tujuan Budaya
Sarana Institusional
Inovasi
menerima
menolak
Ritualisme
menolak
menerima
Pengunduran Diri
menolak
menolak
Pemberontakan
menolak/mengganti
menolak/mengganti
3.      Perspektif Konflik
Para ahli teori konflik mengambil posisi bahwa kelompok yang berkuasa (kelas kapitalis) menutupi penyimpangan pada kelompok lain (kelas pekerja). Perspektif ini menganggap bahwa kelas pekerja melakukan kejahatan secara jelas, sedangkan kelas kapitalis mengatur dan menggunakan sistem pengadilan pidana untuk menghukum kejahatan kelas pekerja sambil mengalihkan kejahatan mereka sendiri.
Berdasarkan suatu perspektif sosiologis, penyimpangan bersifat relatif. Relatif dalam hal ini adalah nilai dan norma yang berlaku di dalam suatu kelompok yang mungkin tidak berlaku dikelompok lainnya. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan anggapan mengenai perbuatan menyimpang dari berbagai golongan/kelompok, selain itu perilaku menyimpang juga dianggap seperti gaya hidup, kebiasaan, dan mode yang dapat berubah dari waktu ke waktu.Adanya sifat relatif tersebut menimbulkan:
1.      Penyimpangan positif (perilaku minoritas yang tidak sejalan dengan perilaku mayoritas) seperti: satu orang yang tekun beribadah di dalam kampung yang mayoritas penduduknya berprilaku buruk. 
2.      Penyimpangan negatif
Menurut Paul B. Horton, ciri-ciri perilaku menyimpang adalah:apakah dapat merugikan banyak orang atau tidak, terkadang bernilai positif (bisa diterima) dan bernilai negatif (ditolak), bersifat relatif (yang masih dapat ditoleran) atau mutlak (yang tidak dapat ditolerir lagi), menyimpang terhadap budaya nyata dan budaya ideal, pelanggaran terhadap norma-norma, dan bersifat adaptif (penyesuaian).
Selain itu, terdapat empat dimensi mengenai perilaku menyimpang, diantaranya:
1.      Statistical: pendekatan ini berasumsi bahwa sebagian besar masyarakat dianggap melakukan cara-cara dan tindakan yang benar. Sehingga, mayoritas penduduk yang melakukan keburukan juga akan dianggap benar.
2.      Absolut/mutlak: pendekatan ini banyak terjadi di pedesaan yang masih memegang teguh adat istiadat.
3.      Reaktive: pendekatan ini menilai bagaimana reaksi masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan seseorang.
4.      Normative: norma dalam hal ini adalah standar tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan.
Kualitas tindakan menyimpang yang dilakukan seseorang juga dapat dikategorikan berdasarkan rangkaian pengalamannya dalam melakukan tindakan tersebut. Ada dua jenis rangkaian pengalaman seseorang yang dapat dikategorikan menyimpang[3], yaitu:
1.      primary deviance,
dimana seseorang memulai tindakan penyimpangannya dari penyimpangan kecil yang mungkin tidak disadarinya, sehingga si pelaku tidak sadar kalau perbuatannya itu dapat menjerumuskannya ke arah penyimpangan yang lebih besar. Seperti, sekelompok anak yang mengambil mangga tetangganya tanpa meminta izin hal ini terus menjadi kebiasaan, ketika dewasa pun anak tersebut terbiasa melakukan pencurian bahkan terhadap tetangganya sendiri.

2.      secondary deviance
terjadi bila si penyimpang itu mendapatkan dorongan dan kekuatan melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang. Seperti, para perampok yang bekerjasama melakukan kejahatannya dalam kasus perampokan bank.

            Perilaku menyimpang sering berkaitan dengan status sosial. Perbedaan status sosial cenderung memiliki gaya hidup yang berbeda pula.Berdasarkan skala Guttman, terdapat empat aspek yang membedakan status social yaitu, kekayaan, pendidikan, kekuasaan, dan kehormatan. Penyimpangan yang terjadi terkadang menekankan pada salah satu atau beberapa dari empat kriteria tersebut[4].
            Penyimpangan sosial juga berkaitan dengan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan hidupnya[5]. Menurut Freud, ada 3 aspek yang membentuk pribadi manusia yaitu, Id, Ego, dan Superego. Tiga hal inilah yang menuntut kepuasan terhadap diri manusia. Sehingga, apabila kepuasan tersebut tidak terpenuhi, maka akan berakibat terjadinya perilaku menyimpang, terutama bagi mereka yang lemah kepribadiannya. Selain itu, manusia cenderung melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sehingga, terkadang mereka menempuh cara yang tidak baik untuk mendapatkannya.
      Sejalan dengan perkembangan waktu serta pengaruh lingkungan sosial, maka terjadinya perilaku menyimpang tak dapat dielakkan. Berbagai latar belakang dan faktor saling mempengaruhi. Baik disadari maupun tanpa disadari telah menjerumuskan pelakunya pada pelanggaran nilai dan norma. Beberapa faktor tersebut, diantaranya:
a.       Dorongan kebutuhan ekonomi.
Adanya pranata sosial menimbulkan perkembangan ekonomi yang tidak merata. Sehingga, terjadi ketimpangan ekonomi di mana yang kaya bertambah kaya begitu juga sebaliknya yang memicu terjadinya perilaku menyimpang.  Hal ini banyak terjadi khususnya di negara berkembang.Contoh perilaku menyimpang yang terjadi diantaranya, pencurian, perampokan, penipuan, prostitusi, pemalsuan uang, korupsi, dll.

b.      Sikap mental yang tidak sehat.
Yang dimaksud dengan mental tidak sehat adalah jika keadaan jiwa seseorang atau sekelompok orang tidak stabil sehingga berperilaku di luar batas manusia umumnya. Perilaku itu biasanya dilatarbelakangi oleh depresi, deprivasi sosial dan psikopati.

c.       Pelampiasan rasa kecewa.
Yang timbul apabila seseorang atau sekelompok orang tidak terpenuhi keinginan dan harapannya, serta ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini akan muncul apabila keluarga tidak dapat menjaga keutuhannya seperti, mengalami broken home atau kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga (kebutuhan seks, pemeliharaan, sosialisasi dan fungsi lainnya).

a.       Proses belajar yang menyimpang dan keinginan untuk dipuji.
Yaitu proses di mana anak-anak mengidentifikasi perilaku di lingkungannya yang menyimpang, terutama dari kelompok seusia dan sepermainan mereka. Seperti, perkelahian antar pelajar dan mahasiswa. Padahal masalah yang diperdebatkan adalah hal sepele. Pada masa ini, para remaja khususnya pelajar sangat peka dan labil terhadap tindakan kejahatan, sehingga mereka mudah terpengaruh dengan keadaan lingkungan.

d.      Proses sosialisasi nilai-nilai subkultur menyimpang.
Subkultur menyimpang adalah penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok dan subkultur itu sendiri artinya sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya hidup yang berbeda dari kultur dominan.

e.       Ketidaksanggupan menyerap norma.
Hal ini terjadi bukan karena tidak pernah diserapnya norma-norma dan nilai-nilai konformis saat proses sosialisasi, melainkan karena dia terjerumus dalam perilaku menyimpang. Seperti, Perilaku seks di luar nikah dan homoseks dan penyimpangan seksual lainnya.
Hal ini ditimbulkan karena perubahan struktur phisik yang menimbulkan keinginan untuk mengetahui sesuatu secara berlebihan, salah satunya tentang sex. Dan bagi mereka yang tidak bisa mengontrol hal ini, maka akan terjebak dalam skandal yang tidak diinginkan dan berdampak pada pencemaran nama baik keluarga.

f.       Kegagalan proses sosialisasi
Dalam hal ini, intensitas pergaulan sangat berpengaruh pada berhasil atau gagalnya proses sosialisasi. Namun, tak jarang banyak yang mengartikannya dengan maksud lain karena merupakan pelarian dari permasalahan yang dihadapi. Seperti, Seperti, Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang serta alkoholisme.
Efek obat ini dapat mendatangkan ketenangan dan kenyamanan terhadap si pemakai, maka banyak orang yang mengonsumsinya. Namun, apabila dikonsumsi tidak sesuai bahakan berlebih dari dosis yang seharusnya, maka akan menimbulkan kecanduan dan berdampak pada kesehatan. Seperti, hilangnya koordinasi tubuh, kerusakan alat respirasi, hilangnya kendali otot gerak dan hilangnya nafsu makan. Sebagai tambahan, para pecandu narkoba biasanya lebih dekat dengan tindakan kriminal.

g.      Adanya ikatan sosial yang berlainan.
Perbedaan ikatan sosial antarkelompok dengan perbedaan niali dan norma yang ada akan menimbulkan perbedaan penilaian tentang perilaku masing-masing anggota masyarakatnya.

h.      Pengaruh lingkungan dan media massa.
Hal ini menunjukkan bahwa masyrakat, lingkungan sosial bahkan televisi memiliki peran yang kuat kepada pelaku perilaku menyimpang. Seperti, berita dan informasi mengenai para koruptor dari pejabat-pejabat pemerintah yang disiarkan, sehingga dapat memengaruhi perspektif masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap pemerintah.
Banyaknya penyimpangan yang terjadi menimbulkan respon dan reaksi dari masyarakat. Mulai dari menasehati dengan lisan hingga kekerasan atau menghukum sesuai dengan hukuman yang berlaku. Ada tiga sanksi yang digunakan di dalam usaha menciptakan tertib sosial, diantaranya:
1.      Sanksi fisik, misalnya didera, dipenjara, diikat dll.
2.      Sanksi psikologis, misalnya diumumkan kejahatannya di berbagai media massa.
3.      Sanksi ekonomik, misalnya membayar ganti rugi.
Ada insentif (reward) positif bagi pihak-pihak yang berperilaku konform (sesuai dengan norma), diantaranya:
1.      Insentif fisik, misalnya ucapan selamat dengan jabatan tangan
2.      Insentif psikologis, misalnya pemberian tanda jasa
3.      Insentif ekonomik, misalnya pemberian hadiah bagi siswa berprestasi.
Adanya reaksi atau respon masyarakat menandakan adanya pengawasan berupa pengendalian sosial. Dalam pengendalian sosial, fungsi pranata sosial juga sangat dibutuhkan. Karena, pranata sosial berkaitan dengan norma-norma sosial, sehingga orang-orang yang tergabung di dalamnya dapat dipilih untuk melakukan kontrol sosial terhadap perilaku menyimpang.
Dalam pemberian sanksi, terdapat lembaga-lembaga tertentu yang berwenang untuk menangani perilaku menyimpang, yaitu lembaga pengendalian formal/resmi sperti: lembaga kepolisian, pengadilan, dan lembaga pendidikan. Sedangkan lembaga informalnya berupa: lembaga adat, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, organisasi sosial seperti LSM dan lembaga penyiaran dan pemberitaan (Pers).
Pengendalian sosial atau dikenal juga dengan kontrol sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing, atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi nilai-nilai dan kaedah-kaedah yang berlaku. Pengendalian sosial mencakup: pengawasan dari individu terhadap individu lain, individu terhadap kelompok, kelompok terhadap kelompok, dan kelompok terhadap individu[6].
            Pengendalian sosial bersifat preventif dan represif. Preventif yaitu, usaha yang dilakukan sebelum terjadi pelanggaran, tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Sedangkan represif merupakan usaha pemulihan setelah terjadi perilaku menyimpang kepada situasi dan keadaan semula.
      Selain itu, dalam menangani perilaku menyimpang dibutuhkan mekanisme pengendalian sosial yang merupakan cara-cara pengawasan terhadap anggota masyarakat agar berperilaku konform. Cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan fungsi kontrol sosial adalah:
1.      Pengendalian secara persuasif, yaitu bentuk pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara tidak menggunakan kekerasan
2.      Pengendalian secara koersif, yaitu bentuk tindakan pengendalian oleh pihak-pihak yang berwenang dengan menggunakan kekerasan atau paksaan. Pengendalian ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a)      Kompulsi (paksaan), yaitu keadaan yang sengaja diciptakan oleh yang berwenang agar seseorang atau sekelompok orang dengan terpaksa menuruti atau mengubah sifatnya tidak langsung.
b)      Pervasi (pengisian), yaitu suatu cara penanaman atau pengenalan norma secara berulang-ulang, dengan harapan hal yang berulang-ulang itu akan masuk ke dalam kesadaran seseorang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang diinginkan.



Fungsi pengendalian sosial menurut Koentjoroningrat yaitu:
1.      Mempertebal keyakinan anggota-anggota masyarakat akan kebaikan norma-norma kemasyarakatan.
2.      Memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang taat pada norma-norma kemasyarakatan.
3.      Mengembangkan rasa malu dalam diri atau jiwa anggota masyarakat jika mereka menyimpang atau menyeleweng dari norma dan nilai kemasyarakatan yang berlaku.
4.      Menimbulkan rasa takut (shock teraphy) di dalam diri seseorang atau sekelompok orang tersebut berupa risiko dan ancaman.
5.      Menciptakan sistem hukum, yaitu sistem tata tertib dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi para penyelenggara yang biasanya dapat dilihat di dalam sistem hukum tiap-tiap struktur masyarakat yang berlaku.
Adanya sistem pengendalian yang baik tidak berarti bahwa penyelewengan dan penyimpangan tidak akan terjadi. Hal itu bisa saja terjadi apabila:
1.      Adanya nilai-nilai yang ternyata tidak memuaskan bagi pihak-pihak tertentu.
2.      Tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan masyarakat secara merata.
3.      Terkadang sarana pengendalian sosial tertentu tidak dapat diterapkan secara terus menerus.
4.      Terjadinya konflik antara peranan yang dipegang oleh warga-warganya.







C.     Kesimpulan
Perilaku menyimpang tidak hanya merupakan pelanggaran dari nilai dan norma saja, para ahli dengan berbagai macam perspektif memiliki kriteria dan penilaian yang berbeda tentang bagaimana suatu perilaku dikatakan menyimpang. Namun secara umum, perilaku menyimpang merupakansemua prilaku manusia yang dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam kelompok tersebut.Dapat dikatakan bahwa, nilai dan norma merupakan aspek terpenting sekaligus menjadi tolak ukur terhadap perilaku menyimpang.Dikarenakan maraknya perilaku menyimpang, masyarakat tidak tinggal diam dan bertindak dengan melakukan pengawasan dan kontrol sosial baik secara adat istiadat atau hukum yang berlaku. Hukuman yang diberikan mulai dari hukuman ringan hingga hukuman berat, tergantung tindakan menyimpang yang dilakukan. Dengan adanya kontrol sosial, maka perilaku menyimpang dapat diminimalisir dan ditindaklanjuti, sehingga tidak merugikan masyarakat banyak.

D.    Saran
Dalam rangka pembelajaran, tentunya tulisan ini belum sepenuhnya sempurna. Untuk itu, diperlukan kritik dan saran untuk memperbaiki kesalahan dan kekuranganagar paper ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


           






Daftar Pustaka

 


Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Harskamp, Anton van. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial. Kanisius: Yogyakarta, 2005.
Henslin, James M. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. 6. Diedit oleh Wibi Hardani. Diterjemahkan oleh Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga, 2006.
Partowisastro, Koestoer. Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 1983.
Philipus, dan Nurul Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sadili, Saparinah. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang. Jakarta: Bulan Bintang,                         1977.
Soekanto, Soerjono. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Svalastoga, Kaare. Diferensiasi Sosial. Jakarta: Bina Aksara, 1989.






[1]Saparinah Sadili, Persepsi Sosial Mengenai Periku Menyimpang (Jakarta, 1977), hal. 18.
[2]James M. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, (Jakarta, 2007), hal. 159-160.
[3]Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta, 2011), hal. 201-202.
[4]Kaare Svalatoga, Diferensiasi Sosial, (Jakarta, 1989), hal. 132.
[5] Koestoer Partowisastro, Dinamika Psikologi Sosial, (Jakarta, 1983), hal. 39 dan 71.
[6]Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi, (Jakarta, 1985), hal. 48.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments