oleh : Meisarah Marsa
A.
Pendahuluan
Pada
dasarnya, setiap individu mempunyai pola tingkah laku yang berbeda dikarenakan
faktor lingkungan sosial.Sehingga, untuk mengatasi perbedaan tersebutdibentuklah
suatu prinsip yang tergambar sebagai nilai dan norma agar tercipta suatu
kesatuan dan keteraturan. Konsekuensi dari aturan nilai dan norma ini
menimbulkan dua kelompok yang bertentangan yaitu, tingkahlaku yang sesuai
dengan nilai dan norma “conform behavior”
dan tingkahlaku yang menyimpang “deviant
behavior”.
1.1 Latar
Belakang Masalah
Kehidupan
manusia bersifat dinamis yang berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan
tersebut tidak hanya terdapat pada pola masyarakat saja, tetapi juga kebiasaan
(life style), adat istiadat, serta
nilai dan norma. Dapat kita lihat bahwa pola kebudayaan suatu masyarakat
tertentu berbeda dengan masyarakat lainnya.Sehingga,terkadang ketidaksesuaian
pola antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain dianggap sebagai suatu
hal yang menyimpang.
1.2
Rumusan Masalah
Sejalan
dengan perkembangan globalisasi, masalah prilaku menyimpang yang menjadi
ancaman nyata terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan sosial marak
terjadi. Sehingga, muncul banyak persepsi mengenai perilaku menyimpang itu
sendiri dari berbagai kalangan. Untuk itu, hal-hal yang perlu dibahas adalah:
1. Apakah
yang dimaksud dengan perilaku menyimpang baik secara umum maupun dari berbagai
macam perspektif?
2. Apakah
ada kriteria atau standar tertentu terhadap perilaku menyimpang?
3. Bagaimana
reaksi dan tanggapan masyarakat terhadap perilaku menyimpang?
1.3 Tujuan
dan Manfaat
Tulisan
ini bertujuan untuk melengkapi tugas sosiologi sebagai “Ujian Akhir Semester”
dan untuk menambah pengetahuan tentang perilaku menyimpang dan kontrol sosial
secara lebih mendalam.
B. Pembahasan
Berdasarkan
historis analisa dan studi mengenai perilaku menyimpang, bahwa pada abad-18
para pendeta di Amerika dan Eropa Barat khususnya Inggris telah menulis
beberapa artikel mengenai jenis tingkahlaku yang kemudian digolongkan oleh ahli
sosiologi sebagai perilaku menyimpang. Secara akademis, hal ini mulai
berkembang pada 1865 dengan dibentuknya “American
Social Science Association”. Dalam pengajarannya sebagai salah satu disiplin
ilmu sosiologi, perilaku menyimpang didefinisikan secara umum sebagai tingkah
laku menyimpang dari norma-norma sosial.
Dari
definisi umum tersebut, perilaku menyimpang dipandang sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu lingkungan
sosial tertentu. Selain itu, para ahli juga mengembangkannya dalam berbagai
konsep tergantung perspektif yang mereka gunakan.
Beberapa
ahli mendefinisikan perilaku menyimpang dari sudut pandang berbeda. Ada yang
fokus pada pelakunya “actor”,
tindakannya “the act”, atau
perhatiannya kepada aspek dan fungsi kontrolnya “social control”[1].
Berikut pendapat beberapa ahli mengenai perilaku menyimpang:
1. James
Vander Zander: semua tindakan yang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar
batas toleransi oleh sejumlah orang.
2. Robert
M.Z. Lawang: semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam
suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dari sistem
itu untuk memperbaiki prilaku tersebut.
3. Bruce
J. Cohen: setiap prilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak
masyarakat atau tingkahlaku melanggar, bertentangan, atau menyimpang dari
aturan normative maupun dari harapan lingkungan sosial yang bersangkutan.
4. Paul
B. Horton: setiap prilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap
norma-norma masyarakat.
5. Lemert
: perilaku menyimpang merupakan konsekwensi dari kontrol sosial.
Selain
pendapat para ahli, berikut penjelasan perilaku menyimpang dari berbagai
perspektif:
1. Perspektif
Interaksionalisme Simbolis:
penganut
perspektif ini mengembangkan beberapa teori untuk menjelaskan penyimpangan diantaranya,
teori asosiasi diferensial (orang belajar untuk menyimpang dengan cara bergaul
dengan orang lain), teori pengendalian (penyimpangan disebabkan karena kurang
memiliki pengendalian yang efektif), teori pemberian label (pemberian julukan
pada nama atau reputasi terhadap perilaku menyimpang), dan teknik netralisasi
untuk terus menganggap dirinya konformisguna menutupi perilaku menyimpang.
Seorang
sosiolog penganut interaksionisme simbolis S. Howard Becker (1966)
mendeskripsikan penyimpangan sebagai reaksi dari pihak lain terhadap tindakan
tersebut yang menjadikannya sebagai suatu penyimpangan.
2. Perspektif
Fungsionalis:
Para
fungsionalis menunjukkan bahwa penyimpangan atau kejahatan merupakan
konsekuensi dari sosialisasi tanpa mengetahui cara untuk meraih sosialisasi
yang baik. Beberapa teorinya adalah, teori ketegangan (orang yang meninggalkan
tujuan sehingga memakai cara menyimpang untuk mencapainya), teori kesempatan
tidak sah (menekankan cara yang ilegal untuk mencapai tujuan).
Berdasarkan
argumentasi Merton, terdapat empat jalur terjadinya perilaku menyimpang yaitu,
innovasi (orang yang menerima tujuan masyarakat, namun menggunakan cara tidak
sah untuk meraihnya), ritualism (orang yang putus asa dan menyerah dalam upaya
meraih tujuan, namun mereka masih berpegang pada peraturan perilaku yang
konvensional), pengunduran diri (menolak baik tujuan maupun peraturan perilaku
yang konfensional, seperti mereka yang meninggalkan kesuksesan dengan beralih
ke alkohol), dan pemberontakan (menggantikan tujuan yang ada dengan tujuan baru
seperti para revolusioner)[2].
Cara Adaptasi
|
Tujuan Budaya
|
Sarana Institusional
|
Inovasi
|
menerima
|
menolak
|
Ritualisme
|
menolak
|
menerima
|
Pengunduran Diri
|
menolak
|
menolak
|
Pemberontakan
|
menolak/mengganti
|
menolak/mengganti
|
3. Perspektif
Konflik
Para
ahli teori konflik mengambil posisi bahwa kelompok yang berkuasa (kelas
kapitalis) menutupi penyimpangan pada kelompok lain (kelas pekerja). Perspektif
ini menganggap bahwa kelas pekerja melakukan kejahatan secara jelas, sedangkan
kelas kapitalis mengatur dan menggunakan sistem pengadilan pidana untuk
menghukum kejahatan kelas pekerja sambil mengalihkan kejahatan mereka sendiri.
Berdasarkan
suatu perspektif sosiologis, penyimpangan bersifat relatif. Relatif dalam hal
ini adalah nilai dan norma yang berlaku di dalam suatu kelompok yang mungkin
tidak berlaku dikelompok lainnya. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan anggapan
mengenai perbuatan menyimpang dari berbagai golongan/kelompok, selain itu
perilaku menyimpang juga dianggap seperti gaya hidup, kebiasaan, dan mode yang
dapat berubah dari waktu ke waktu.Adanya sifat relatif tersebut menimbulkan:
1. Penyimpangan
positif (perilaku minoritas yang tidak sejalan dengan perilaku mayoritas)
seperti: satu orang yang tekun beribadah di dalam kampung yang mayoritas
penduduknya berprilaku buruk.
2. Penyimpangan
negatif
Menurut
Paul B. Horton, ciri-ciri perilaku menyimpang adalah:apakah dapat merugikan
banyak orang atau tidak, terkadang bernilai positif (bisa diterima) dan
bernilai negatif (ditolak), bersifat relatif (yang masih dapat ditoleran) atau
mutlak (yang tidak dapat ditolerir lagi), menyimpang terhadap budaya nyata dan
budaya ideal, pelanggaran terhadap norma-norma, dan bersifat adaptif
(penyesuaian).
Selain
itu, terdapat empat dimensi mengenai perilaku menyimpang, diantaranya:
1. Statistical:
pendekatan ini berasumsi bahwa sebagian besar masyarakat dianggap melakukan
cara-cara dan tindakan yang benar. Sehingga, mayoritas penduduk yang melakukan
keburukan juga akan dianggap benar.
2. Absolut/mutlak:
pendekatan ini banyak terjadi di pedesaan yang masih memegang teguh adat
istiadat.
3. Reaktive:
pendekatan ini menilai bagaimana reaksi masyarakat atau agen kontrol sosial
terhadap tindakan yang dilakukan seseorang.
4. Normative:
norma dalam hal ini adalah standar tentang apa yang seharusnya dan tidak
seharusnya dilakukan.
Kualitas
tindakan menyimpang yang dilakukan seseorang juga dapat dikategorikan
berdasarkan rangkaian pengalamannya dalam melakukan tindakan tersebut. Ada dua
jenis rangkaian pengalaman seseorang yang dapat dikategorikan menyimpang[3],
yaitu:
1. primary
deviance,
dimana
seseorang memulai tindakan penyimpangannya dari penyimpangan kecil yang mungkin
tidak disadarinya, sehingga si pelaku tidak sadar kalau perbuatannya itu dapat
menjerumuskannya ke arah penyimpangan yang lebih besar. Seperti, sekelompok
anak yang mengambil mangga tetangganya tanpa meminta izin hal ini terus menjadi
kebiasaan, ketika dewasa pun anak tersebut terbiasa melakukan pencurian bahkan
terhadap tetangganya sendiri.
2. secondary
deviance
terjadi
bila si penyimpang itu mendapatkan dorongan dan kekuatan melalui
keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang. Seperti, para
perampok yang bekerjasama melakukan kejahatannya dalam kasus perampokan bank.
Perilaku menyimpang sering berkaitan
dengan status sosial. Perbedaan status sosial cenderung memiliki gaya hidup
yang berbeda pula.Berdasarkan skala Guttman, terdapat empat aspek yang
membedakan status social yaitu, kekayaan, pendidikan, kekuasaan, dan
kehormatan. Penyimpangan yang terjadi terkadang menekankan pada salah satu atau
beberapa dari empat kriteria tersebut[4].
Penyimpangan sosial juga berkaitan
dengan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan hidupnya[5].
Menurut Freud, ada 3 aspek yang membentuk pribadi manusia yaitu, Id, Ego, dan
Superego. Tiga hal inilah yang menuntut kepuasan terhadap diri manusia.
Sehingga, apabila kepuasan tersebut tidak terpenuhi, maka akan berakibat
terjadinya perilaku menyimpang, terutama bagi mereka yang lemah kepribadiannya.
Selain itu, manusia cenderung melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa
yang mereka inginkan. Sehingga, terkadang mereka menempuh cara yang tidak baik
untuk mendapatkannya.
Sejalan dengan perkembangan waktu serta
pengaruh lingkungan sosial, maka terjadinya perilaku menyimpang tak dapat
dielakkan. Berbagai latar belakang dan faktor saling mempengaruhi. Baik
disadari maupun tanpa disadari telah menjerumuskan pelakunya pada pelanggaran
nilai dan norma. Beberapa faktor tersebut, diantaranya:
a. Dorongan
kebutuhan ekonomi.
Adanya
pranata sosial menimbulkan perkembangan ekonomi yang tidak merata. Sehingga,
terjadi ketimpangan ekonomi di mana yang kaya bertambah kaya begitu juga
sebaliknya yang memicu terjadinya perilaku menyimpang. Hal ini banyak terjadi khususnya di negara
berkembang.Contoh perilaku menyimpang yang terjadi diantaranya, pencurian,
perampokan, penipuan, prostitusi, pemalsuan uang, korupsi, dll.
b. Sikap
mental yang tidak sehat.
Yang
dimaksud dengan mental tidak sehat adalah jika keadaan jiwa seseorang atau
sekelompok orang tidak stabil sehingga berperilaku di luar batas manusia
umumnya. Perilaku itu biasanya dilatarbelakangi oleh depresi, deprivasi sosial
dan psikopati.
c. Pelampiasan
rasa kecewa.
Yang
timbul apabila seseorang atau sekelompok orang tidak terpenuhi keinginan dan
harapannya, serta ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini akan muncul apabila
keluarga tidak dapat menjaga keutuhannya seperti, mengalami broken home
atau kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga (kebutuhan seks, pemeliharaan,
sosialisasi dan fungsi lainnya).
a. Proses
belajar yang menyimpang dan keinginan untuk dipuji.
Yaitu
proses di mana anak-anak mengidentifikasi perilaku di lingkungannya yang
menyimpang, terutama dari kelompok seusia dan sepermainan mereka. Seperti,
perkelahian antar pelajar dan mahasiswa. Padahal masalah yang diperdebatkan
adalah hal sepele. Pada masa ini, para remaja khususnya pelajar sangat peka dan
labil terhadap tindakan kejahatan, sehingga mereka mudah terpengaruh dengan
keadaan lingkungan.
d. Proses
sosialisasi nilai-nilai subkultur menyimpang.
Subkultur
menyimpang adalah penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok dan subkultur
itu sendiri artinya sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya
hidup yang berbeda dari kultur dominan.
e. Ketidaksanggupan
menyerap norma.
Hal
ini terjadi bukan karena tidak pernah diserapnya norma-norma dan nilai-nilai
konformis saat proses sosialisasi, melainkan karena dia terjerumus dalam
perilaku menyimpang. Seperti, Perilaku seks di luar nikah dan homoseks dan
penyimpangan seksual lainnya.
Hal
ini ditimbulkan karena perubahan struktur phisik yang menimbulkan keinginan
untuk mengetahui sesuatu secara berlebihan, salah satunya tentang sex. Dan bagi
mereka yang tidak bisa mengontrol hal ini, maka akan terjebak dalam skandal
yang tidak diinginkan dan berdampak pada pencemaran nama baik keluarga.
f. Kegagalan
proses sosialisasi
Dalam
hal ini, intensitas pergaulan sangat berpengaruh pada berhasil atau gagalnya
proses sosialisasi. Namun, tak jarang banyak yang mengartikannya dengan maksud
lain karena merupakan pelarian dari permasalahan yang dihadapi. Seperti,
Seperti, Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang serta alkoholisme.
Efek
obat ini dapat mendatangkan ketenangan dan kenyamanan terhadap si pemakai, maka
banyak orang yang mengonsumsinya. Namun, apabila dikonsumsi tidak sesuai
bahakan berlebih dari dosis yang seharusnya, maka akan menimbulkan kecanduan
dan berdampak pada kesehatan. Seperti, hilangnya koordinasi tubuh, kerusakan
alat respirasi, hilangnya kendali otot gerak dan hilangnya nafsu makan. Sebagai
tambahan, para pecandu narkoba biasanya lebih dekat dengan tindakan kriminal.
g. Adanya
ikatan sosial yang berlainan.
Perbedaan
ikatan sosial antarkelompok dengan perbedaan niali dan norma yang ada akan
menimbulkan perbedaan penilaian tentang perilaku masing-masing anggota
masyarakatnya.
h. Pengaruh
lingkungan dan media massa.
Hal ini
menunjukkan bahwa masyrakat, lingkungan sosial bahkan televisi memiliki peran
yang kuat kepada pelaku perilaku menyimpang. Seperti, berita dan informasi
mengenai para koruptor dari pejabat-pejabat pemerintah yang disiarkan, sehingga
dapat memengaruhi perspektif masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap
pemerintah.
Banyaknya
penyimpangan yang terjadi menimbulkan respon dan reaksi dari masyarakat. Mulai
dari menasehati dengan lisan hingga kekerasan atau menghukum sesuai dengan
hukuman yang berlaku. Ada tiga sanksi yang digunakan di dalam usaha menciptakan
tertib sosial, diantaranya:
1. Sanksi
fisik, misalnya didera, dipenjara, diikat dll.
2. Sanksi
psikologis, misalnya diumumkan kejahatannya di berbagai media massa.
3. Sanksi
ekonomik, misalnya membayar ganti rugi.
Ada
insentif (reward) positif bagi pihak-pihak yang berperilaku konform (sesuai
dengan norma), diantaranya:
1. Insentif
fisik, misalnya ucapan selamat dengan jabatan tangan
2. Insentif
psikologis, misalnya pemberian tanda jasa
3. Insentif
ekonomik, misalnya pemberian hadiah bagi siswa berprestasi.
Adanya
reaksi atau respon masyarakat menandakan adanya pengawasan berupa pengendalian
sosial. Dalam pengendalian sosial, fungsi pranata sosial juga sangat
dibutuhkan. Karena, pranata sosial berkaitan dengan norma-norma sosial,
sehingga orang-orang yang tergabung di dalamnya dapat dipilih untuk melakukan kontrol
sosial terhadap perilaku menyimpang.
Dalam
pemberian sanksi, terdapat lembaga-lembaga tertentu yang berwenang untuk
menangani perilaku menyimpang, yaitu lembaga pengendalian formal/resmi sperti:
lembaga kepolisian, pengadilan, dan lembaga pendidikan. Sedangkan lembaga
informalnya berupa: lembaga adat, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat,
organisasi sosial seperti LSM dan lembaga penyiaran dan pemberitaan (Pers).
Pengendalian
sosial atau dikenal juga dengan kontrol sosial adalah suatu proses baik yang
direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak,
membimbing, atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi nilai-nilai dan
kaedah-kaedah yang berlaku. Pengendalian sosial mencakup: pengawasan dari
individu terhadap individu lain, individu terhadap kelompok, kelompok terhadap
kelompok, dan kelompok terhadap individu[6].
Pengendalian sosial bersifat
preventif dan represif. Preventif yaitu, usaha yang dilakukan sebelum terjadi
pelanggaran, tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Sedangkan
represif merupakan usaha pemulihan setelah terjadi perilaku menyimpang kepada
situasi dan keadaan semula.
Selain itu, dalam menangani perilaku
menyimpang dibutuhkan mekanisme pengendalian sosial yang merupakan cara-cara
pengawasan terhadap anggota masyarakat agar berperilaku konform. Cara yang
dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan fungsi kontrol sosial adalah:
1. Pengendalian
secara persuasif, yaitu bentuk pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara
tidak menggunakan kekerasan
2. Pengendalian
secara koersif, yaitu bentuk tindakan pengendalian oleh pihak-pihak yang berwenang
dengan menggunakan kekerasan atau paksaan. Pengendalian ini dibedakan menjadi
dua macam, yaitu:
a) Kompulsi
(paksaan), yaitu keadaan yang sengaja diciptakan oleh yang berwenang agar
seseorang atau sekelompok orang dengan terpaksa menuruti atau mengubah sifatnya
tidak langsung.
b) Pervasi
(pengisian), yaitu suatu cara penanaman atau pengenalan norma secara
berulang-ulang, dengan harapan hal yang berulang-ulang itu akan masuk ke dalam
kesadaran seseorang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai dengan yang
diinginkan.
Fungsi
pengendalian sosial menurut Koentjoroningrat yaitu:
1. Mempertebal
keyakinan anggota-anggota masyarakat akan kebaikan norma-norma kemasyarakatan.
2. Memberikan
penghargaan kepada anggota masyarakat yang taat pada norma-norma kemasyarakatan.
3. Mengembangkan
rasa malu dalam diri atau jiwa anggota masyarakat jika mereka menyimpang atau
menyeleweng dari norma dan nilai kemasyarakatan yang berlaku.
4. Menimbulkan
rasa takut (shock teraphy) di dalam
diri seseorang atau sekelompok orang tersebut berupa risiko dan ancaman.
5. Menciptakan
sistem hukum, yaitu sistem tata tertib dengan sanksi-sanksi yang tegas bagi
para penyelenggara yang biasanya dapat dilihat di dalam sistem hukum tiap-tiap
struktur masyarakat yang berlaku.
Adanya
sistem pengendalian yang baik tidak berarti bahwa penyelewengan dan
penyimpangan tidak akan terjadi. Hal itu bisa saja terjadi apabila:
1. Adanya
nilai-nilai yang ternyata tidak memuaskan bagi pihak-pihak tertentu.
2. Tidak
mungkin untuk mengatur semua kepentingan masyarakat secara merata.
3. Terkadang
sarana pengendalian sosial tertentu tidak dapat diterapkan secara terus
menerus.
4. Terjadinya
konflik antara peranan yang dipegang oleh warga-warganya.
C. Kesimpulan
Perilaku
menyimpang tidak hanya merupakan pelanggaran dari nilai dan norma saja, para
ahli dengan berbagai macam perspektif memiliki kriteria dan penilaian yang
berbeda tentang bagaimana suatu perilaku dikatakan menyimpang. Namun secara
umum, perilaku menyimpang merupakansemua prilaku manusia yang dilakukan baik
secara individual maupun secara kelompok yang tidak sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku di dalam kelompok tersebut.Dapat dikatakan bahwa, nilai dan
norma merupakan aspek terpenting sekaligus menjadi tolak ukur terhadap perilaku
menyimpang.Dikarenakan maraknya perilaku menyimpang, masyarakat tidak tinggal
diam dan bertindak dengan melakukan pengawasan dan kontrol sosial baik secara
adat istiadat atau hukum yang berlaku. Hukuman yang
diberikan mulai dari hukuman ringan hingga hukuman berat, tergantung tindakan
menyimpang yang dilakukan. Dengan adanya kontrol sosial, maka perilaku
menyimpang dapat diminimalisir dan ditindaklanjuti, sehingga tidak merugikan
masyarakat banyak.
D. Saran
Dalam
rangka pembelajaran, tentunya tulisan ini belum sepenuhnya sempurna. Untuk itu,
diperlukan kritik dan saran untuk memperbaiki kesalahan dan kekuranganagar
paper ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Daftar
Pustaka
Ahmadi,
Abu. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Harskamp,
Anton van. Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial. Kanisius: Yogyakarta,
2005.
Henslin, James M. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi.
6. Diedit oleh Wibi Hardani. Diterjemahkan oleh Kamanto Sunarto. Jakarta:
Erlangga, 2006.
Partowisastro,
Koestoer. Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 1983.
Philipus, dan
Nurul Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sadili,
Saparinah. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang. Jakarta:
Bulan Bintang, 1977.
Soekanto,
Soerjono. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Svalastoga,
Kaare. Diferensiasi Sosial. Jakarta: Bina Aksara, 1989.
[1]Saparinah Sadili, Persepsi Sosial
Mengenai Periku Menyimpang (Jakarta, 1977), hal. 18.
[2]James M. Henslin, Sosiologi
dengan Pendekatan Membumi, (Jakarta, 2007), hal. 159-160.
[3]Elly M. Setiadi dan Usman Kolip,
Pengantar Sosiologi, (Jakarta, 2011), hal. 201-202.
[4]Kaare Svalatoga, Diferensiasi
Sosial, (Jakarta, 1989), hal. 132.
[5] Koestoer Partowisastro, Dinamika
Psikologi Sosial, (Jakarta, 1983), hal. 39 dan 71.
[6]Soerjono Soekanto, Memperkenalkan
Sosiologi, (Jakarta, 1985), hal. 48.
0 comments